ANALISIS TRANSFER PRICING

Perkembangan dan Trend Safe Harbour Pasca Proyek BEPS

Sabtu, 28 April 2018 | 08:00 WIB
Perkembangan dan Trend Safe Harbour Pasca Proyek BEPS

Verawaty,
DDTC Consulting

T

TULISAN ini merupakan bagian dari kursus yang penulis dapatkan saat mengikuti Advanced Transfer Pricing Course. Kursus tersebut diselenggarakan oleh Institute for Austrian and International Tax Law, Vienna University of Economics and Business pada tanggal 23 – 27 April 2018 di Austria.

Salah satu topik yang dibahas adalah perkembangan safe harbourpasca Proyek BEPS. Safe harbour bukanlah topik baru dalam ranahtransfer pricing karena sudah ada beberapa negara yang menerapkan safe harbour. Saat ini, banyak negara sedang mempertimbangkan safe harbour dalam kebijakan transfer pricing, tidak terkecuali di Indonesia. Topik safe harbour juga menjadi perhatian otoritas pajak sebagaimana dikutip OECD dalam Transfer Pricing Country Profiles.

Publikasi tersebut memuat informasi mengenai aturan masing-masing negara saat ini, serta sejauh mana aturan di negara-negara tersebut mengikuti OECD Transfer Pricing Guidelines. Profil Indonesia yang telah diperbaharui bulan Oktober 2017 memperlihatkan bahwa safe harbour menjadi salah satu agenda DJP dalam memperbaharui ketentuantransfer pricing.

Ketentuan safe harbour merupakan ketentuan yang memungkinkan wajib pajak atau transaksi yang memenuhi syarat tertentu terbebas dari kewajiban administrasi dan pembuktian kewajaran transaksi (Dwarkasing, 2014). Meskipun pada tahun 1995 pedoman terkait safe harbour dipandang negatif karena tidak sesuai dengan arm’s length principle, namun OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 (TP Guideline 2017) kembali merekomendasikan safe harbour karena mampu mengurangi biaya kepatuhan.

Di dalam TP Guideline 2017, dibahas manfaat, pertimbangan, serta rekomendasi penggunaan safe harbour. Adapun manfaat dasar dari safe harbor, adalah: (i) menyederhankan dan mengurangi biaya kepatuhan untuk wajib pajak yang memenuhi syarat; (ii) memberikan kepastian kepada wajib pajak; dan (iii) memungkinkan otoritas pajak dapat lebih fokus pada pemeriksaan transaksi yang lebih kompleks atau berisiko tinggi.

Walau demikian, penggunaan safe harbour juga dapat menimbulkan beberapa konsekuensi, yaitu: (i) menyebabkan pendapatan kena pajak yang dilaporkan tidak sesuai arm’s length principle; (ii) meningkatkan risiko pengenaan atau penghindaran pajak berganda apabila diadopsi secara unilateral; (iii) membuka peluang bagi perencanaan pajak yang tidak tepat; dan (iv) memunculkan isu kesetaraan dan keseragaman.

Untuk itu, ketentuan safe harbour perlu dirancang dengan tepat serta diterapkan dalam keadaan yang sesuai sehingga dapat membantu meringankan beban kepatuhan dan administrasi transfer pricing. Selain itu, koordinasi ketentuan ini dengan negara lain menjadi sangat penting.

Ketentuan yang diberlakukan secara sepihak (unilateral safe harbours) dapat menimbulkan potensi pajak berganda dan penghindaran pajak berganda. Dengan demikian, bilateral dan multilateral safe harbour lebih direkomendasikan. Lebih lanjut, modifikasi hasil safe harbour melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) untuk membatasi potensi risiko pajak berganda juga disarankan (OECD, 2017).

Perkembangan di India dan Singapura

India merupakan negara yang dikenal memiliki pendekatan transfer pricing yang agresif. Pada Juni 2017 lalu, Central Board of Direct Taxes (CBDT) India menerbitkan notifikasi untuk merevisi aturan safe harbour agar dapat diimplementasikan pada tahun 2016-2017 sampai 2018-2019. CBDT India memperkenalkan aturan safe harbouruntuk jasa intra-grup bernilai rendah (low-value-adding intra-group services).

Jasa intra-grup yang dimaksud harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) jasa bersifat dukungan dan bukan bagian dari bisnis inti perusahaan; (ii) penyedia jasa tidak menanggung risiko signifikan; (iii) tidak memanfaatkan aset tak berwujud yang bernilai (high-value intangibles) juga tidak menciptakan aset tak berwujud yang bernilai; dan (iv) merupakan jasa yang tidak memiliki jasa pembanding eksternal sejenis yang dapat digunakan dalam penetapan harga wajar.

Revisi ketentuan safe harbour ini mewajibkan wajib pajak untuk memastikan aspek jasa intra-grup berikut telah disertifikasi oleh akuntan: (i) metode cost pooling; (ii) pengecualian atas biaya pemegang saham dan biaya duplikasi dari cost pool, dan (iii) kewajaran allocation key yang digunakan dalam pengalokasian biaya.

Berikut tingkat marjin safe harbour yang telah direvisi melalui ketentuan ini:

  • Marjin laba operasi terhadap biaya operasi terkait jasa IT berkurang dari 2022% menjadi 17-18%;
  • Marjin laba operasi terhadap biaya operasi sehubungan dengan KPO berkurang dari 25% menjadi 18%, 21% dan 24% tergantung pada persentase rasio biaya karyawan terhadap biaya operasional; dan
  • Marjin laba operasi terhadap biaya operasi sehubungan dengan jasa kontrak R&D, IT dan obatobatan farmasi generik telah berkurang dari 29-30% menjadi 24% (Bilaney, 2018).

Berbeda dengan India, otoritas pajak Singapura melalui Pedoman Transfer Pricing Edisi Kelima yang dirilis pada Februari 2018 menerapkan 5% mark-up untuk jenis jasa rutin yang umumnya: (i) merupakan jasa yang mendukung bisnis utama grup; (ii) berbeda dengan aktivitas utama grup dalam memperoleh pendapatan; (iii) bukan untuk memperoleh laba namun dibutuhkan untuk efektivitas grup; dan (iv) pemusatan dengan perusahaan induk untuk efisiensi bisnis.

Berikut daftar jasa pendukung rutin yang umumnya dilakukan dalam aktivitas intra-grup berbagai industri:

Tabel 1 – Jenis Jasa Rutin dalam Penyediaan Jasa Intra-grup di Singapura

No

Jasa

Deskripsi

1.

Akuntansi dan Audit

Menjaga catatan akuntansi, mempersiapkan laporan keuangan, rekonsiliasi data keuangan, memastikan keaslian dan kehandalan catatan akuntansi, melakukan audit internal keuangan dan operasional serta jasa lain yang sejenis.

2.

Piutang dan Utang Usaha

Mengumpulkan dan melakukan verifikasi data piutang dan utang usaha untuk tujuan pelaporan keuangan, penagihan, pembayaran ke pemasok, pembelian dan transaksi lain yang sejenis.

3.

Penganggaran

Menyatukan data untuk persiapan estimasi anggaran dan laporan anggaran.

4.

Dukungan Komputer

Menyediakan jasa asistensi teknis sehubungan dengan penggunaan hardware dan software komputer, perawatan infrastruktur IT, jasa troubleshooting dan jasa lain yang sejenis.

5.

Administrasi Database

Melakukan perawatan umum terkait database komputer

6.

Administrasi Manfaat Karyawan

Administrasi kompensasi karyawan dan fasilitas lainnya seperti: kesehatan, asuransi, insentif dan pembagian laba.

7.

Administrasi Umum

Melakukan fungsi administrasi umum seperti: pembelian umum, data entry, fotokopi, pembuatan janji, word processing dan perawatan file.

8.

Jasa Hukum

Menyediakan jasa hukum umum seperti konsultasi hukum.

9.

Penggajian

Menyatukan dan melakukan verifikasi waktu kerja dan klaim, komisi, penyediaan slip gaji dan mengelola kredit karyawan.

10.

Komunikasi Korporasi

Menangani komunikasi internal dan eksternal terkait kebijakan korporasi.

11.

Perekrutan

Menangani kebutuhan, isu kinerja dan kesejahteraan karyawan serta mengimplementasikan perekrutan.

12.

Perpajakan

Menyediakan formulir pengembalian pajak, merespon pertanyaan dan melaporkan serta membayar pajak perusahaan ke otoritas pajak.

13.

Pengembangan dan Pelatihan Karyawan

Mengelola dan mengimplementasikan program pengembangan dan pelatihan untuk karyawan.


Sumber: Petunjuk e-Tax IRAS – Pedoman Transfer Pricing (Edisi Kelima)

Selain jasa pendukung rutin seperti yang dijelaskan di atas, wajib pajak juga harus memenuhi persyaratan lainnya, yaitu: (i) penyedia jasa tidak menawarkan jasa pendukung rutin sejenis kepada pihak independen dan (ii) seluruh biaya termasuk biaya langsung, biaya tidak langsung serta biaya operasional terkait pemberian jasa diperhitungkan dalam mark-up 5%. Penyedia jasa mungkin mengadopsi mark-up yang berbeda dari 5% sehingga wajib pajak harus:

  • Mendukung basis penentuan harga dengan rincian analisis transfer pricing;
  • Menerapkan markup secara konsisten dari tahun ke tahun dalam grup hingga adanya perubahan yang material terjadi; dan
  • Mengkaji markup secara teratur untuk memastikan markup masih merefleksikan kondisi yang wajar (IRAS, 2018).

Pada akhirnya, perlu diketahui bahwa keberadaan ketentuan safe harbour masih relatif terbatas hingga saat ini. Hanya sepuluh negara (Australia, Austria, Brazil, Hungaria, India, Mexico, Belanda, Selandia Baru, Singapura and Amerika Serikat) yang menerapkan beberapa bentuk aturan safe harbor, terutama untuk jasa rutin atau berisiko rendah serta jasa bernilai tambah rendah.

Masih terbatasnya aturan safe harbour dapat disebabkan karena sulitnya merancang ketentuan yang berkaitan dengan penetapan ambang batas (threshold) safe harbour yang relevan. Penetapan threshold ini memerlukan pengetahuan yang terperinci mengenai kewajaran harga dalam jenis transaksi yang dipertimbangkan (Hofmann dan Riedel, 2018).

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 18 April 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ada Transaksi Afiliasi, SPT Tahunan Wajib Dilampiri Ikhtisar TP Doc

Rabu, 03 April 2024 | 08:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hanya 5 Hari! Diskon 40% untuk Buku Pajak dan Langganan Premium

Selasa, 02 April 2024 | 12:00 WIB KPP PRATAMA GORONTALO

Diedukasi soal Beneficial Ownership, WP Diimbau Hindari Praktik Ilegal

BERITA PILIHAN