Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Setelah sempat cukup lama 'sepi', isu tentang dijadikannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kini kembali ramai dibicarakan warganet. Pemberitaan terkait dengan topik ini laris manis dibaca netizen selama sepekan terakhir, periode 18 April sampai dengan 22 April 2022.
Update terbaru tentang kebijakan NIK sebagai NPWP disampaikan oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo saat menyampaikan sosialisasi UU HPP beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, kebijakan NIK sebagai NPWP akan mulai diimplementasikan pada 2023 mendatang.
Suryo menyampaikan, kebijakan tersebut membuat masyarakat tidak perlu lagi repot-repot mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Alasannya, secara administrasi nanti NIK sudah secara otomatis menjadi NPWP.
"Yang membedakan oh dia teraktivasi atau tidak, dia punya penghasilan atau tidak, kalau tidak punya penghasilan kami tidak akan mengaktivasinya," kata Suryo dalam acara Sosialisasi UU HPP.
Kebijakan pemerintah mengintegrasikan NIK-NPWP juga dipandang menjadi solusi atas permasalahan administrasi perpajakan selama ini. Selain itu, Suryo menambahkan, kebijakan ini juga diyakini ampuh menambah basis pajak.
DJP mencatat total wajib pajak terdaftar di Indonesia baru sebanyak 45 juta wajib pajak. Padahal, jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah lebih dari 270 juta orang. Berita lengkapnya, baca NIK sebagai NPWP, DJP: Masyarakat Tak Perlu Daftar Jadi Wajib Pajak.
Faktur Pajak Pedagang Eceran
Dirjen Pajak menerbitkan Perdirjen PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak. Beleid ini ikut mengatur ketentuan pembuatan faktur pajak oleh pengusaha kena pajak (PKP) pedagang eceran.
PKP pedagang eceran bisa membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual. Namun, faktur pajak tetap wajib memuat sejumlah keterangan. Apa saja? Simak PKP Pedagang Eceran Buat Faktur Pajak? Minimal Ada Keterangan Ini.
Pengawasan Pasca-PPS
Wajib pajak perlu memahami bahwa pengawasan oleh petugas pajak terus-menerus dilakukan guna meningkatkan kepatuhan. Hal ini pun berlaku terhadap peserta program pengungkapan sukarela (PPS), kendati program tersebut sudah berakhir nanti.
Penyuluh Pajak Ahli Madya Yudha Wijaya mengatakan deklarasi harta pada surat pemberitahuan pengungkapan harta (SPPH) akan disandingkan dengan data yang diperoleh dari automatic exchange of information (AEOI) serta instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) melalui aplikasi compliance risk management (CRM).
"Tentunya proses matching ini akan menjadi kegiatan utama fungsi pengawasan. Itu yang akan dilakukan oleh DJP. Pengawasan itu, baik ke peserta PPS maupun nonpeserta PPS," katanya dalam sebuah diskusi.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/2021, DJP memiliki kewenangan untuk melakukan penelitian terhadap wajib pajak melalui SPPH selama periode PPS.
Dari penelitian yang dilakukan tersebut, DJP dapat melakukan pembetulan hingga pembatalan surat keterangan apabila ternyata harta yang dilaporkan oleh wajib pajak tak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Artikel lengkapnya, baca Jika Nanti Periode PPS Berakhir, Peserta Bakal Tetap Diawasi DJP.
Selain ketiga berita di atas, masih ada sejumlah topik pemberitaan yang menarik perhatian netizen selama sepekan terakhir. Berikut adalah 5 artikel DDTCNews lainnya yang sayang untuk dilewatkan:
1. Harta PPS Sudah Digunakan pada 2022, Simak Saran DJP untuk Laporan SPT
Dirjen Pajak Suryo Utomo menjawab pertanyaan seorang wajib pajak terkait kepemilikan harta yang diungkapnya dalam PPS. Harta tersebut, ujar wajib pajak, sudah dibelanjakan untuk membeli properti pada tahun 2022 ini.
"Jika terdapat uang tunai yang diikutkan PPS, namun 2022 digunakan untuk aset properti, untuk pelaporan SPT Tahunan 2022 nanti atas harta yang diikutkan PPS dilapor tetap saat diikuti PPS , atau dilapor dengan harta terakhir berupa properti?" tanya wajib pajak tersebut kepada Dirjen Pajak.
Atas situasi tersebut, Dirjen Pajak meminta wajib pajak terkait untuk tetap melaporkan harta/asetnya dalam SPT Tahunan 2021 dan SPT Tahunan 2022.
"Saya kepinginnya tetap dilaporkan di SPT 2021 atas harta tersebut, kalau belum maka dilakukan pembetulan. Baru nanti pada SPT Tahunan 2022 diganti dari posisi duit ke aset yang baru," kata Suryo.
2. Ini Wujud Faktur Pajak yang Dapat Dibuat PKP Pedagang Eceran
Ada beberapa wujud dari faktur pajak yang dapat dibuat pengusaha kena pajak (PKP) pedagang eceran.
Sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) PER-03/PJ/2022, faktur pajak yang dibuat PKP pedagang eceran dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.
“Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk elektronik,” bunyi Pasal 27 ayat (2) PER-03/PJ/2022.
PKP pedagang eceran dapat melakukan pembetulan atau penggantian dan pembatalan faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran.
Adapun bentuk dan ukuran faktur pajak tersebut disesuaikan dengan kepentingan PKP pedagang eceran.
Pengadaan faktur pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh PKP pedagang eceran.
3. Sri Mulyani Sebut Ada 7 Konglomerat dengan Harta Lebih Rp10 Triliun Ikut PPS
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan ada 7 orang dengan total harta di atas Rp10 triliun telah mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) sampai dengan 17 April 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan kendati nominal harta yang dimiliki jumbo, ketujuh wajib pajak tersebut hanya mewakili 0,02% dari keseluruhan peserta PPS sebanyak 37.453 wajib pajak.
"Nah kalau kita lihat distribusinya yang menarik yang me-disclosure hartanya di atas Rp10 triliun ada 7 orang," kata Menkeu Sri Mulyani.
Namun, Sri Mulyani tidak membocorkan identitas ketujuh wajib pajak dengan kepemilikan harta di atas Rp10 triliun yang mengikuti PPS kali ini.
4. Ini Ketentuan yang Berlaku Jika Faktur Pajak Terlambat Dibuat
Atas faktur pajak yang terlambat dibuat, pengusaha kena pajak (PKP) akan dikenai sanksi.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) PER-03/PJ/2022, faktur pajak terlambat dibuat jika tanggal yang tercantum dalam faktur pajak melewati saat faktur pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau Pasal 4 ayat (3).
“PKP yang membuat faktur pajak … dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP,” bunyi penggalan Pasal 32 ayat (2) PER-03/PJ/2022.
5. Simak! DJP Umumkan Batas Akhir SPT Tahunan Badan Terkait Cuti Bersama
DJP merilis pengumuman resmi terkait dengan kebijakan pelayanan perpajakan sehubungan dengan batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh badan 2021 dan penetapan cuti bersama Lebaran. Kebijakan ini mempertimbangkan SKB 3 menteri yang mengatur libur Idulfitri dan cuti bersama tahun 2022.
Dalam pengumuman nomor PENG-9/PJ.09/2022, terdapat 5 poin kebijakan yang disampaikan DJP.
Pertama, batas waktu penyampaian SPT Tahunan untuk PPh wajib pajak badan adalah paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak. Artinya, untuk wajib pajak dengan periode tahun buku Januari—Desember, batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2021 adalah 30 April 2022. (sap)