ANALISIS PAJAK

Mencegah Penghindaran Pajak dalam Isu Beneficial Owner

Redaksi DDTCNews
Selasa, 10 September 2019 | 14.01 WIB
ddtc-loaderMencegah Penghindaran Pajak dalam Isu Beneficial Owner
DDTC Consulting

SALAH satu isu yang hangat diperbincangkan baru-baru ini adalah kepemilikan asing pada unicorn di Indonesia. Unicorn merupakan istilah yang dipakai untuk perusahaan rintisan (startup) yang memiliki valuasi senilai US$1 miliar atau setara dengan Rp13,1 triliun.

Hingga 2019, di Indonesia telah beroperasi empat perusahaan startup yang tergolong unicorn. Perusahaan tersebut adalah Gojek dengan valuasi Rp140 triliun, Tokopedia dengan valuasi Rp98 triliun, Traveloka dengan valuasi Rp56,1 triliun, dan Bukalapak dengan valuasi Rp14 triliun.

Pada pertengahan Juli 2019 lalu, muncul isu unicorn tersebut memiliki perusahaan induk di Singapura. Pola investasi yang diberlakukan adalah setiap investor yang ingin menyuntikkan modal pada unicorn itu harus melalui perusahaan induk unicorn yang berada di Singapura.

Belakangan, unicorn Indonesia melakukan klarifikasi bahwa mereka tidak memiliki induk di Singapura, dan seluruh investasi masuk ke perusahaan modal asing mereka yang berada di Indonesia. Unicorn di Indonesia ternyata terdaftar sebagai perusahaan modal asing (PMA).

Munculnya isu tersebut dapat menjadi pendorong bagi Pemerintah Indonesia terutama otoritas pajak untuk mengulik lebih dalam siapa pemilik sebenarnya (beneficial owner) unicorn itu, misalnya untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak.

Pemerintah Indonesia telah menuntut transparansi perusahaan dengan mewajibkan perusahaan mengungkap dan menerapkan prinsip mengenali beneficial owner­. Masalahnya, banyak perusahaan khususnya yang terdaftar sebagai PMA terkendala dalam mendapatkan informasi tersebut.

Transparansi mengenai beneficial owner itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Peraturan itu menyatakan beneficial owner adalah perseorangan yang memiliki dana atau saham korporasi sebagai akibat dari tiga kewenangan, yaitu menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan berhak atas dan/atau menerima manfaat korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penghindaran Pajak
DALAM konteks perpajakan, beneficial owner mengacu pada penerima penghasilan yang mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan yang diterima sesuai dengan keputusannya sendiri tanpa kendala akibat ikatan kontrak atau kewajiban hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak lain (Darussalam, 2018).

Beneficial owner adalah penerima penghasilan yang bertindak bukan sebagai agen, bukan pinjam nama (nominee), dan bukan perusahaan conduit atau perantara (Lang et al., 2008). Namun, definisi pasti mengenai beneficial owner hingga saat ini sebenarnya masih belum jelas.

Ketidakjelasan tersebut disebabkan oleh konsep beneficial owner tidak diberikan definisinya dalam pasal-pasal OECD Model dan hanya dijelaskan secara terbatas dalam OECD Commentary dan OECD Conduit Companies Report tahun 1986 (Demin et al., 2019).

Skema penghindaran pajak terkait dengan beneficial owner dapat terjadi jika perusahaan di Indonesia membayarkan bunga, dividen, atau royalti kepada pihak di negara lain dengan tarif pajak rendah atau negara yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia. Padahal, beneficial owner sebenarnya ada di negara yang tidak mendapat manfaat penurunan tarif pajak P3B.

P3B dapat disalahgunakan subjek pajak dalam negeri di negara ketiga yang bukan merupakan pihak P3B dengan cara menempatkan nominee atau agent, yaitu pihak yang bertindak atas nama orang lain di salah satu negara yang mengadakan P3B (Darussalam dan Ngantung, 2017).

Terdapat tiga solusi yang dapat diterapkan untuk mencegah penghindaran pajak terkait dengan isu beneficial owner. Pertama, pengenaan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak melaporkan siapa pemilik manfaat sebenarnya dari perusahaan sesuai dengan yang diatur Perpres 13/2018.

Kedua, meningkatkan transparansi data beneficial owner antarinstansi pemerintah dan memastikan pertukaran data berjalan dengan baik. Ketiga, bekerja sama dengan instansi pemerintahan di negara lain untuk dapat berbagi dan mengakses data beneficial owner masing-masing negara.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.