Muhamad Wildan,
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memberikan gebrakan baru terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. MK menegaskan bahwa masyarakat perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
MK secara tegas menyatakan partisipasi publik perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) dengan memenuhi 3 prasyarat, yakni hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Dengan demikian, bagaimana jika segala proses serta mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan justru menutup atau menjauhkan publik untuk terlibat dalam diskusi dan memperdebatkan isinya? MK berpandangan praktik tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat.
Pascaputusan tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengadopsi klausul partisipasi publik dalam UU 13/2022 yang merupakan perubahan kedua UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masyarakat berhak memberi masukan lisan ataupun tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Agar memudahkan pemberian masukan, UU 13/2022 menyatakan setiap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh publik. Pembentuk peraturan perundang-undangan juga perlu menginformasikan kepada masyarakat agar bisa menggunakan haknya untuk memberikan masukan.
Sayangnya, meski telah diundangkan sejak 2 tahun lalu dan diperkuat putusan MK, klausul partisipasi publik dalam UU 13/2022 tidak terlaksana secara optimal. Baik pemerintah maupun parlemen sama-sama belum memiliki standar terkait dengan tata cara pemenuhan hak publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Perumusan kebijakan seyogianya tidak hanya melibatkan segelintir pemangku kepentingan (stakeholder), tetapi publik secara umum (citizen). Dengan melibatkan publik, para pembentuk peraturan perundang-undangan akan memperoleh sudut pandang yang lebih beragam. Hal ini akan memperkuat kualitas dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dihasilkan (OECD, 2022).
Terbukanya ruang bagi publik untuk mengikuti, memengaruhi, dan memahami proses penyusunan kebijakan akan meningkatkan legitimasi atas pilihan-pilihan sulit yang diambil oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan. Keterlibatan publik juga memberikan legitimasi terhadap keseluruhan proses dari pengambilan kebijakan yang dimaksud.
Dalam bidang pajak, keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan juga akan membuka ruang adanya opsi kebijakan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Terlebih, sumber informasi yang berguna dalam perumusan suatu kebijakan pajak justru wajib pajak itu sendiri. Mengapa? Karena merekalah subjek atas pajak yang dikenakan oleh negara.
Jika dilibatkan dalam proses perumusan, masyarakat wajib pajak akan merasa menjadi bagian dari implementasi kebijakan tersebut. Tanpa adanya interaksi yang didasarkan oleh rasa saling percaya, pemerintah akan kesulitan menghasilkan kebijakan pajak yang diterima masyarakat (Darussalam et al., 2019).
FAKTA yang terjadi pada saat ini, seperti yang telah diungkapkan pada bagian awal tulisan ini, setiap kementerian dan lembaga (K/L) berupaya memenuhi hak publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan caranya masing-masing.
Sejatinya, guna memastikan terpenuhinya hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Indonesia bisa mengadopsi beragam standar dan international best practice yang tersedia. Tentu saja, adopsi dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di Indonesia.
Contoh, dalam OECD Guidelines for Citizen Participation Processes, terdapat 10 tahap untuk merencanakan, mengimplementasikan, hingga mengevaluasi program partisipasi publik. Tahapan-tahapan ini penting untuk menentukan model partisipasi publik yang akan digunakan dan pihak-pihak yang akan dilibatkan.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi untuk mengukur kualitas dan netralitas dari program partisipasi publik. Hasil evaluasi ini perlu dipublikasikan kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap seluruh proses partisipasi yang sudah berjalan.
Lantas, bagaimana pastisipasi publik pada pengambilan kebijakan di bidang pajak? Beberapa negara atau yurisdiksi sudah mengembangkan modelnya sendiri. Misal, sejak 2011, otoritas pajak Inggris (HRMC) telah mengembangkan Tax Consultation Framework. Skema ini bisa dipertimbangkan untuk diadopsi di Indonesia.
Dalam framework tersebut, HMRC menegaskan pentingnya peran individu, praktisi, pelaku bisnis, dan kelompok lainnya dalam pengembangan kebijakan pajak. Menurut HMRC, setiap orang berhak untuk turut terlibat dalam seluruh tahapan perumusan kebijakan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan dukungan pada kebijakan yang disusun (de Cogan, 2020).
HRMC bahkan berkomitmen untuk merilis draf undang-undang yang disusun. Draf akan dirilis kepada publik dalam waktu 3 bulan sebelum disampaikan ke parlemen. Otoritas akan memberikan waktu setidaknya selama 8 pekan bagi publik untuk memberikan komentarnya. Dalam hal terdapat aturan turunan yang berdampak substansial, draf juga dirilis ke publik bersamaan dengan draf undang-undang.
Jika berkomitmen dengan perlunya partisipasi publik, skema tersebut seharusnya bisa juga diterapkan di Indonesia. Guna meningkatkan akuntabilitas dan kualitas kebijakan pajak Indonesia, pemerintah bisa mengambil beragam langkah aktif untuk meningkatkan partisipasi publik dalam tahap perumusan.
Misalnya, pemerintah dapat merilis rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) dan rancangan peraturan dirjen pajak (RPerdirjen) yang sedang disusun di situs web resmi Kementerian Keuangan atau Ditjen Pajak. Dengan demikian, ada transparansi rencana pengaturan sehingga masyarakat dapat memberikan masukan.
Melalui situs web itu pula, pemerintah dapat menyiapkan fitur penampung masukan atau komentar tertulis. Skema itu juga dibarengi dengan pelaksanaan konsultasi publik yang interaktif guna menampung perspektif masyarakat atas kebijakan pajak yang disiapkan.
Kembali lagi, sesuai dengan UUD 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat. Dalam konsep kedaulatan rakyat, pemerintah mendapatkan mandatnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika mengatur kebijakan pajak yang diambil dari rakyat, sudah seharusnya rakyat dilibatkan sejak saat penyusunan.
Dibutuhkan standar yang jelas untuk mengakomodasi partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk terkait dengan ketentuan pajak. Harapannya, partisipasi publik benar-benar nyata dan bukan formalitas semata.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)