ANALISIS PAJAK

Menimbang Carry Forward dan Carry Back dalam Pembatasan Biaya Bunga

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 September 2024 | 09.45 WIB
ddtc-loaderMenimbang Carry Forward dan Carry Back dalam Pembatasan Biaya Bunga

Felix Bahari,

Intern of DDTC Fiscal Research & Advisory

THIN capitalization merupakan salah satu praktik penghindaran pajak yang tak jarang dilakukan perusahaan multinasional. Untuk mengatasi praktik tersebut, Indonesia telah mempunyai ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UU PPh. Saat ini, aturan teknisnya berupa PMK 169/2015 menyangkut perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio/DER) (Darussalam et al., 2023).

Namun demikian, beberapa studi menunjukkan aturan DER memiliki loophole yang dapat dimanfaatkan perusahaan untuk mengurangi beban pajak (Ismah & Ningrum, 2020). Aturan DER dinilai tidak cukup efektif dalam mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan melalui konsolidasi laporan laba rugi dalam grup perusahaan.

Sejatinya, pemerintah telah merevisi Pasal 18 Ayat (1) UU PPh melalui UU HPP. Sebelum direvisi, pasal tersebut memuat kewenangan menteri keuangan untuk mengeluarkan keputusan mengenai besarnya DER untuk keperluan penghitungan pajak.

Setelah direvisi melalui UU HPP, Pasal 18 ayat (1) UU PPh memuat kewenangan menteri keuangan untuk mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak. Berdasarkan pada penjelasan ayat tersebut, penentuan batasan dilakukan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional.

Selain DER, sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh, dikenal pula metode persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi (interest-to-EBITDA). Metode ini juga disebut sebagai earning stripping rules (ESR).

Ketentuan tersebut juga telah dimuat dalam Pasal 42 PP 55/2022. Namun, pemerintah masih akan menerbitkan aturan penentuan dan tata cara penerapan penggunaan metode dalam peraturan menteri keuangan. Dalam konteks ini, pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam merespons isu praktik perpindahan laba dan penghindaran pajak skala global.

Selain lebih efektif untuk mencegah aggressive tax planning, metode tersebut juga memiliki beberapa peluang. Pendekatannya yang berbasis laporan laba rugi dapat lebih mengakomodasi motif keadilan (fairness) bagi wajib pajak (Putra, 2023). Sebab, perusahan dapat membebankan biaya bunga secara wajar dan proporsional berdasarkan pada performa laporan laba rugi tahun pajak yang berjalan.

Metode tersebut juga dapat menjadi solusi bagi perusahaan dengan ekuitas negatif. Sebab, dalam aturan DER, perusahaan tidak dapat membebankan biaya bunga ketika ekuitasnya negatif (Bachriansyah et al., 2019).

Kemudian, dengan adanya aturan metode baru tersebut, perusahaan yang berhasil menghasilkan laba pada tahun pajak berjalan memiliki peluang untuk meningkatkan ekuitas dan kesehatan keuangan mereka secara keseluruhan.

Selain peluang, metode interest-to-EBITDA yang berbasis laporan laba rugi juga memiliki beberapa tantangan. Salah satunya adalah potensi isu volatilitas pendapatan perusahaan (OECD, 2015). Isu ini berpotensi memengaruhi kemampuan perusahaan dalam menanggung beban keuangan, termasuk beban bunga bunga.

Salah satu penyebab isu volatilitas adalah timing difference dalam mengakui pendapatan. Adanya mismatch tersebut dapat menyebabkan jumlah beban bunga melebihi batas yang diperbolehkan. Misalnya, ketika perusahaan mulai mengalokasikan beban bunga untuk mendanai proyek atau investasi yang baru akan menghasilkan pendapatan pada masa depan (IBFD, 2018).

Selain itu, volatilitas pendapatan juga dapat disebabkan oleh perubahan kondisi pasar atau faktor eksternal lainnya. Misal, pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi global. Selain itu, adanya potensi perubahan kondisi pasar yang tidak lagi mendukung bisnis juga berpotensi mengakibatkan volatilitas keuangan perusahaan.

Pembebanan Biaya Bunga

UNTUK memberikan fleksibelitas kepada perusahaan, Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD (2015) merekomendasikan aturan carry forward dan carry back untuk mengatasi isu volatilitas pendapatan. Aturan ini diterapkan sebagai penyempurna kebijakan pembatasan biaya bunga berbasis interest-to-EBITDA.

Mekanisme carry forward mengacu pada kemampuan perusahaan melakukan kompensasi atas disallowed internet expense tahun berjalan ke tahun-tahun berikutnya. Sementara itu, carry back mengacu pada kompensasi atas disallowed internet expense pada tahun pajak berjalan ke tahun-tahun sebelumnya.

Aturan tersebut memberikan keluasaan bagi perusahaan dalam membebankan biaya bunga. Hal ini terutama bagi perusahaan yang menjalankan proyek jangka panjang dengan investasi modal yang besar (Turbotax, 2023).

Ada ruang penyesuaian beban bunga yang dibebankan antartahun. Skema ini dapat meredam dampak mismatch antara beban bunga yang timbul di awal proyek dan pengakuan pendapatan yang baru terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

Kondisi serupa juga dapat terjadi pada perusahaan yang melakukan pembelian aset atau persediaan di muka, tetapi baru dapat merealisasikan pendapatannya pada periode berikutnya. Kondisi ini sering kali dihadapkan pada situasi time mismatch antara pengakuan beban bunga dan pendapatan.

Selain menjadi solusi yang relevan untuk mengatasi permasalahan, kedua mekanisme tersebut juga menawarkan potensi untuk mengakomodasi motif keadilan (fairness) bagi wajib pajak (IBFD, 2018).

Oleh karena itu, penerapan aturan carry forward dan carry back perlu dipertimbangkan secara matang. Misalnya, aturan carry forward sendiri dapat mengurangi daftar industri tertentu yang selama ini dikecualikan dari ketentuan DER. Mekanismenya juga dinilai menimbulkan duplikasi dengan aturan kompensasi kerugian fiskal (tax loss carry forward) yang telah tersedia (Sekarkinanti, 2022).

Di sisi lain, aturan carry back memungkinkan wajib pajak mengompensasi kerugian fiskal yang terjadi pada tahun sebelumnya. Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan potensi penerimaan yang hilang akibat pengembalian pajak serta risiko penyalahgunaan kebijakan ini.

Pada dasarnya, mekanisme ini sudah banyak dikenal oleh beberapa negara. Inggris dan Malaysia merupakan contoh negara yang telah menerapkan kebijakan tersebut. Inggris menerapkan kebijakan carry forward of disallowed amounts and reactivations dan carry forward of interest allowance. Sementara itu, Malaysia hanya menerapkan carry forward disallowed interest expense (IBFD Country Report).

Pada akhirnya, penerapan aturan carry forward serta carry back memunculkan trade-off antara manfaat dan biaya yang diperlukan. Kebijakan ini dapat mengakomodasi motif keadlian (fairness) bagi wajib pajak. Namun, implementasinya memerlukan sumber daya yang cukup, terutama menyangkut pengawasan dan pengendalian atas potensi penyalahgunaan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.