INDONESIA adalah negara kaya, baik itu kekayaan alam, budaya maupun penduduknya yang lebih dari 260 juta. Apalagi pada tahun 2020-2030 Indonesia mengalami bonus demografi dimana usia produktif akan mendominasi populasi.
Pada tahun-tahun tersebut adalah puncak kejayaan bagi Indonesia. SDM usia produktif yang akan berkreasi untuk bangsa Indonesia. Dengan bonus demografi seperti itu, tentunya akan banyak manusia yang bekerja dan banyak pula pendapatan perpajakan yang masuk ke kas negara.
Namun, jika Pemerintah tidak bersiap untuk menghadapi keadaan tersebut, bisa jadi itu menjadi boomerang bagi Indonesia. Hal terburuk yang mungkin terjadi adalah membludaknya pengangguran di Indonesia.
Untuk itu pemerintah, perlu mempersiapkan diri untuk menangkap peluang dari adanya bonus demografi tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap Warga Negara Indonesia wajib berpendidikan. Seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
Kemudian, dipertegas dengan Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Hal ini jelas membuktikan bahwa negara sangat memperhatikan kondisi pendidikan di Indonesia. Apalagi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla wajib pendidikan yang dulu wajib 9 tahun menjadi 12 tahun, atau setingkat SMA/SMK sederajat.
Pendidikan saat ini memang sangat diperlukan untuk menghadapi era globlalisasi dimana setiap manusia dituntut untuk bisa dalam hal teknologi. Begitupun dengan sistem birokrasi yang mau tak mau harus berkembang seiring majunya perkembangan teknologi.
Sekarang ini apa-apa berbasis komputer, dan masyarakat juga dituntut untuk menguasai teknologi. Jalankan gaptek, pasif saja sudah ketinggalan zaman.
Seperti kata Sri Mulyani pada seminar utama Hari Oeang 72 di Aula Dhanapala, Kementerian Keuangan Jakarta pada 26 Oktober 2017 yang lalu. Ibu menkeu mengungkapkan bahwa kaum millennial (sebuatan untuk manusia zaman sekarang) itu harus 3C, yaitu creative, confidence, dan connected.
Sekarang semua hal internet, maka mau tak mau anak zaman sekarang itu harus selalu terkoneksi dengan internet. Begitulah kira-kira pemaparan ibu Sri Mulyani pada seminar Hari Oeang 72.
Selepas pendidikan dari SMA sederajat, nyatanya tak semua orang mampu untuk meneruskan kuliah. Kebanyakan dari mereka adalah rakyat menengah ke bawah, yang memang tak mampu untuk kuliah.
Memutuskan Bekerja
MESKI banyak beasiswa kuliah, namun pada kenyataannya banyak yang selepas SMA memutuskan bekerja dengan berbagai alasan. Ada yang memang sudah malas untuk belajar, beberapa sudah mendapatkan pekerjaan yang layak dengan ijazah SMA/SMK sederajat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Februari 2017 menunjukan dari 131,55 juta orang yang masuk sebagai angkatan kerja, tercatat 124,54 juta orang yang bekerja.
Sisanya yakni 7,01 juta orang berstatus pengangguran. Padahal SMK sudah diorientasikan ketika lulus nanti langsung bekerja, tapi nyatanya tak semua terserap dalam dunia kerja.
Dengan pendidikan setingkat SMA/SMK sederajat untuk memperoleh pekerjaan pun bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyak sekali pendidikan sarjana yang lulus tidak langsung bekerja alias menganggur.
Untuk itu perlu diadakannya reformasi pendidikan, akan lebih baik jika ada mata pelajaran perpajakan di tingkat SMA sederajat. Setidak-tidaknya ketika tingkat tiga.
Dimana para siswa dan siswi yang akan lulus dan menentukan pilihannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau memilih bekerja.
Mengapa demikian? Tentunya untuk bekal ketika mereka terjun di dunia kerja nantinya, sudah tidak kaget lagi dengan sistem perpajakan di Indonesia, juga menumbuhkan kesadaran sejak dini untuk membayar pajak.
Seperti yang penulis paparkan sebelumnya bahwa tak semua lulusan SMA sederajat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, banyak dari mereka langsung bekerja.
Dalam dunia kerja, tentu mereka mendapatkan penghasilan dari hasil kerjanya dan ada kewajiban pajak jika melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu Rp54 juta per tahun untuk orang pribadi.
Kemudian kemungkinan melakukan usaha UMKM yang dikenai pajak final 1% x bruto, tentunya akan kesulitan dalam urusan administrasi pajak karena belum mengerti perpajakan dan sistem perpajakan.
Untuk itu sangat perlu ada mata pelajaran perpajakan di tingkat SMA sederajat. Dengan adanya mata pelajaran perpajakan di SMA, bagi siswa yang langsung bekerja, dan memenuhi persyaratan untuk kewajiban perpajakan tidak akan dipusingkan lagi dengan tata cara perpajakan.
Mulai dari mendaftar NPWP sampai dengan pelaporan SPT. Selain itu, dengan adanya mata pelajaran perpajakan di tingkat SMA, akan menumbuhkan kesadaran bagi siswa untuk membayar pajak.
Sehingga kesadaran membayar pajak sudah ditanamkan sejak dini dalam mata pelajaran perpajakan tersebut. Hal ini merupakan salah satu cara untuk edukasi perpajakan sejak dini.
Selain itu, program ini juga menjadi inklusi keuangan bagi calon-calon penerus bangsa yang akan menjadi bagian dari angkatan kerja dalam bonus demografi pada tahun 2020-2030.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.