Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah telah menerbitkan PMK 66/2023. Beleid ini mengatur tentang perlakuan pajak penghasilan (PPh) atas penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.
Ditjen Pajak (DJP) merilis pernyataan resmi terkait dengan PMK 66/2023 tersebut. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menegaskan penerapan pajak natura sangat memperhatikan nilai kepantasan yang diterima oleh karyawan.
“Sehingga, natura dan/atau kenikmatan dalam jenis dan batasan nilai tertentu dikecualikan dari objek pajak penghasilan,” ujarnya, dikutip dari Siaran Pers DJP Nomor SP- 23/2023, Rabu (5/7/2023).
DJP menyatakan batasan nilai tersebut telah mempertimbangkan indeks harga beli/purchasing power parity (OECD), survei standar biaya hidup (BPS), standar biaya masukan (SBU Kemenkeu), sport development index (Kemenpora), dan benchmark beberapa negara.
Adapun jenis dan batasan nilai yang telah ditetapkan untuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh dalam PMK 66/2023 adalah sebagai berikut:
DJP mengatakan PMK 66/2023 mulai berlaku pada 1 Juli 2023. Pemberi natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan PPh atas pemberian natura dan/atau kenikmatan yang melebihi batasan nilai mulai 1 Juli 2023.
Pemberian natura dan/atau kenikmatan untuk tahun 2022 dikecualikan dari objek pajak bagi karyawan/penerimanya. Simak ‘Natura dan Kenikmatan pada 2022 Dikecualikan dari Objek PPh’.
Sementara itu, pemberian natura dan/atau kenikmatan untuk periode Januari sampai dengan Juni 2023 yang merupakan objek pajak bagi karyawan/penerima, wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan oleh penerima/karyawan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2023.
PMK ini sekaligus mencabut PMK 167/2018. Simak pula ulasan mengenai PMK 66/2023 di sini.
DJP mengatakan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan kini dapat dibiayakan oleh pemberi kerja.
Biaya penggantian atau imbalan tersebut, sambung DJP, sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Sebaliknya, bagi penerima natura dan/atau kenikmatan, hal tersebut merupakan objek PPh.
Menurut DJP, pengaturan tersebut mendorong perusahaan/pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan cara memberikan berbagai fasilitas karyawan dan dapat membebankan biaya fasilitas tersebut sebagai pengurang penghasilan brutonya.
DJP berpendapat pengaturan tersebut juga memberikan kesetaraan perlakuan. Dengan demikian, pengenaan PPh atas suatu jenis penghasilan tidak memandang bentuk dari penghasilan tersebut, baik dalam uang maupun selain uang. (kaw)