Ighfar Ulayya Sofyan,
DI TENGAH persaingan global yang makin ketat, insentif penanaman modal menjadi salah satu andalan Indonesia untuk menarik investor asing. Namun, strategi pemanis ini mulai dihadapkan tantangan dengan kehadiran aturan pajak minimum global (global minimum tax/GMT). Konsensus ini dapat mengubah cara pandang perusahaan multinasional terhadap manfaat insentif pajak.
Salah satu skema insentif penanaman modal yang turut terdampak oleh penerapan pajak minimum global adalah fasilitas tax holiday. Asal kita tahu, dibandingkan dengan insentif sejenis seperti tax allowance ataupun super tax deduction, tax holiday jelas lebih menarik karena atas penghasilan dari kegiatan investasi tidak dikenakan pajak.
Berdasarkan paparan menteri keuangan, selama periode 2011 hingga November 2024, telah terdapat 221 wajib pajak yang memperoleh fasilitas tax holiday. Nilai investasi yang masuk melalui rezim tax holiday adalah senilai Rp429 triliun dan US$479 juta.
Di sisi lain, skema tax holiday juga secara khusus berpotensi kehilangan manfaatnya. Sebab, tarif pajak efektif perusahaan multinasional yang memperoleh tax holiday akan berada di bawah ambang batas 15%.
Melalui ketentuan GMT sebagaimana telah diatur melalui PMK 136/2024, grup perusahaan tersebut akan berpotensi dikenai kewajiban top-up tax, khususnya melalui skema domestic top up tax (DMTT).
Dengan demikian, timbul pertanyaan mendasar. Apakah kebijakan insentif tax holiday saat ini masih layak untuk dipertahankan ketika efektivitasnya mulai diragukan?
Saat ini, pemerintah telah mengatur pemberian tax holiday bagi industri pionir, berupa pengurangan PPh badan hingga 100% atas penghasilan dari kegiatan usaha utamanya. Namun, berdasarkan Pasal 15A PMK 130/2020 s.t.d.d PMK 69/2024 ditegaskan bahwa pajak tambahan minimum domestik akan dikenakan atas wajib pajak yang sudah mendapatkan keputusan pemanfaatan tax holiday dalam hal wajib pajak tersebut tercakup dalam ketentuan pajak minimum global.
Klausul tersebut jelas menciptakan kebingungan mengenai keserasian antara tax holiday dan pajak minimum global. Bagaimana mungkin pemerintah memberikan suatu insentif ‘libur pajak’, tetapi di sisi lain juga dapat membatalkannya melalui skema pajak tambahan?
Pada dasarnya, ketentuan pajak minimum global tidak serta-merta menghilangkan manfaat tax holiday bagi seluruh perusahaan yang berhak memanfaatkannya. Kebijakan itu hanya berdampak terhadap wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu dalam cakupan PMK 136/2024. Dalam hal ini, tercakup (in-scope) dalam grup perusahaan multinasional (PMN) dengan omzet konsolidasi minimal 750 juta Euro dalam dua dari empat tahun fiskal.
Perusahaan yang berhak memanfaatkan tax holiday juga tidak serta merta dikenakan pajak tambahan. Pasalnya, ketentuan pajak minimum global berpijak di atas prinsip jurisdictional blending.
Penghitungan tarif pajak efektif bukanlah dilakukan per entitas (perusahaan), tetapi per yurisdiksi. Misalnya, apabila salah satu dari total 5 entitas anggota grup PMN yang berlokasi di Indonesia memperoleh tax holiday, maka tarif efektif dihitung secara agregat untuk kelima (seluruh) entitas di Indonesia. Dengan demikian, masih terdapat kemungkinan tarif pajak efektif grup PMN yang berlokasi di Indonesia tersebut di atas 15%.
Kita pun perlu mengingat bahwa besar kecilnya pengenaan pajak tambahan akan turut dipengaruhi oleh komponen substance based income exclusion (SBIE). SBIE merupakan faktor yang berpihak bagi perusahaan multinasional yang memang secara nyata dan substansial melakukan aktivitas ekonomi. SBIE dihitung berdasarkan suatu formula atas biaya gaji pegawai dan jumlah aset berwujud dengan kriteria tertentu.
Singkatnya, nilai pajak tambahan yang berpotensi dikenakan dapat berkurang seiring dengan bertambahnya biaya gaji dan aset berwujud yang dimilikinya. Baca 'Pentingnya Pajak Minimum Global'.
Selain itu, ketentuan pajak minimum global turut memiliki fitur ‘fasilitas’ yang disebut sebagai safe harbour. Safe harbour dapat menihilkan biaya pajak tambahan dan/atau biaya kepatuhan (compliance cost).
Sebagai contoh, skema de minimis dapat mengecualikan entitas usaha di suatu yurisdiksi yang berskala kecil yaitu memiliki penghasilan dan laba yang tidak melebihi threshold tertentu. Atau juga melalui skema tarif pajak efektif tertentu berdasarkan data country by country reporting (CbCR).
Lantas, bagaimana perilaku negara lain tentang kebijakan insentif dengan kehadiran pajak minimum global?
Hingga saat ini belum terdapat tren yang solid mengenai pembatalan tax holiday di berbagai negara. Lihat saja di lingkup Asean. Melalui UU CREATE MORE yang disahkan akhir 2024, pemerintah Filipina masih menawarkan tax holiday.
Di tengah gejolak geopolitik dan bayang-bayang perlambatan ekonomi global, banyak negara juga masih memberikan berbagai insentif pajak atas investasi baru. Misalnya, mulai Januari 2025 Malaysia menawarkan tarif PPh badan khusus sebesar 5% untuk investasi di KEK Johor.
Memang betul bahwa beberapa negara kini mulai menyesuaikan kebijakan insentif termasuk tax holiday dengan ketentuan pajak minimum global. Misalnya, Vietnam dan Singapura yang tetap menawarkan insentif baru berbasis pemberian uang bagi investor yang selaras dengan skema qualified refundable tax credit (IBFD, 2025).
Contoh lainnya, Thailand yang telah mempertimbangkan pengurangan 50% PPh badan dari tarif normal dengan durasi dua kali lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun.
Akan tetapi, lagi-lagi belum ada tren solid berakhirnya era tax holiday ataupun ‘pelitnya’ pemberian fasilitas bagi investasi baru. Oleh karena itu, pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai keberlanjutan tax holiday dan tax allowance dalam menjaga iklim investasi sangatlah masuk akal.
Pemerintah kini memiliki urgensi untuk memitigasi dampak pajak minimum global terhadap iklim investasi di Indonesia. Alih-alih menghapus tax holiday, pemerintah justru perlu mengevaluasi kebijakan tax holiday eksisting. Momentumnya juga tepat karena rezim tax holiday yang saat ini berlaku --sebagaimana tertuang dalam PMK 130/2020 s.t.d.d. PMK 69/2024-- berakhir pada 31 Desember 2025.
Setidaknya, terdapat beberapa masukan penting.
Pertama, mendorong unsur kepastian pada sisi administrasinya. Kepastian tersebut dapat mencakup durasi proses verifikasi penilaian kelengkapan dokumen permohonan oleh BKPM, ketersediaan tata cara dan prosedur pemeriksaan lapangan oleh DJP, perbaikan fitur dan kestabilan sistem OSS, serta perbaikan aspek administrasi lainnya.
Dalam hal ini, pemerintah perlu untuk menggali pengalaman dari para pelaku usaha mengenai ada atau tidaknya kendala dan kerumitan yang dihadapi pada fase pengajuan hingga periode pemanfaatan.
Kedua, menjajaki kemungkinan adanya penambahan perpanjangan masa pemanfaatan dan penetapan threshold minimum untuk penerima tax holiday. Desain tersebut penting untuk dipertimbangkan dalam rangka memastikan bahwa perusahaan yang masih tercakup dalam pajak minimum global tetap dapat memperoleh manfaat tarif efektif yang lebih rendah dibandingkan tarif PPh badan sebesar 22% di Indonesia.
Ketiga, mengupayakan modifikasi rezim tax holiday melalui perluasan industri pionir. Dalam hal ini, dua sektor yang layak dipertimbangkan sebagai industri pionir adalah industri minyak dan lemak nabati serta hewani (KBLI 104) dan industri perantara moneter (KBLI 641).
Dipilihnya kedua industri pionir itu bukan tanpa alasan. Berdasarkan analisis input-output 2020, keduanya menunjukkan efek pengganda tertinggi dalam perekonomian, yakni peningkatan output ekonomi sebesar 3,3% (KBLI 104) dan 3,5% (KBLI 641) untuk setiap kenaikan permintaan sebesar 1%.
Perluasan industri pionir juga bisa disesuaikan dengan RPJMN 2025-2029 ataupun tema rencana kerja pemerintah yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebagai contoh, agenda kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi yang menjadi tema Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026 bisa dikaitkan dengan sektor prioritas yang digolongkan sebagai industri pionir.
Keempat, pertimbangan penggunaan hasil dari pajak tambahan berdasarkan prinsip earmarking. Penerimaan dari top-up tax dapat dialokasikan sebagian untuk peningkatan infrastruktur yang mendukung iklim investasi di Indonesia, disisihkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan, atau dijadikan dana tambahan untuk lembaga investasi seperti Danantara.
Pada akhirnya, tax holiday dan pajak minimum global jangan buru-buru diartikan sebagai hubungan yang saling meniadakan. Pemerintah tetap perlu menjamin keseimbangan antara daya dorong investasi bagi perekonomian serta daya dukung penerimaan bagi kesehatan fiskal. (sap)