ANALISIS PAJAK

Menyoal Pemajakan atas Reorganisasi Usaha

Redaksi DDTCNews
Kamis, 14 Februari 2019 | 13.58 WIB
ddtc-loaderMenyoal Pemajakan atas Reorganisasi Usaha
DDTC Consulting

PADA penghujung tahun 2018, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 205/PMK.010/2018. Peraturan tersebut merupakan perubahan atas PMK Nomor 52/PMK.010/2017 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan dan Perolehan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Pemekaran atau Pengambilalihan Usaha (PMK 52/2017).

PMK 205 hanya mengubah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 3 PMK 52/2017. PMK52/2017 sendiri merupakan pengganti PMK Nomor 43/PMK.03/2008 (PMK 43/2008). Perubahan pada Pasal 1 PMK 52/2017 terkait dengan penambahan dua kriteria wajib pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku sehingga seluruhnya menjadi enam kriteria wajib pajak sebagai berikut.

(i) wajib pajak yang belum go public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana (initial public offering), (ii) wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (initial public offering).

Selanjutnya (iii) wajib pajak badan yang melakukan pemisahan unit syariah dalam rangka menjalankan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, (iv) wajib pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

Kemudian (v) wajib pajak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia sepanjang pemekaran dilakukan terkait pembentukan perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara (holding).

Sementara itu, perubahan Pasal 3 PMK 52/2017 berkaitan dengan ketentuan mengenai dokumen tambahan yang harus dilampirkan oleh wajib pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500 miliar dan wajib pajak BUMN yang menerima tambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia sepanjang pemekaran dilakukan terkait dengan pembentukan perusahaan induk BUMN (holding) ketika mengajukan permohonan penggunaan nilai buku kepada Dirjen Pajak.

Tampak jelas bahwa perubahan atas PMK 52/2017 ditujukan untuk menyelaraskan dengan kebijakan Presiden Jokowi terkait dengan pembentukan holding atau superholding BUMN.

Memang betul bahwa PMK 52/2017 dan perubahannya telah memenuhi procedural equity ketika melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha. Namun, hal tersebut belum dapat diterapkan dalam konteks pemekaran usaha.

Meskipun telah memperluas cakupan wajib pajak yang berhak menggunakan nilai buku ketika melakukan pemekaran usaha, PMK52/2017 dan perubahannya sepertinya belum memenuhi prinsip equality, khususnya procedural equity seperti dikemukakan oleh Vanistendael (1998).

Dalam konteks ini suatu ketentuan perpajakan dikatakan memenuhi prinsip procedural equity jika tidak membedakan jenis dan kegiatan usaha wajib pajak yang diperbolehkan menggunakan nilai buku ketika melakukan pemekaran usaha.

Persyaratan Tujuan Bisnis 
BERDASARKAN penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa materi perubahan PMK 52/2017 hanya terbatas pada penambahan kriteria wajib pajak yang berhak menggunakan nilai buku berikut persyaratan administrasi tambahan.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak untuk dapat menggunakan nilai buku tidak mengalami perubahan. Salah satu syarat dimaksud adalah terpenuhinya persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Selain itu, larangan bagi wajib pajak yang menerima harta dengan menggunakan nilai buku untuk mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari wajib pajak yang mengalihkan harta dalam penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha masih tetap berlaku.

Rumusan persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) yang diatur dalam Pasal 2 PMK 52/2017 secara substansial tidak berbeda dengan yang diatur sebelumnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2008.

Persyaratan business purpose test terpenuhi apabila: (i) tujuan utama dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha adalah untuk menciptakan sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak.

Selanjutnya (ii) kegiatan usaha wajib pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha, (iii) kegiatan usaha wajib pajak yang mengalihkan harta wajib dilanjutkan oleh wajib pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat lima tahun.

Kemudian (iv) kegiatan usaha wajib pajak yang menerima harta tetap berlangsung paling singkat lima tahun, dan (v) harta berupa aktiva tetap yang berasal dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha tidak dipindahtangankan paling singkat 2 tahun.

Ginsburg dan Levin (1999) mengemukakan bahwa business purpose test lebih relevan diterapkan untuk kasus pemekaran usaha daripada kasus penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha. Hal ini didasari pada sejarah awal munculnya persyaratan tersebut.

Business purpose test merupakan produk yudisial pengadilan di Amerika Serikat tahun 1935 yang melibatkan Gregory vs Helvering. Dalam kasus tersebut, pengadilan memutuskan bahwa reorganisasi divisif (pemekaran usaha) yang dilakukan oleh Mrs. Gregory bukan untuk tujuan bisnis, melainkan semata-mata untuk melakukan penghindaran pajak.

Terpenuhi atau tidaknya business purpose test hanya dapat diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap catatan, notulen rapat, dan perjanjian reorganisasi itu sendiri atau dokumen yang berkaitan dengan aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan. Berdasarkan informasi tersebut, dapat diketahui apakah keputusan reorganisasi murni bermotif bisnis atau hanya sekadar upaya melakukan penghindaran pajak.

Larangan mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari wajib pajak yang mengalihkan harta dalam rangka reorganisasi usaha tentu bertujuan agar wajib pajak tidak memanfaatkan fasilitas penggunaan nilai buku untuk meminimalkan penghasilan kena pajak dengan cara melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha dari wajib pajak yang mengalami kerugian yang cukup besar.

Menurut Vanistendael (1998), negara-negara yang telah memiliki sistem perpajakan yang maju memperkenankan kompensasi kerugian/sisa kerugian dengan syarat terpenuhinya business purpose test. Sayangnya, di Indonesia, wajib pajak tetap dilarang untuk mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari wajib pajak meskipun telah memenuhi business purpose test.

Keberlanjutan Kepemilikan Saham
SELAIN pemenuhan syarat business purpose test dan keberlanjutan kegiatan usaha dalam rentang waktu tertentu (continuity of business enterprise)—yang di Indonesia menjadi bagian dari syarat business purpose test—sebenarnya masih terdapat satu syarat lagi agar dapat menggunakan nilai buku dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.

Syarat dimaksud adalah keberlanjutan kepemilikan saham (continuity of interest). Dalam konteks Amerika Serikat, syarat continuity of interest terpenuhi apabila pemegang saham wajib pajak yang mengalihkan harta tetap dapat mempertahankan kepemilikannya secara cukup, paling sedikit 50%, pada perusahaan yang mengalihkan harta atau yang menerima pengalihan dalam kurun waktu paling singkat lima tahun (Kidder, 2011).

Ketentuan mengenai syarat continuity of interest sejalan dengan teori yang mendasari penggunaan nilai buku (pooling of interest method), yaitu adanya kelanjutan kepemilikan (Baker, Lembke dan King, 2008).

Sebagaimana rumusan PMK 43/2008, PMK 52/2017 dan perubahannya belum memuat ketentuan mengenai pemenuhan syaratcontinuity of interest. Di samping itu, PMK 52/2017 dan perubahannya tetap mempertahankan rumusan penting yang sebelumnya telah diatur dalam PMK 43/2008, yaitu larangan mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari wajib pajak yang mengalihkan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.

Semestinya larangan tersebut tidak mutlak diterapkan atau setidaknya diperkenankan sampai suatu jumlah tertentu sepanjang syarat continuity of business enterprise, continuity of interest, dan business purpose test dapat dipenuhi oleh wajib pajak yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.