JAKARTA, DDTCNews – Para pemuka agama Budha, Konghucu, dan Hindu kali ini mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan Ditjen Pajak, sekaligus menyatakan keluh kesahnya soal perpajakan.
Anggota Majelis Udayana Indonesia Santoso mengeluhkan permasalahannya mengenai pengenaan pajak atas rumah ibadah. Menurutnya pengenaan pajak atas rumah ibadah merupakan suatu diskriminasi di mana rumah ibadah agama lain tidak dipajaki.
"Kami ada masalah, seharusnya rumah ibadah kami tidak dipajaki. Ini ada diskriminasi di mana rumah ibadah agama lain tidak dikenakan pajak. Yang tidak kena pajak cuma kebaktian saja, padahal tempat ibadah satu set ada pelatihan dan lain-lain," ujarnya di acara dialog perpajakan untuk para pemuka agama di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu (22/2).
Tidak hanya soal diskriminasi pengenaan pajak, menurutnya otoritas pajak menagih pajak tanpa penghitungan yang disertai data konkret. Dalam pemungutan pajak, ia merasa seperti diinjak oleh penagih pajak.
“Ada yang penghasilan Rp10 juta per bulan, tetapi bayar pajak sampai Rp200 juta. Kami ini orang awam. Kami ini mau bayar pajak, tetapi jaga perasaan kita. Jangan seperti preman. Tolong anak buahnya, jangan kami seperti orang yang diinjak,” katanya.
Setelah mengungkapkan protesnya, Santoso mengharapkan Dirjen Pajak untuk bisa mengedukasi seluruh pegawainya supaya menagih pajak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Santoso mengakui punya hubungan erat kepada Ditjen Pajak, sehingga hal seperti itu seharusnya tidak terulang lagi.
Menanggapi hal ini, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan rumah ibadah seharusnya tidak dikenakan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Ken menegaskan kewenangan PBB sudah dipegang oleh pemda sehingga bukan kewenangan pemerintah pusat lagi.
"Sejak beberapa tahun lalu, PBB perkotaan dan pedesaan, untuk pajak rumah ibadah sudah bukan Ditjen Pajak yang menangani. Itu dikembalikan ke pemda, nanti saya informasikan pemda supaya rumah ibadah jangan dikenai pajak," pungkasnya.