Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
JAKARTA, DDTCNews - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menilai perlu keberanian besar bagi suatu negara untuk memasukkan pajak karbon dalam struktur perundang-undangan.
Suahasil mengatakan pemerintah bersama DPR telah memutuskan untuk memasukkan pajak karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurutnya, hal itu dilakukan sebagai bagian dari reformasi pajak sekaligus menangani persoalan perubahan iklim.
"Tidak semua negara di dunia berani menaruh pajak karbon dalam struktur perundang-undangannya. Indonesia berani," katanya, dikutip pada Minggu (29/5/2022).
Pemerintah, lanjut Suahasil, telah lama merancang revisi undang-undang perpajakan, termasuk terkait dengan pajak karbon. Meski menghadapi tantangan pandemi Covid-19, pengesahan revisi undang-undang pajak tetap harus dilakukan agar reformasi berjalan sesuai dengan rencana.
Dia menjelaskan pemerintah mengupayakan reformasi perpajakan untuk memastikan penerimaan negara terus meningkat secara berkelanjutan. Apalagi, dalam situasi pandemi, APBN yang mengalami pelebaran defisit harus segera disehatkan.
"Kami melakukan itu saat pandemi. Kami enggak menunggu, nanti saja deh kalau sudah tidak ada pandemi kita memikirkan pajak karbon. Tidak," ujarnya.
Pengenaan pajak karbon telah diatur dalam UU HPP. Pada tahap awal, pemberlakuan pajak karbon akan dilakukan pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Pajak karbon dikenakan menggunakan mekanisme cap and trade. Oleh karena itu, pemerintah juga harus menyiapkan mekanisme perdagangan karbon yang tidak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga secara internasional. (rig)