LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Optimalisasi Penagihan Pajak Melalui Gijzeling

Redaksi DDTCNews
Kamis, 14 Desember 2017 | 16.32 WIB
ddtc-loaderOptimalisasi Penagihan Pajak Melalui Gijzeling
Yusi Jaya Masdiana,
Universitas Brawijaya.

“Taxes, after all, are dues that we pay for the privileges of membership in an organized society.” – Franklin D. Roosevelt

SETIAP warga negara memiliki hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya.Dalam kehidupan bernegara, semua yang disediakan pemerintah merupakan hak yang dapat kita manfaatkan. Namun, di sisi lain, ada kewajiban berupa kontribusi finansial bernama pajak.  Pajak diasumsikan sebagai penebus hak-hak tersebut.

Bukan rahasia jika penerimaan pajak merupakan penyumbang penerimaan negara terbesar, dalam Laporan Kinerja Ditjen Pajak 2016 disebutkan pajak berkontribusi 82,72% dari total realisasi penerimaan negara sebesar Rp1.551,78 triliun.

Mardiasmo (2011) dalam bukunya mengatakan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Mulai dari sektorpendidikan, pembangunan infrastruktur, kesehatan, subsidi BBM, hingga beban gaji pegawai pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa tanpa pajak, maka segala aktivitas pemerintahan akan mandek. 

Peran pajak yang sangat vital bagi roda pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, tidak serta merta menjadikan kesadaran wajib pajak meningkat. Kenyataannya, pemungutan pajak belum berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.

Dari tahun ke tahun, penerimaan pajak masih belum memenuhi target yang ditetapkan dalam APBN. Salah satu faktor penyebab permasalahan tersebut adalah tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance) yang relatif rendah.

Dari tahun 2013 hingga 2016, kepatuhan pajak Indonesia hanya sebesar 59,73%. Hal tersebut berimplikasi pada realisasi penerimaan pajak. Tercatat dari tahun 2013 hingga 2016, rata-rata realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 87,3%.

Mengenal Penagihan Pajak Melalui Penyanderaan/Gijzeling

Solusi apakah yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan pajak? Berbagai cara dapat dilakukan, salah satunya apabila wajib pajak tersebut sudah pada tahap tidak kooperatif dalam melunasi utang pajaknya.

Misalnya saja ketika wajib pajak mengabaikan surat paksa, maka tindakan yang mempunyai daya paksa lebih perlu dilakukan. Penagihan pajak dengan penyanderaan/gijzeling menjadi jawaban. Gijzeling merupakan upaya hukum terakhir untuk memaksa wajib pajak melaksanakan kewajibannya apabila sudah tidak mempunyai itikad baik.

Apabila setelah tindakan penagihan secara persuasif dengan surat teguran dan surat paksa, kemudian dengan penagihan aktif melalui penyitaan harta, pemblokiran rekening sampai pencegahan keluar negeri, wajib pajak belum juga menunjukan tanda-tanda akan membayar pajak maka penyanderaan akan dilakukan.

Dalam Zuraida (2011), gijzeling merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu.

Namun, yang patut disandera adalah hanya mereka yang memenuhi dua syarat, yakni syarat kuantatif, wajib pajak mempunyai hutang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000 dan syarat kualitatif, wajib pajak tidak memiliki itikad baik untuk membayar padahal dia mampu membayarnya.

Gijzeling bukan merupakan kebijakan baru di Indonesia, melainkan sudah ada sejak tahun 1959, yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959. Pelaksanaan gijzeling tidak selalu berjalan dengan baik. Setelah beberapa kali pencabutan dan penghidupan kembali  dengan berbagai alasan, aturan mengenaigijzeling terakhir kali diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan dengan Surat Paksa.

Pelaksanaan Gijzeling pada 2016

Tahun 2016, Ditjen Pajak berhasil menyandera 75 wajib pajak, melampaui target 33 usulan. Jumlah tersebut jauh di atas pencapaian tahun 2015, di mana dari 31 usulan, Dijen Pajak berhasil menyandera 38 wajib pajak.

Hal tersebut berpengaruh terhadap penerimaan pajak 2016 yang mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2015. Tercatat bahwa penerimaan pajak 2016 sebesar Rp1.105,8 triliun atau naik sebesar Rp109,5 triliun dari penerimaan pajak 2015. Selain itu,kepatuhan pajak juga mengalami kenaikan dari sebelumnya sebesar 60,42%  menjadi63,15%.

Pelaksanaan gijzeling bukannya tanpa hambatan. Banyak kendala yang membuat pelaksanaannya belum maksimal. Yang pertama adalah kurangnya pemahaman dan ketidaktahuan wajib pajak.

Kedua, belum tersedianya tempat khusus bagi sandera, selama ini sandera hanya ditahan di lembaga pemasyarakatan setempat sesuai keputusan Menkeu dan Menkumham, lalu belum ada peraturan yang mengatur tempat khusus untuk sandera. Dan ketiga, masih banyak pihak yang kontra terhadap gijzeling, mereka menganggapgijzeling adalah salah satu bentuk perampasan hak dan kemerdekaan.

Optimalisasi Gijzeling

Optimalisasi gijzeling perlu dilakukan, mengingat pengaruh positif yang ditimbulkan terhadap penerimaan pajak serta tingkat kepatuhan. Langkah strategis dan konkret harus segera dimulai. Upaya yang dapat dilakukan yakni mengatasi kendala pelaksanaan gijzeling.

Sosialisasi harus digencarkan mengingat masih banyak yang belum memahami dan mengetahuinya. Tentu sosialisasi tersebut jangan hanya diselenggarakan di kota besar saja, melainkan harus dari ujung ke  ujung Nusantara, terutama daerah dengan tingkat penerimaan pajak dan kepatuhan yang rendah.

Lalu menyediaan tempat khusus bagi sandera dan menetapkan regulasi terkait. Pemerintah harus bisa meyakinkan pihak-pihak yang kontra terhadap gijzeling. Karena pada dasarnya gijzeling berbeda dengan perampasan kemerdekaan dalam hukum pidana.

Gijzeling dilakukan karena wajib pajak sudah tidak menunjukan itikad baik dalam melunasi kewajiban pajaknya walaupun dia mampu untuk melunasinya, bukan karena melakukan tindak pidana tertentu yang memenuhi unsur pidana.

Jadi, peran gijzeling terhadap penerimaan dan kepatuhan pajak cukup besar. Di managijzeling ini mengeluarkan dana yang tertahan di wajib pajak tak patuh sehingga menambah penerimaan pajak serta memberi efek jera bagi wajib pajak tersebut dan  wajib pajak yang lainnya. Apalagi, pelaksanaannya di tahun 2016 dapat dikatakan sukses.

Sudah sepatutnya pemerintah harus lebih mengoptimalkan kebijakan tersebut agar kedepannya, penerimaan dan kepatuhan pajak di Indonesia semakin meningkat, sehingga bisa melampaui target yang telah ditetapkan dalam APBN.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.