ANALISIS PAJAK

Masih Perlukah Penurunan Tarif PPh Badan?

Redaksi DDTCNews
Senin, 18 Februari 2019 | 10.38 WIB

TAWARAN kebijakan pajak dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019-2024 seharusnya menjadi bagian yang menarik untuk dicermati. Maklum, lebih dari 70% penerimaan negara ditopang dari penerimaan pajak. Selain itu, pajak juga menjadi salah satu instrumen yang sering digunakan untuk menstimulasi perekonomian.

Berdasarkan penjelasan kedua kubu yang disuguhkan dalam InsideTax edisi ke-40, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menawarkan satu kebijakan yang serupa. Tawaran itu terkait dengan iklim usaha dan daya saing pelaku usaha atau wajib pajak (WP) badan. Janji penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan muncul dari kedua kubu.

Selain menjadi senjata ‘populis’, janji penurunan tarif PPh badan  juga selaras dengan kondisi global. Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memang menunjukkan tarif PPh badan memiliki tren dengan kecenderungan menurun, terlebih pascareformasi pajak Amerika Serikat. Lantas, apakah Indonesia memang butuh melakukan pemangkasan tarif PPh badan?

Kontribusi Signifikan
DALAM struktur penerimaan pajak di Indonesia, PPh badan masih menjadi salah satu tumpuan fiskal. Menilik data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan PPh Pasal 25/29 badan pada 2018 (unaudited) mencapai Rp255,4 triliun. Angka tersebut tercatat sekitar 37,1% dari realisasi penerimaan PPh nonmigas Rp686,8 triliun. Adapun penerimaan PPh nonmigas mencapai 52,2% dari total realisasi penerimaan pajak.

Pada tahun ini, penerimaan PPh badan ditargetkan mencapai Rp311,5 triliun atau sekitar 37,6% dari target penerimaan PPh nonmigas Rp828,3 triliun. Adapun target penerimaan PPh nonmigas pada 2019 mengambil porsi 52,5% dari target penerimaan pajak dalam APBN senilai Rp1.577,6 triliun. Dengan demikian, pemerintah masih mengandalkan kinerja korporasi.

Sejalan dengan kinerja PPh badan, kinerja PPh pasal 21 (WP orang pribadi/OP), yang selama ini menggunakan skema pemungutanwithholding, juga cukup tinggi. Pos penerimaan PPh WP karyawan ini mencatatkan persentase 19,7% dari total penerimaan PPh nonmigas pada 2018. Pada tahun ini, penerimaan PPh WP karyawan ditarget mencapai Rp145,8 triliun atau mengambil porsi 17,6% dari target penerimaan PPh nonmigas Rp828,3 triliun.

Ironisnya, masih menjadi masalah klasik hingga saat ini, realisasi penerimaan PPh pasal 25/29 OP masih sangat minim. Pada 2018, realisasi penerimaan PPh OP nonkaryawan ini tercatat senilai Rp9,41 triliun. Kinerja tersebut mencatatkan pertumbuhan 20,53% atau melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya 46,91%.

Kontribusi penerimaan dari pos PPh OP nonkaryawan hanya 0,75% dari total penerimaan pajak nonmigas. Pada 2019, PPh OP nonkaryawan hanya ditarget dapat memberikan penerimaan Rp10,9 triliun. Padahal, menurut laporan Bank Dunia bertajuk ‘Indonesia's Rising Divide’ diketahui 10% orang terkaya di Tanah Air mengusai 77% kekayaan negara. Sementara, 1% orang terkaya di republik ini memiliki separuh kekayaan Indonesia.

Besarnya porsi penerimaan dari WP badan dan WP OP karyawan (withholding) dibandingkan dengan WP OP nonkaryawan sejalan dengan Cedric Sandford (2000) dalam bukunya ‘Why Tax Systems Differ: A Comparative Study of the Political Economy of Taxation’. Menurutnya, porsi penerimaan PPh OP pada negara-negara berkembang cenderung lebih kecil. PPh akan lebih banyak disumbang oleh perusahaan besar.

Kondisi ini terjadi karena pemungutan PPh membutuhkan tingkat kecanggihan administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemungutan pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Banyak negara berkembang yang tidak memiliki basis data yang dapat diandalkan untuk mengenakan PPh secara luas.

Jika dilihat, realisasi penerimaan PPN memang cukup besar. Pada tahun lalu, penerimaan pajak atas konsumsi itu tercatat Rp538,2 triliun atau sekitar 40,9% dari total penerimaan pajak Rp1.315,9 triliun. Pada tahun ini, penerimaan dari PPN ditargetkan mencapai Rp655,4 triliun atau mencapai 41,5% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2019 senilai Rp1.577,6 triliun.

Berbagai informasi tersebut agaknya membuat penurunan tarif PPh Badan menjadi kebijakan yang cukup berisiko.

Kepatuhan Pajak
MELIHAT struktur penerimaan pajak tersebut, risiko tergerusnya potensi penerimaan negara dapat dipastikan ada ketika pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif PPh badan. Hal serupa juga terjadi jika ada pemangkasan tarif PPh OP. Langkah ini juga tidak menjamin adanya penambahan basis pajak baru. Apalagi, dengan sistem self assessment, celah untuk tidak patuh secara material maupun formal, masih terbuka.

Michael Thom (2017), dalam bukunya ‘Tax Politics and Policy’, mengatakan pendekatan WP dengan mendelegasikan tanggung jawab penghitungan kewajiban pajak kepada WP mampu menurunkan biaya kepatuhan negara, tapi meningkatkan kemungkinan kesalahan dan penghindaran pajak. Kemungkinan itu juga berisiko menekan penerimaan negara.

Tahun 2018, kepatuhan formal WP tercatat turun menjadi 71,02% dari tahun sebelumnya 73%. Kepatuhan formal WP badan juga tercatat turun dari 65% menjadi 58,8%, meskipun penerimaan (kepatuhan material) mengalami peningkatan hingga 22%. Tidak sejalannya kepatuhan formal dan material ini salah satunya juga mengindikasikan pemusatan kepatuhan material pada WP badan tertentu.

Lantas, apakah sebaiknya tidak perlu ada pemangkasan tarif? Tidak bisa langsung disimpulkan demikian. Pemangkasan ini menjadi salah satu politik kebijakan yang bisa diambil setiap rezim pemerintahan. Apalagi, dalam konteks ini, pajak digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menggerakkan ekonomi lewat investasi.

Terlepas dari efek positif pada perekonomian yang perlu pembuktian di kemudian hari, pemerintah perlu mengambil langkah untuk mengompensasi risiko penurunan penerimaan pajak. Hampir semua pihak sepakat langkah yang bisa dilakukan yakni dengan menggunakan dan mengoptimalkan teknologi dalam sistem administrasi. 

Selain itu, optimalisasi pemanfaatan data Automatic Exchange of Information (AEoI) juga dibutuhkan untuk mengerek penerimaan dari PPh WP nonkaryawan. Saat ditemui pada akhir tahun lalu dalam gelaran International Taxation Conference di Mumbai, India, Head of Global Forum Secretariat OECD, Monica Bhatia, sangat bersemangat mengungkapkan pentingnya AeoI. terutama bagi negara-negara berkembang yang selama ini masih berkutat melawan aliran dana gelap (illicit financial flow).

Berpijak pada penjelasan di atas, sah-sah saja jika rezim pemerintahan selanjutnya memutuskan untuk menurunkan tarif PPh, terutama untuk badan. Namun, langkah itu perlu diikuti dengan peningkatan basis pajak dan kepatuhan WP itu sendiri. Alih-alih menurunkan beban, langkah itu berisiko menambah beban karena WP ‘itu-itu saja’ yang akan ditagih untuk memenuhi target. Semoga tidak.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.