TERDAPAT setidaknya tiga kondisi yang mendorong adanya perilaku perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning), yaitu. (i) Hukum pajak yang rumit dan kompleks; (ii) Sistem self-assessment yang memiliki ekspektasi bahwa wajib pajak akan secara jujur menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak; dan (iii) Tidak terdapat suatu ketentuan yang mewajibkan wajib pajak dan promotor pajak (tax promotor) untuk mengungkapkan segala macam perencanaan pajaknya yang berimplikasi terhadap tergerusnya basis penerimaan pajak. Akibatnya, promotor pajak (konsultan pajak, akuntan publik, firma hukum, penasihat keuangan, dan sebagainya) memanfaatkan kondisi-kondisi tersebut untuk mengeksploitasi perencanaan pajak yang agresif.
Situasi di atas menyebabkan maraknya tax shelter, yaitu suatu pemberian jasa yang diberikan oleh promotor pajak untuk melakukan penghematan pajak. Berdasarkan jasa yang diberikan tersebut, promotor pajak mendapat imbalan berupa sejumlah persentase dari penghematan pajak yang diperoleh.
Menurut Tanina Rostain dan Milton C. Regan Jr., dari bukunya yang berjudul Confidence Games: Lawyers, Accountants, and the Tax Shelter Industry, (2014), mengungkapkan kegiatan tax shelter telah dilakukan sejak sejak lama. Setidaknya terdapat tiga contoh kasus yang mencoreng reputasi dari para promotor pajak.
Pertama, X Company yang setuju untuk membayar 10 juta dolar AS kepada Kantor Pajak Amerika Serikat (IRS) dan berhenti memasarkan abusive tax shelter di tahun 2002.
Kedua, Y Bank bersedia membayar lebih dari 553 juta dolar AS kepada Pemerintah Amerika Serikat (US Department of Justice/DoJ) atas keterlibatannya dalam kegiatan tax shelter dari tahun 1996 sampai 2002. DoJ menyatakan bahwa jumlah tersebut merupakan kerugian yang ditimbulkan oleh Y Bank dari keterlibatannya dalam kegiatan tax shelter, jumlah pajak, bunga yang tidak dapat dikumpulkan oleh IRS dari pembayar pajak, dan penalti sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh IRS pada bank tersebut sebagai promotor pajak.
Ketiga, pada Februari 2013, Z Company akhirnya menandatangani perjanjian dengan DoJ sehubungan dengan kegiatan tax shelter. Sesuai perjanjian dengan pemerintah, Z Company setuju untuk membayar denda 123 juta dolar AS atas keterlibatannya dalam produk-produk perencanaan pajak agresif, seperti CDS, COBRA, CDS Add-On, dan PICO.
Kewajiban Pengungkapan
Aktivitas perencanaan pajak yang agresif berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai industri kerahasiaan (secretive industry). Industri ini melibatkan peran promotor, wajib pajak, dan negara tax haven. Kehadiran negaratax haven, yang umumnya memiliki tarif pajak rendah atau nol, memiliki kerahasiaan perbankan, dan memiliki ring fencing regime bagi nonresiden, memiliki peran sentral. Namun perlu diperhatikan, dana yang berada dalam industri kerahasiaan belum tentu seluruhnya didorong oleh motif penghematan pajak, bisa juga disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang sesungguhnya.
Salah satu komponen penting untuk melawan perencanaan pajak yang agresif adalah ketersediaan data dan informasi mengenai kepatuhan dan perilaku wajib pajak. Namun, upaya mendapatkan data bukanlah hal yang mudah. Sumber informasi yang utama (primary source) berasal dari tax return (SPT), lampiran, dan dokumen pendukungnya, selama ini belum dapat memberikan data yang valid.
Untuk itu, otoritas pajak melengkapi informasi melalui upaya intelijen dan pengumpulan informasi yang berasal dari pihak ketiga. Sayangnya, informasi ini seringkali disembunyikan oleh promotor pajak sebagai pihak ketiga. Terkait dengan perannya, promotor pajak dituding sebagai pihak yang berkontribusi dalam membantu wajib pajak mendesain perencanaan pajak yang agresif. Berdasarkan Aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS) Nomor 12, sistem yang efektif dalam memperoleh informasi perencanaan pajak yang agresif, yaitu melalui kewajiban pengungkapan perencanaan pajak atau disebut dengan Mandatory Disclosure Rule (MDR).
Kewajiban pengungkapan perencanaan pajak memiliki tiga tujuan sebagai berikut: (i) untuk mendapatkan informasi awal atas potensi adanya skema penghindaran pajak yang agresif dalam rangka sebagai penilaian risiko (risk assessment); (ii) untuk mengidentifikasi skema-skema yang dipergunakan, pengguna (penerima manfaat), dan promotor pajak di waktu yang tepat; serta (iii) berfungsi sebagai pencegah, mengurangi aktivitas promosi, dan penggunaan skema penghindaran pajak (OECD, 2015).
Oleh karena dirasa efektif dalam mencegah skema penghindaran pajak, beberapa negara telah menerapkan ketentuan kewajiban pengungkapan perencanaan pajak. Misalnya, Amerika Serikat (1984 dan direvisi pada 2004), Kanada (1989, diperbaharui 2013), Afrika Selatan (2003, direvisi 2008), Inggris (2004, diamandemen 2006 dan 2011), Portugal (2008), dan Irlandia (2011). Implementasi kewajiban pengungkapan perencanaan pajak memberikan hasil yang positif, terutama memungkinkan pemerintah untuk segera mengetahui pola perencanaan pajak, celah-celah hukum yang dipergunakan, dan kemudian merespons dengan melalui revisi atau membuat ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.