ANALISIS PAJAK INTERNASIONAL

Perlukah Organisasi Pajak Global?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 05 Juli 2017 | 10.29 WIB
ddtc-loaderPerlukah Organisasi Pajak Global?
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

DUA tahun lalu, dalam forum UN Third International Conference on Financing for Development yang diadakan di Addis Ababa, Ethiopia, sebanyak 193 negara di dunia sepakat untuk melawan pengelakan pajak, penghindaran pajak, dan aliran dana gelap (llicit financial flow) dalam rangka memobilisasi penerimaan negara.

Upaya itu diperlukan dalam rangka membiayai 17 agenda Sustainable Development Goals (SDG’s) 2016-2030, sebagai komitmen lanjutan dari MDG’s. Selain pencapaian tersebut, ada ide yang agaknya akan mewarnai perdebatan area pajak global di kemudian hari: Rencana pembentukan Organisasi Pajak Internasional (International Tax Organization/ITO).

Awalnya negara-negara berkembang di G-77 berhasrat untuk mentransformasikan UN Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters (UN Tax Committee) sebagai ITO secara permanen. Alasannya, dibutuhkan mekanisme perumusan sistem pajak global yang tidak lagi didominasi oleh peran OECD. Ide tersebut mendapat tantangan dari negara-negara maju.

Pada akhirnya, forum tersebut hanya sepakat untuk memperkuat kapasitas UN Tax Committee, dan bukan mentransformasikannya. Lantas, mengapa terdapat pro dan kontra pembentukan ITO? Apa sebenarnya manfaat ITO? Bagaimana kaitan ITO dengan perkembangan lanskap pajak global dewasa ini?

Debat Seputar ITO

DALAM berbagai literatur, ITO diharapkan dapat menjalankan beberapa fungsi, seperti memonitor tren dan statistik situasi pajak secara rutin, menjadi forum pajak internasional, memberikan saran dan solusi permasalahan pajak global, hingga menjadi pengawas dari kerja sama pertukaran informasi.

Meskipun demikian, paling tidak terdapat tujuh hal yang kerap diperdebatkan dalam ide mengenai ITO. Pertama, persoalan pajak internasional haruslah diselesaikan secara global. Interaksi ketentuan pajak masing-masing negara tidak hanya menciptakan persoalan pajak berganda, namun juga offshore tax evasion dan international tax avoidance.

Peluang dan insentif ketidakpatuhan pajak tersebut sejatinya dipengaruhi oleh beberapa hal, mulai dari perbedaan tarif, rezim insentif, sistem separate accounting (entity) approach, global value chain dan sebagainya (Kristiaji, 2015).

Sejatinya, tiap negara telah membuat ketentuan anti-penghindaran pajaknya masing-masing. Akan tetapi, selama belum ada harmonisasi sistem pajak antarnegara maka celah untuk melakukan baik pengelakan maupun penghindaran pajak masih terbuka. Dari sudut pandang inilah, bentuk kerja sama global dibutuhkan dan sebaiknya dituangkan dalam sebuah wadah (Rixen, 2016)

Kedua, kedaulatan pajak. Walau menarik, ide ITO terbentur dengan apa yang disebut sebagai kedaulatan pajak (tax sovereignty). Kedaulatan pajak tersebut dimaksudkan untuk memaksimumkan kesejahteraan penduduk, menjamin redistribusi pendapatan, berorientasi pada kepentingan nasional, berpihak pada masyarakat, serta menjamin nilai-nilai demokrasi (Dagan, 2013).

Adanya ITO jelas akan mengurangi keleluasaan masing-masing negara untuk mendesain sistem pajaknya sesuai dengan orientasi nasional mereka. Namun, pendapat tersebut tidak sepenuhnya diterima. ITO justru dianggap bisa menjamin kedaulatan pajak. Toh, kedaulatan pajak setiap negara sesungguhnya telah tergerus tanpa adanya ITO. Keleluasaan yang dimiliki tiap negara untuk mendesain kebijakan pajak khususnya PPh Badan sudah semakin menipis.

Kini, tiap pemerintah tidak bisa merumuskan kebijakan pajak dalam ruang yang ‘tertutup’, namun mempertimbangkan apa yang dilakukan oleh negara lain dan bagaimana hal tersebut bisa berdampak pada ekonominya. Tidak mengherankan jika IMF menjelaskan fenomena tersebut sebagai spillover effect (IMF, 2014). Adanya ITO justru dapat menjamin ketersediaan kedaulatan pajak tiap negara hingga derajat yang sama.

Ketiga, ‘jaminan basis penerimaan pajak’ sebagai barang publik. Ide ITO semakin relevan dengan adanya fakta bahwa ketidakpatuhan pajak dan alokasi pemajakan yang adil telah menjadi persoalan global.

Pengamanan basis pajak agar tidak tergerus kini dapat dikategorikan sebagai salah satu global public good (GPG) seperti halnya kelestarian lingkungan hidup, kestabilan pasar keuangan internasional, keamanan global, dan lain-lain (Kaul, et.al, 2003). Organisasi pajak internasional diharapkan bisa menjadi solusi dari tragedy of commons, yang dalam hal ini mengacu pada penghindaran pajak (Tanzi, 2016).

Keempat, perumus standar global. Agaknya semua negara sepakat bahwa dunia membutuhkan level playing field perpajakan yang sama. Akan tetapi, siapakah pihak membuat aturan main tersebut? Kita butuh konsensus global yang disusun oleh pihak yang berdiri di atas seluruh kepentingan, konsensus yang tidak berat sebelah. Artinya, pihak yang memeroleh legitimasi secara internasional untuk merumuskan hal tersebut harus bisa diterima seluruh negara.

Saat ini, OECD terutama Committee on Fiscal Affairs-lah yang mengambil peran tersebut. Tidak dapat dipungkiri, kapasitas dan kapabilitas mereka memang layak. Namun, latar belakang OECD sebagai perkumpulan negara-negara maju jelas telah menciptakan kekhawatiran dan resistensi dari negara-negara berkembang. Menyerahkan aturan main kepada OECD sama dengan menjustifikasi hegemoni negara maju dalam lanskap pajak global.

Kelima, legitimasi norma pajak internasional. Saat ini, sejatinya aturan main pajak global tidak memiliki legitimasi yang kuat dan mengikat bagi setiap negara. Norma pajak internasional hanyalah berupa soft law dan baru mengikat ketika hal tersebut diadopsi, baik dalam ketentuan domestik maupun perjanjian pajak bilateral. Masing-masing negara masih memiliki keleluasaan dalam mengadopsi soft law. Akibatnya, deviasi dari apa yang menjadi standar internasional masih sangat mungkin terjadi (Peters, 2014).

Keenam, penyelesaian sengketa pajak antarnegara. Sengketa pajak internasional sejatinya merupakan sengketa antarnegara dalam hal menjamin pengalokasian laba dan hak pemajakan. Saat ini, upaya untuk menyelesaikan sengketa di tingkat global dapat dilakukan melalui Mutual Agreement Procedure (MAP).

MAP merupakan prosedur administratif penyelesaian sengketa dengan pembicaraan intensif antarotoritas pajak. Tingginya interaksi ekonomi antarnegara yang selaras dengan pesatnya pertumbuhan sengketa pajak internasional, telah menciptakan kebutuhan MAP yang lebih efektif.

Sama halnya dengan proses perumusan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), MAP juga sangat dipengaruhi oleh ‘keahlian’ negosiator dan posisi tawar negara yang bersengketa. Adanya pihak yang dapat menjadi penengah dan menjamin penyelesaian sengketa secara netral dan tepat waktu, sangatlah dibutuhkan.

Terakhir, adanya perbedaan preferensi fiskal masing-masing negara. Preferensi tersebut dipengaruhi oleh situasi ekonomi, latar belakang sejarah dan politik, potensi sumber daya, hingga budaya. Menyatukan berbagai preferensi dalam suatu wadah merupakan sesuatu yang tidak mudah.

Keanekaragaman tersebut seringkali justru mendorong adanya kompetisi pajak dan bukan koordinasi (Kanbur dan Keen, 1993). Oleh karenanya, pembentukan ITO justru dianggap sia-sia dan sesuatu yang sifatnya utopis.

Menuju ITO?

ALIH-alih terus menyuburkan ide ITO, masyarakat internasional justru kini sibuk dengan dua kerangka kerja sama global di arena pajak. Pertama, Proyek Anti-BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). Di tahun 2015, OECD dan G20 merilis laporan akhir dari Proyek Anti-BEPS yang bertujuan untuk merestorasi sistem pajak internasional. Proyek yang terdiri dari 15 Rencana Aksi tersebut mencakup persoalan ekonomi digital, ketentuan dokumentasi transaksi hubungan istimewa, hingga multilateral instrument.

Kedua, pertukaran informasi yang dilakukan secara spontan, berdasarkan permintaan, hingga otomatis. Proyek yang digagas oleh OECD dan G20 ini bertujuan mendorong transparansi di arena pajak dengan pertukaran informasi antarotoritas pajak. Informasi yang dipertukarkan bisa bermacam-macam, mulai dari informasi keuangan, laporan per negara (country-by-country report), hingga tax rulings.

Pertanyaan berikutnya adalah, bukankah kita masih tetap membutuhkan mekanisme untuk menjamin ketaatan dari masing-masing negara atas kedua kerangka kerja sama tersebut? Bukankah ide pembentukan ITO masih sangat relevan?

Teori mengenai pembentukan organisasi internasional memperlihatkan bahwa suatu kerja sama semakin mudah dilakukan dalam kerangka yang lebih fleksibel dan tidak mengikat (Alesina, Angeloni, dan Etro, 2005). Artinya, kerangka tersebut seharusnya masih membuka ruang perbedaan-perbedaan preferensi.

Dalam konteks Proyek Anti-BEPS dan pertukaran informasi, kerangkanya memang dari awal tidak didesain untuk mereformasi secara total tatanan yang sudah ada, maupun merumuskan hal-hal yang mengikat.

Kedua kerangka kerja sama tersebut agaknya lebih mementingkan partisipasi dan kerangka kerja yang inklusif untuk secara perlahan-lahan menuju ke arah perubahan yang diharapkan. Ketimbang adanya aturan-aturan baru yang mengikat, tetapi hanya diikuti oleh sebagian negara saja. Atau dengan kata lain, mengutamakan size daripada scope.

Agaknya, kita perlu bersyukur atas kedua kerangka kerja sama tersebut. Walau tidak secara langsung menyelesaikan persoalan-persoalan pajak global, seperti kompetisi pajak yang tidak sehat, perencanaan pajak yang agresif, dan sebagainya, kerangka kerja sama tersebut paling tidak telah meletakkan pondasi awal bagi suatu hal yang nantinya lebih mengikat dalam ruang lingkup yang lebih luas (Darussalam dan Kristiaji, 2017). ‘Layunya’ ide pembentukan ITO sesungguhnya merupakan sesuatu yang rasional.

Kembali kepada judul pertanyaan artikel ini, perlukan organisasi pajak global? Jawabannya perlu. Walaupun sedikit melampaui zaman, ide tersebut bukanlah sesuatu yang hambar dan tanpa argumen. Hal yang harus diwaspadai adalah pembentukannya yang memerlukan kehati-hatian terutama mengenai fungsi, netralitas, ruang lingkup, dan bagaimana lembaga tersebut nantinya dapat memastikan kepatuhan. Lebih lanjut lagi, kita juga tidak boleh lupa bagaimana lembaga-lembaga serupa kerap menjadi kepentingan pihak tertentu saja.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.