PADA akhir bulan Maret 2020, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) yang bertujuan untuk memberikan stimulus fiskal dalam rangka mengantisipasi dampak bencana yang ditimbulkan dari Covid-19.
Perppu 1/2020 mengatur beberapa kebijakan pajak dan salah satunya yaitu kebijakan pajak atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh Pelaku Usaha luar negeri di Indonesia.
Perppu 1/2020 kemudian membagi cakupan pemajakan PMSE kedalam 3 (tiga) jenis pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Hadirnya ketentuan PTE ini tentunya akan menghapus regulation barrier negara Indonesia selaku negara sumber atau negara pasar dalam memajaki transaksi PMSE yang dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri.
Dengan memperhatikan aturan yang tertuang dalam Perppu 1/2020, apakah kemudian benar Pajak Transaksi Elektronik (PTE) merupakan jenis pajak baru sehingga tidak akan menimbulkan polemik dalam penerapannya?
Pajak Transaksi Elektronik
PTE adalah pajak yang dikenakan atas adanya transaksi penjualan barang maupun jasa yang berasal dari luar negeri melalui PMSE kepada pihak pembeli di Indonesia melalui sistem elektronik. PTE baru dapat diterapkan apabila memenuhi 2 (dua) kriteria/ syarat sebagaimana tertuang di dalam Perppu 1/2020. Pertama, adanya pemenuhan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence (SEP) dari pelaku usaha PMSE luar negeri di Indonesia. Kedua, pelaku usaha PMSE tersebut berasal dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Perppu 1/2020 memberikan hak bagi Indonesia untuk dapat mengenakan PTE terhadap pelaku usaha PMSE luar negeri yang merupakan penduduk dari mitra P3B karena kehadiran ekonomi signifikan tidak dapat mengakibatkannya ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Artinya, pengenaan PTE itu dilakukan apabila pengenaan PPh tidak bisa dilakukan akibat terkendala status BUT yang diatur dalam P3B (DDTC News, 2020). Dengan demikian, dapat di mengerti bahwa Indonesia secara tidak langsung telah membedakan antara PTE dan PPh.
Pada kenyataanya, hingga saat ini pelaku usaha PMSE luar negeri tidak dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima dari Indonesia apabila tidak ada kehadiran fisik di Indonesia yang dapat mengakibatkan timbulnya BUT. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan adanya kesepakatan dalam P3B yang telah terjalin antara Indonesia dengan negara-negara mitra yurisdiksi. Setidaknya, hingga saat ini dari sebanyak 70 P3B yang telah dilakukan Indonesia terdapat 69 P3B yang mengatur mengenai kriteria BUT dalam kesepakatannya.
“Taxes Covered”
SEJALAN dengan penjelasan di atas, apabila terminologi “tax covered” yang diatur di dalam ketentuan P3B juga mencakup mengenai PTE, maka P3B dapat menjadikan PTE tidak dapat diterapkan. Hal ini dikarenakan PTE sebagai “taxes covered” dalam P3B. Sebaliknya, apabila PTE bukan merupakan “taxes covered” dalam P3B maka PTE dapat diterapkan tanpa terikat syarat BUT.
Menyikapi persoalan di atas, apakah PTE benar termasuk di dalam “taxes covered” yang dimaksud di dalam P3B?
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) P3B Model OECD pada dasarnya telah menjelaskan jenis pajak apa saja yang tercakup di dalam suatu P3B. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa jenis pajak yang telah disebutkan pada Ketentuan Pasal 2 ayat (3) P3B (PPh dalam kasus P3B Indonesia), juga berlaku atas pajak apapun yang timbul sepanjang identik atau memiliki kemiripan (substantially similar) dengan PPh dan apabila pajak tersebut bersifat sebagai penambahan atau pengganti (“in addition or in place of”) PPh.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tax covered mencakup pajak yang benar-benar baru, tetapi pajak baru yang dimaksud tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan P3B yang telah disepakati sebelumnya (Lang, 2005). Serta, apabila pajak tersebut bersifat menggantikan pajak yang sudah ada sebelumnya akan beresiko tercakup di dalam Perjanjian P3B. (Mario, 2012).
Perbandingan dengan Diverted Profits Tax di UK
FAKTANYA, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang melakukan kebijakan unilateral (unilateral measures) atas pajak elektronik. Sebagai contoh, United Kingdom (UK) telah memberlakukan Diverted Profit Tax (DPT) sejak tahun 2015 (Wagnan, 2015). Undang-Undang UK mengatur mengenai DPT yang memberikan hak pemajakan bagi UK atas penghasilan yang timbul dari transaksi elektronik di wilayah yurisdiksinya dengan syarat terpenuhinya taxable presence.
UK berpendapat bahwa DPT tersebut bukan merupakan Income Tax. Adapun DPT merupakan pajak baru yang memiliki mekanisme pengenaan pajak berupa tarif, struktur pajak, dasar pengenaan pajak, prosedur pemenuhan kewajiban pajak, yang berbeda dengan Income Tax, walaupun basis pajak DPT sebagian besar mengikuti metode atribusi laba yang mirip dengan Income Tax.
Namun demikian UK telah menerbitkan ketentuan pelaksanaan dan teknis yang rinci untuk menerapkan DPT, termasuk ketentuan mengenai pembebanan DPT di Income Tax melalui mekanisme kredit pajak. Oleh karenanya, meskipun kebijakan DPT masih ditentang karena DPT dianggap pajak yang tercakup dalam ketentuan P3B, akan tetapi kebijakan DPT juga mengatur penerapan yang bertujuan menghindari timbulnya pemajakan berganda (Wei Cui, 2019).
Refleksi
BERDASARKAN penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya pengenaan PTE dalam Perppu No.1/ 2020 tidak bergantung pada apakah transaksi PMSE oleh pelaku usaha luar negeri telah dikenakan PPh atau tidak. Hal ini diperlukan agar PTE tidak diklasifikasikan sebagai pajak yang berlaku “in the place of” PPh.
Artinya, PTE dan PPh seharusnya dapat dikenakan secara bersama-sama, namun mekanisme kredit pajak dapat dipertimbangkan agar tidak terjadi pajak berganda. Hal ini untuk juga menjaga bahwa PTE bukan merupakan pajak yang berlaku “in addition to” PPh.
Sebagai penutup, hingga tulisan ini dibuat konsensus global yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan dan alokasi laba usaha global dari transaksi ekonomi digital masih belum menemukan kata sepakat. Walaupun PTE rencananya baru akan diterapkan di Indonesia, tetapi urgensi adanya payung hukum internasional yang mengatur kebijakan transaksi elektronik rasanya semakin dibutuhkan.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya tren PTE sebagai kebijakan unilateral yang sudah dilakukan dan diikuti oleh banyak negara. Akibat belum adanya kesepakatan global tersebut, PTE sebagai kebijakan unilateral tampil sebagai alternatif solusi bagi negara sumber untuk mendapatkan keadilan (fairness) dalam pembagian hak pemajakan atas kehadiran ekonomis dari pelaku usaha PMSE luar negeri di wilayah yurisdiksi negara sumber penghasilan.
PTE sebagai kebijakan unilateral dikhawatirkan akan mengakibatkan resiko timbulnya double taxation dari transaksi lintas negara menjadi semakin besar. Oleh karenanya, sampai konsensus global nanti terwujud, PTE sebagai kebijakan unilateral sebaiknya dipandang sebagai suatu solusi yang bersifat sementara (temporary solution). (Disclaimer)