ANALISIS PAJAK

Kedaulatan Negara, Pajak, dan Tax Treaty

DDTC Consulting
Selasa, 05 November 2019 | 09.21 WIB
ddtc-loaderKedaulatan Negara, Pajak, dan Tax Treaty

NEGARAΒ yang sudah mengadakanΒ perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atauΒ taxΒ treaty,Β tidakΒ serta merta dapat mengenakan hak pemajakan berdasarkan hukum domestiknya. Namun, pengenaan hak pemajakan tersebutΒ harus dibatasi berdasarkanΒ taxΒ treatyΒ yang telah disetujuinya (Lang, 2013).

HalΒ tersebutΒ seakan-akanΒ menekankanΒ bahwaΒ tax treatyΒ membatasi kedaulatan sebuah negara untuk mengenakan pajak. Apakah benar demikian?

Kedaulatan suatu negaraΒ untukΒ mengenakanΒ pajakΒ merupakan sifat yangΒ absolut yangΒ terikatΒ dalamΒ eksistensi kedaulatan negara itu sendiri. Kedaulatan suatu negara lahir bersamaanΒ denganΒ negara itu sertaΒ mendapatkan pengakuan dariΒ berbagai negara atas eksistensinya.Β DenganΒ kata lain, kedaulatan pengenaan pajak lahir dengan eksistensi sebuah negara.

Kedaulatan yangΒ sifatnya absolut tersebut tentunya tidak dapat dibatasi oleh apapun juga,Β termasuk terhadap kedaulatan negara lainΒ untukΒ mengenakan pajak, terlebih atas suatuΒ tax treaty.Β Hal inilah yang seringkali menimbulkan pengenaan pajak berganda.Β Namun demikian,Β  kedaulatan negara justru dapat dibatasi oleh kedaulatan negara itu sendiri.Β Adapun syarat utama negara dapat memilikiΒ taxΒ treatyΒ adalah adanya kedaulatan (Arnold, 2015).

Ini menandaskan bahwa ketika suatu negaraΒ tidakΒ mengenakan pajak atas suatu transaksi ekonomi bukan karena menghormati kedaulatan negara lainΒ yangΒ juga akan menetapkan pemajakan atas transaksiΒ tersebut. Akan tetapi,Β negara tersebut sedang menerapkan kedaulatannyaΒ denganΒ membatasi dirinyaΒ untuk tidakΒ ikut mengenakan pajakΒ atau hanya akan mengenakan pajak sampai dengan batas tertentu (Rohatgi, 2002).

Hal yang sama berlaku ketika negara tersebut tidak mengenakan pajak atas suatu transaksi walaupun negara tersebut memiliki hak untuk memajaki atas penghasilan yang timbul. Namun demikian, dengan ditandatanganinyaΒ taxΒ treaty, negaraΒ tersebutΒ menetapkan batasΒ hak pemajakannyaΒ berdasarkan kedaulatan yang dimilikinyaΒ (Mclure, 2001).

Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting apabila terhadap suatuΒ tax treatyΒ yang ditandatangani oleh negara, khususnya Indonesia,Β disematkan di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak hanya menyoal atas kekuatan hukum terhadapΒ tax treatyΒ tersebut,Β tapi jugaΒ menyoal kedaulatan negara yang akan diaplikasikan.

Ketentuan di Indonesia terkait pengikatanΒ tax treatyΒ diatur di dalam Undang-Undang (UU) No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Adapun ketentuan dalam Pasal 2 mengharuskan Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik.

Penjelasan dalam Pasal 2 UU No.24/2000, menjelaskan bahwa materi yang menyangkut kepentingan publik diatur di dalam Pasal 10. Lebih lanjut, Pasal 10 memuat materi-materi yang berkenaan dengan kepentingan publik di mana salah satunya adalah kedaulatan atau hak berdaulan negara.

Seperti dijelaskan sebelumnyaΒ tax treatyΒ bersinggungan dengan kedaulatan negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwaΒ tax treatyΒ merupakan bagian dari Pasal 10 UU No.24/2000 yang berkorelasi dengan Pasal 2, di mana menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai bagian dari kepentingan publik. Hal ini membawa konsekuensi bahwaΒ tax treatyΒ diharuskan untuk berkonsultasi dengan pihak DPR di dalam proses pembuatan dan pengesahannya.

Dalam pasal 32 A UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) ditegaskan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak (tax treaty).

Apabila UU PPh dihubungkan dengan UU No.24/2000, dapat dibaca bahwa pemerintah berwenang untuk melakukanΒ tax treatyΒ yang dalam proses pembuatan dan pengesahannya dilakukan dengan berkonsultasi dengan DPR, mengingatΒ tax treatyΒ merupakan bagian dari kepentingan publik.

Tanpa adanya konsultasi dengan pihak DPR, kekuatan hukum atasΒ tax treatyΒ memiliki potensi untuk dipertanyakan. Perlu diketahui bahwa Pasal 32A UU PPh menegaskanΒ tax treatyΒ memiliki kekuatan hukum yang sama, bahkan lebih istimewa dari ketentuan setingkat UU (lex specialis).

Pasal 11 UU No.24/2000 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk di dalam materi Pasal 10 (kepentingan publik) dilakukan melalui keputusan presiden. Atas pengesahan tersebut hanya perlu memberitahukan kepada DPR.

Lebih lanjut, penjelasan Pasal 11 tersebut menyuratkan bahwaΒ tax treatyΒ memiliki sifat yang hanya berupa β€œprosedural” atau β€œteknis”, memerlukan penerapan dalam waktu singkat dan tidak mempengaruhi perundang-undangan nasional. Konsekuensinya, tidak diperlukan adanya konsultasi dengan DPR.

Ketentuan Pasal 11 UU No.24/2000 kenyataannya tidak beriringan dengan argumentasi yang telah diruaikan di atas. Apabila diterapkan di dalam tabel, akan tampak perbandingan sebagai berikut.

No.Komponen Pasal 11 UU No. 24/2000Keadaan FaktaStatus
1.Tax treaty bersifat β€œprosedural” atau β€œteknis”Tax treaty bersinggungan dengan kedaulatan negara yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengaturan Pasal 10, yaitu kepentingan publikPasal 11 belum sejalan
2.Memerlukan penerapan dalam waktu singkat dan tidak mempengaruhi perundang-undangan nasionalDengan adanya tax treaty, negara membatasi kedaulatannya untuk tidak mengenakan hak pemajakan seluruhnya atau mengenakan pajak hanya sebagian saja (membagi hak pemajakannya dengan negara lain)Pasal 11 belum sejalan

Belajar dari pengalaman dihapuskannyaΒ tax treatyΒ antara Indonesia dan Mauritius, sebenarnya dapat dihindari sejak awal jika proses pembuatan dan pengesahannya didahului oleh pembahasan dengan pihak DPR. Hal ini menunjukkan betapa peran DPR bisa memberikan pengaruh yang begitu penting dalam proses pembuatan dan pengesahanΒ tax treaty. (Darussalam, 2006).

Oleh karena itu, merupakan hal yang penting untuk mendudukan pengesahan dan pembuatanΒ Tax TreatyΒ di Indonesia dengan berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 2 UU No. 24/2000 agar tercipta kordinasi sejak awal dengan DPR selaku mitra kerja pemerintah. Hal ini mengingat tidak hanya persoalan kepastian hukum, tetapi juga soal kedaulatan negara.(Anggi Tambunan)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.