TUJUAN mulia kita dalam bernegara adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Adil dan makmur adalah dua dimensi yang sangat penting dan hanya bisa dijalankan apabila kondisi perekonomian negara kita tidak hanya tumbuh pesat, namun juga harus bersifat inklusif dan sustainable atau berkelanjutan.
Salah satu instrumen yang sangat penting dari bidang kementrian keuangan dalam mengelola dana negara, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau dikenal dengan kebijakan fiskal yang di dalamnya mencakup sistem perpajakan di Indonesia.
Lalu, siapa yang harus membayar pajak? Seluruh rakyat Indonesia yang memiliki kemampuan ekonomi tergolong wajib pajak. Terjadinya krisis keuangan global serta terkuaknya data penghindaran pajak dalam Panama Papers mendorong diadakannya kerjasama internasional melalui Automatic Exchange of Information (AEOI) atau pertukaran informasi untuk perpajakan.
AEoI (Automatic Exchange of Information) adalah pengiriman informasi tertentu mengenai wajib pajak, pada waktu tertentu secara otomatis dan berkesinambungan dari negara sumber penghasil atau tempat penyimpan kekayaan kepada negara wajib pajak.
Kebijakan ini memungkinkan pemerintah untuk memulihkan pajak yang hilang dan wajib pajak yang tidak patuh, serta memperkuat upaya internasional dalam meningkatkan transparansi kerjasama antar lembaga keuangan dan administrasi perpajakan.
Perlemahan ekonomi global telah menyebabkan turunnya nilai perdagangan internasional yang berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Melihat kondisi perekonomian global saat ini, satu-satunya ruang yang bisa kita harapkan adalah fiskal atau pajak.
Namun, jika kita lihat dari hasil penerimaan pajak tahun 2016, walaupun dengan tax amnesty, pajak kita hanya meningkat 4%, padahal pertumbuhan ekonomi nominal itu sekitar 8%. Artinya di tengah situasi seperti ini penerimaan pajak pun masih sulit diharapkan. Berarti ruang untuk invansi fiskal di tahun berikutnya juga terbatas.
Padahal, PP No. 36 tahun 2017 telah mengatur bahwa dalam hal wajib pajak, terdapat harta-harta yang belum dilaporkan di SPT, kemudian tidak memanfaatkan tax amnesty pada priode yang ditentukan maka ada konsekuensinya.
PR Besar
PENERIMAAN pajak saat ini sedang menjadi PR besar pemerintah. Pasalnya penerimaan pajak sejak Januari hingga akhir Agustus 2017 baru mencapai Rp.685.5 triliun atau 53.5 % dari target pajak dalam APBN Perubahan 2017 yang mencapai Rp.1283.6 triliun.
Sisa program tax amnesty tahun 2017 yang berakhir Maret ternyata belum mampu meningkatkan setoran pajak. Di akhir program ini peserta amnesti pajak justru menurun, rendahnya penerimaan pajak tahun ini berdampak besar bagi keuangan negara, mengingat sekitar 74% penerima pendapatan negara berasal dari setoran pajak.
Sejumlah langkah diambil pemerintah termasuk di antaranya adalah mengeluarkan PP No.36 Tahun 2017 yang berisi tentang PPh (Pajak Penghasilan) Final untuk harta yang belum atau tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan atau SPT (Surat Pemberitahuan) pajak.
Namun, langkah pemerintah yang gencar menggenjot permintaan pajak dikhawatirkan memberikan efek negatif pada perekonomian. Padahal saat ini, sejumlah negara memangkas tarif pajak mereka, misalnya Amerika Serikat yang akan menurunkan PP badan dan pribadi. Bahkan negara tetangga seperti Philipina dan Malaysia juga akan meringankan tarif pajaknya.
Strategi Baru
UNDANG-undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) adalah protokol utama berupa sistem yang akan mengatur bagaimana kita mengatur rezim perpajakan. Berbicara prihal tax amnesty, satu hal yang menarik yaitu dari segi tebusan yang mencapai angka cukup fantastis sebesar Rp107 triliun. Bukan hanya itu, dari total penerimaan pajak ternyata angkanya tidak meningkat banyak.
Di sini terdapat kontradiksi antar pembayar pajak dan penerima pajak, akibatnya timbul perspektif baru di mana jika orang ikut tax amnesty dia harus bayar 2% sedangkan jika tidak dia harus bayar 25% yang terjadi adalah orang ikut tax amnesty untuk menghindari rate yang 25% sehingga keberhasilan tax amnesty belum mampu meningkatkan tax revenue yang hanya tumbuh sekitar 4%.
Dalam hal ini, segi kepercayaan harus dibangun, sehingga reformasi dimulai bukan hanya dari revenue collectionmenuntut orang untuk bayar, tapi juga untuk melakukan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak kalau uang yang mereka bayar itu digunakan dengan baik. Salah satunya dengan mengeluarkan tim reformasi pajak memiliki tujuan bukan hanya untuk revenue collection tapi juga untuk how to build trust dari para pembayar pajak.
Indonesia membangun sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkuasaan hukum. Maka dari itu sudah selayaknya kita mendukung Ditjen Pajak melakukan complient risk management. Dalam sistem tersebut, wajib pajak masuk klasifikasi pajak dan dipetakan, jika semua sudah bekerja dengan sistem yang baik dan tidak ke personal lagi diharapkan akan lebih mudah.
Peningkatan tax ratio dalam jangka 3-4 tahun ke depan akan mendorong manajemen shifting ekonomi konvensional menuju digitalisasi. Hal ini salah satu strategi dalam membuat aturan perpajakan yang dapat menentukan dengan pola generasi milenial dalam membangun bisnis.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.