ANALISIS PAJAK

Perspektif PPN Uni Eropa untuk Crowdfunding

Kamis, 19 September 2019 | 10:09 WIB
Perspektif PPN Uni Eropa untuk Crowdfunding

Bintang Perdana Putra,
DDTC Consulting

DEWASA ini banyak bermunculan instrumen jasa keuangan yang sarat manfaat. Salah satu yang populer adalah urun dana (crowdfunding). Instrumen ini menjadi salah satu mekanisme penampung dana dan modal yang dilakukan banyak pihak melalui platform teknologi informasi (Chesman, 2017).

Banyak platform yang menawarkan jasa crowdfunding, misalnya kitabisa.com dan kickstarter.com. Keduanya dapat mencerminkan crowdfunding yang ideal. Secara teori, model bisnis yang dijalankan platform tersebut menggunakan urun dana berdasarkan donasi (donation-based crowdfunding).

Donation-based crowdfunding lebih fokus pada penggalangan dana untuk proyek atau kegiatan sosial tertentu yang tidak memberikan kontraprestasi fisik dalam bentuk apapun kepada para penyumbang dana (Merkx, 2016).

Selain menggunakan pendekatan donasi, crowdfunding juga berkembang menjadi wadah pengumpul modal untuk entitas kecil dan menengah yang membutuhkan bantuan dana segar dari banyak pihak dalam rangka pengembangan performa usaha tanpa perlu melakukan initial public offering (IPO).

Model tersebut biasa disebut dengan urun dana berbasis saham (equity-based crowdfunding). Yang membedakan model ini adalah penyalur dana berhak mendapatkan kontraprestasi finansial yang berasal dari perputaran dana investasi penerima dana melalui perantara platform (Merkx, 2016).

Seiring dengan perkembangan varian instrumen jasa keuangan tersebut, pemerintah telah bergerak cepat dengan merancang payung hukum dalam rangka memberikan legalitas serta pengakuan hukum terkait dengan model instrumen jasa keuangan ini.

Pada akhir tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK No. 37/2018 yang memberikan payung hukum penyedia layanan equity-based crowdfunding di Indonesia. Hal tersebut menegaskan pengakuan secara hukum terhadap posisi instrumen jasa keuangan ini.

Namun, ketegasan dari sisi legalitas belum berbanding lurus dengan kepastian hukum terkait dengan aspek perpajakannya. Hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur secara terang mengenai implikasi pajak dari model bisnis crowdfunding, baik yang berbasis modal maupun varian lainnya.

Perspektif Uni Eropa
UNI Eropa menjadikan VAT Directive sebagai pedoman penerapan pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, VAT Directive pada dasarnya belum mengatur spesifik sistem pemajakan bisnis crowdfunding. Hanya, European Commission melalui VAT Committee telah melakukan pembahasan dan bersepakat mengenai sistem pemajakan crowdfunding ini (Pfeiffer, 2017).

Dalam perspektif Uni Eropa terkait dengan donation-based crowdfunding, tidak ada konsekuensi PPN yang dibebankan, dengan catatan donasi yang disalurkan kepada platform tidak berbentuk penyerahan barang atau jasa sebagaimana Pasal 2 VAT Directive (Pfeiffer, 2017).

Sementara itu, dari sisi platform, terdapat implikasi PPN jika platform memberikan tambahan biaya pemeliharaan (maintenance charge) kepada penerima dana. Berdasarkan studi kasus experiment.com, biaya yang dibebankan kepada penerima dana berupa persentase dari dana terkumpul (Merkx, 2016).

Adapun dalam equity-based crowdfunding, penerapan PPN dikembalikan pada kewajiban dalam program urun dana. Misalnya, kewajiban bagi penerima dana untuk menerbitkan sebagian saham kepada pemberi dana. Dengan demikian, pemberi dana berpeluang mendapatkan kontraprestasi bagi hasil atau dividen dari perputaran dana oleh penerima dana.

Berdasarkan contoh kasus di atas, European Court of Justice (ECJ) menegaskan kepemilikan saham dan pertambahan penghasilan dari laba usaha melalui dividen bukanlah aktivitas ekonomi sehingga bukan merupakan penyerahan barang atau jasa yang terutang PPN (Pfeiffer, 2017).

Model pemajakan crowdfunding yang telah diterapkan Uni Eropa bisa saja menjadi acuan bagi pemerintah untuk diterapkan di Indonesia. Namun, perlu dilakukan pembahasan yang serius karena perkembangan model bisnis digital terbilang sangat dinamis.

Selain itu, diperlukan percepatan penetapan kepastian hukum dalam aspek komersial ataupun perpajakan terkait dengan fenomena tersebut. Hal ini dilakukan agar dapat memberikan sirkulasi bisnis yang lebih sehat dan kondusif.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 20 April 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Konstruksi Bangunan bagi Korban Bencana Bebas PPN, Ini Aturannya

Kamis, 18 April 2024 | 16:50 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Salah Input Kode Akun Pajak dan Sudah Pembayaran, Ini Saran DJP

Kamis, 18 April 2024 | 14:30 WIB PERTUMBUHAN EKONOMI

Susun RKP, Ekonomi Ditarget Tumbuh 5,3 - 5,6 Persen pada Tahun Depan

BERITA PILIHAN