ANALISIS PAJAK

Pemajakan Divestasi Saham Lintas Batas

Rabu, 07 November 2018 | 06:52 WIB
Pemajakan Divestasi Saham Lintas Batas

R. Herjuno Wahyu Aji,
DDTC Consulting

BENTUK restrukturisasi usaha bermacam-macam, salah satunya divestasi. Gaughan (2017) mengemukakan divestasi dapat terjadi karena memang dikehendaki oleh pengusaha itu sendiri dan dapat juga karena adanya ketentuan dari otoritas suatu negara yang mengharuskan. Menurut Gaughan (2017), salah satu alasan perusahaan melakukan divestasi unit usaha adalah karena buruknya kinerja unit usaha tersebut.

Divestasi mungkin juga dilakukan terhadap unit usaha yang berada atau berkedudukan di negara lain dengan cara mengalihkan kepemilikan sejumlah saham. Sebagai suatu langkah strategi bisnis, pengusaha perlu mempertimbangkan implikasi pajak yang mungkin timbul akibat divestasi.

Tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat implikasi pajak akibat dilakukannya divestasi, khususnya berkaitan dengan penentuan negara mana yang berhak melakukan pemajakan atas divestasi lintas batas. Sebagai contoh, suatu perusahaan induk yang berkedudukan di Italia (X Corp) berencana melepaskan seluruh kepemilikannya pada perusahaan yang berkedudukan di Indonesia (PT Y). X Corp berencana menjual seluruh saham PT Y kepada PT Z yang berkedudukan di Indonesia juga. Dalam contoh tersebut, negara manakah yang berhak memajaki transaksi divestasi saham tersebut? Indonesia atau Italia?

Indonesia dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh X Corp dengan alasan bahwa penghasilan tersebut bersumber dari Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan logika pikir bahwa negara tempat penghasilan tersebut bersumber telah memberikan atau menyediakan tempat, barang, dan pelayanan publik sehingga subjek pajak dapat memperoleh penghasilan (benefit theory of taxation).

Sebaliknya, Italia juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh X Corp yang bersumber dari Indonesia karena adanya personal attachment antara Italia dan X Corp selaku penerima penghasilan. Ketika masing-masing negara mengenakan pajak atas penghasilan yang sama tersebut tentunya akan menimbulkan pemajakan berganda atau double taxation (Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi, 2010).

Untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda, beberapa negara di dunia menandatangani perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan negara lain. Berkaitan dengan P3B, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah mengaturnya dalam Pasal 32A. Ketentuan tersebut mengatur sebagai berikut

“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”

Penjelasan dari ketentuan tersebut di atas selengkapnya adalah sebagai berikut

“Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara”

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 32A UU PPh tersebut, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
  2. perjanjian dimaksud mengatur mengenai hak-hak pemajakan dari masing-masing negara;
  3. ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian dimaksud bersifat atau berlaku khusus (lex spesialis).

Menurut Klaus Vogel sebagaimana dikutip oleh Darussalam dan Danny Septriadi (2017), berdasarkan prinsip lex specialis derogate legi generali, ketentuan P3B berlaku khusus terhadap ketentuan pajak domestik. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 32A UU PPh, pemajakan atas divestasi saham yang dilakukan X Corp tunduk pada ketentuan yang diatur dalam P3B antara Indonesia dan Italia. Namun, untuk dapat mengaplikasikan ketentuan P3B, X Corp harus memenuhi persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017.

Berdasarkan ketentuan tersebut, X Corp harus menyampaikan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN) sebagai bukti bahwa ia benar merupakan tax resident Italia sehingga berhak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P3B Indonesia dan Italia.

Atas dasar asumsi X Corp dapat memenuhi persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam PER-10/PJ/2017, selanjutnya dapat menelaah ketentuan-ketentuan yang ada dalam P3B Indonesia dan Italia. Pasal 13 P3B Indonesia dan Italia mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas capital gain. Ketentuan Pasal 13 P3B dimaksud terdiri atas empat ayat sebagai berikut:

  1. gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of immovable property referred to in Article 6 and situated in the other Contracting State may be taxed in that other State.
  2. gains from the alienation of movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or of movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services, including such gains from the alienation of such a permanent establishment (alone or with the whole enterprise) or of such fixed base, may be taxed in that other State.
  3. gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of ships or aircraft operated in international traffic or movable property pertaining to the operation of such ships or aircraft shall be taxable only in that State.
  4. gains from the alienation of any property other than that referred to in the preceding paragraphs shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident.

Ayat (1), (2), dan (3) ketentuan Pasal 13 P3B Indonesia dan Italia jelas tidak mengatur hak pemajakan atas capital gain dari divestasi saham, sementara Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia dan Italia tidak secara tegas mengatur ketentuan tersebut. Namun demikian, frasa “…any property other that referred to in the preceding paragraph…” dalam Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia dan Italia dapat dimaknai bahwa gain dari divestasi saham tunduk pada ketentuan Pasal 13 ayat (4) P3B Indonesia dan Italia mengingat saham merupakan harta (property) dan pemajakan atas gain dari divestasi saham tidak diatur dalam ayat (1), (2), dan (3) dalam Pasal 13 P3B Indonesia dan Italia. Dengan demikian, hak pemajakan atas capital gain dari divestasi saham diberikan sepenuhnya kepada negara domisili (Italia).

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN