ANALISIS PPN

Mencermati Isu Pengkreditan PPN Impor

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 25 April 2020 | 11.33 WIB
ddtc-loaderMencermati Isu Pengkreditan PPN Impor
DDTC Consulting

IMPOR merupakan serangkaian kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri (Andi Susilo, 2008). Untuk tahun 2019 sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor untuk sektor non-migas di Indonesia mencapai USD 148,842 juta (dapat diakses melalui https://www.bps.go.id/). Kegiatan impor menjadi transaksi yang tidak bisa dihindari, misalnya bagi industri manufaktur yang bahan baku utamanya memang hanya tersedia dari luar negeri.

Dalam kaitannya dengan aspek perpajakan, apabila barang yang diimpor oleh Pengusaha tidak termasuk dalam kategori barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan maka Pengusaha tersebut harus membayar pungutan impor, seperti PPN Impor, PPh Pasal 22, maupun Bea Masuk.

Terkait pemungutan PPN Impor sebagaimana yang akan menjadi bahasan Penulis, merupakan konsekuensi dari penerapan prinsip destinasi yang pada umumnya diadopsi oleh hampir seluruh negara yang menerapkan sistem PPN di negaranya (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007).

Sebagaimana kita ketahui, PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. PPN tersebut dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (Ben Terra, 2002). Adapun pemikul beban PPN tersebut adalah konsumen akhir (lihat juga Parthasarathi Shome, 2003).

Dengan demikian, bagi Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diberikan hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayarkannya atas perolehan barang dan jasa (Darussalam, Danny Septriadi, dan Khisi Armaya Dhora, 2018).

Lebih lanjut, pengkreditan PPN impor dilakukan dengan menggunakan mekanisme Pemberitahuan Impor Barang (PIB) selaku dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak. Menurut ketentuan perpajakan yang berlaku, setidaknya terdapat empat persyaratan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengkreditan PPN Impor sebagai berikut.

Pertama, PIB harus memenuhi syarat formal, ditandai dengan pengisian yang lengkap, jelas, dan benar (Penjelasan Pasal 13 Ayat 9 UU PPN). Kedua, PIB harus memenuhi persyaratan material, yaitu berisi keterangan yang sebenarnya terkait transaksi impor yang dilakukan oleh PKP (Penjelasan Pasal 13 Ayat 9 UU PPN). Selain itu, PIB tersebut memuat perolehan barang yang tidak termasuk bentuk pengeluaran dalam ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN.

Ketiga, PIB mencantumkan identitas pemilik barang serta dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), serta bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-13/PJ/2019.

Keempat, PPN yang tercantum dalam PIB merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sepanjang dokumen tertentu tersebut mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), serta telah terdapat dalam Sistem Komputer Pelayanan DJBC dan telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seperti yang dinyatakan dalam Pasal 6 Ayat 2 PER-13/PJ/2019.

Pertanyaannya, bagaimana apabila pada penerapannya terdapat kesalahan administratif dalam menginput keterangan sebagaimana tertuang pada PIB ke dalam SPT Masa PPN PKP. Misalnya saja, terdapat kekeliruan penginputan kolom nama penjual barang dalam Formulir 1111 B1 SPT Masa PPN. Apakah hal tersebut menyebabkan PPN Impor yang telah dibayar oleh PKP menjadi tidak dapat dikreditkan?

Penulis memahami bahwa DJP telah memberikan pedoman yang cukup komprehensif terkait tata cara pengisian SPT Masa PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-29/PJ/2015. Namun demikian, menurut Penulis, ketentuan PER-29/PJ/2015 hanya terbatas perihal pengaturan tata cara pengisian SPT Masa PPN, sedangkan untuk syarat pengkreditan PPN Impor sendiri ketentuannya tetap mengacu pada empat persyaratan sebagaimana telah Penulis uraikan sebelumnya.

Korea Selatan sebagai Perbandingan
SEBAGAI perbandingan, bercermin pada praktik di Korea Selatan (lihat juga Tae-Yeon Nam, 2004), prinsip substance over form  menjadi poin penekanan terkait pengkreditan PPN Impor. Dengan demikian, kesalahan administrasi dalam penginputan SPT PPN, tidak menyebabkan PPN Impor yang telah dibayar wajib pajak menjadi tidak dapat dikreditkan. Namun demikian, otoritas Bea Cukai Korea Selatan memainkan peranan penting untuk memverifikasi keabsahan atas transaksi impor yang dilakukan wajib pajak. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.