ANALISIS PAJAK

Apakah Pajak Perlu Buta Gender?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 27 Agustus 2024 | 14.15 WIB
ddtc-loaderApakah Pajak Perlu Buta Gender?
Assistant Manager of DDTC Consulting

BERDASARKAN pada analisis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2023, pendapatan yang hilang sehubungan dengan diskriminasi gender mencapai US$12 triliun. Untuk itu, isu kesetaraan gender perlu menjadi prioritas pemerintah di seluruh dunia.

Terlebih, pajak bukan hanya sarana pendapatan negara, melainkan juga sebagai pengatur masalah sosial serta budaya (Darussalam, Septriadi, dan Marhani, 2024). Kebijakan pajak bisa menjadi salah satu instrumen pemecahan masalah kesetaraan gender.

Pada survei OECD (2022), 74% negara responden setuju bahwa sistem pajak harus mencapai netralitas gender. Netral yang dimaksud adalah sistem pajak tidak boleh mengandung bias eksplisit atau ketentuan yang ditujukan untuk salah satu gender.

Contoh bias eksplisit adalah kredit pajak khusus perempuan dengan empat anak atau lebih di Hungaria serta pemotongan pajak penghasilan (PPh) final bagi istri dari satu pemberi kerja di Indonesia (Nasruddin, 2022).

Tujuan netralitas gender pada sistem pajak tersebut dikritik oleh Yvette Lind sebagai pilihan yang naif (2021). Lind berpendapat sistem pajak yang gender neutral bisa merugikan perempuan karena suatu kebijakan dapat memiliki pengaruh yang berbeda. Situasi ini dikarenakan perbedaan posisi sosial atau ekonomi laki-laki dan wanita pada umumnya (Stotsky, 1996). Hal ini biasa disebut sebagai bias implisit.

Bias implisit yang paling banyak ditemui muncul dari sistem pemajakan gabungan atas pendapatan pribadi suatu keluarga. Sistem ini menyebabkan penerima penghasilan kedua (second earner)—biasanya perempuan—dikenakan tarif pajak marjinal lebih tinggi (Argiro, Harding, dan Jarrige, 2023). Akibatnya, minat untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja justru menurun (Coelho dkk, 2022).

Di sisi lain, Valverde (2024) berpendapat jika dirancang secara bijaksana sebagai instrumen untuk memberikan kompensasi kepada perempuan atas distorsi gender dalam masyarakat, penerapan ketentuan pajak yang bias eksplisit dapat menjadi kunci dalam memerangi ketidaksetaraan gender.

Stereotip Gender

KETIKA pemerintah menyusun kebijakan pajak, perlu diingat bahwa implikasinya tidak hanya terbatas pada isu ekonomi atau keuangan. Peraturan pajak memberi penghargaan dan insentif atas perilaku, gaya hidup, serta struktur sosial tertentu (National Woman Law Center, 2022).

Akibatnya, suatu kebijakan pajak bisa membentuk persepsi budaya dan ekspektasi tentang peran gender dalam masyarakat. Kebijakan, terutama terkait dengan manfaat pajak bagi perempuan, bisa secara tidak sengaja mendorong peran gender tradisional atau stereotip. Hal ini justru memperparah kesenjangan yang ada.

Saat ini, gagasan tradisional mengenai peran laki-laki (sebagai pencari nafkah rumah tangga) dan perempuan (sebagai pengurus rumah tangga dan anggotanya) dalam masyarakat merupakan dasar bagi banyak kebijakan pajak (Rodrigues dan Itriago, 2019).

Sebagai contoh, kebijakan penggabungan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di Indonesia mencerminkan pandangan laki-laki sebagai kepala dan pemimpin. Perempuan hanya bisa memilih NPWP digabung ke suami atau terpisah. Hal ini secara implisit menandakan hilangnya identitas pribadi dan juga otonomi ekonomi perempuan setelah menikah untuk mendapatkan manfaat pajak.

Di Jepang, manfaat pengurangan penghasilan kena pajak senilai ¥380.000 diberikan kepada pasangan yang menerima penghasilan lebih tinggi (biasanya suami) jika pasangannya (istri) menerima penghasilan kurang dari ¥1,03 juta. Kebijakan ini menjadi halangan bagi istri, baik untuk bekerja maupun meningkatkan penghasilannya, agar mempertahankan manfaat yang didapatkan (Sudo, 2014).

Di Singapura, Working Mother's Child Relief  (WMCR) diberikan khusus kepada perempuan berdasarkan pada jumlah anak yang dimiliki. WMCR diberikan untuk mendorong perempuan untuk tetap bekerja. Namun, kebijakan ini mencerminkan stereotip ibu sebagai pengurus anak utama. Dengan demikian, ketidakberadaannya di rumah (saat perempuan bekerja) memerlukan kompensasi untuk alternatif pengasuh.

Kesimpulannya, kebijakan pajak tidak seharusnya memperkuat stereotip gender yang ada, tetapi justru memfasilitasi kesetaraan dan pemberdayaan. Penting bagi para pembuat kebijakan untuk mengenali potensi bias yang tertanam dalam peraturan perpajakan dan mengupayakan kebijakan inklusif yang mencerminkan perkembangan nilai-nilai masyarakat.

Langkah awal yang bisa diambil adalah dengan mengumpulkan dan menganalisis data-data pajak—seperti tingkat kepatuhan dan pengaruh kebijakan pajak—berdasarkan pada gender (OECD, 2022).

Dengan data tersebut, pemerintah bisa merancang kebijakan maupun kampanye atau program kepatuhan pajak yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing gender (World Bank, 2024). 

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.