DALAM sidang paripurna yang dilaksanakan pada Oktober 2017 lalu, DPR telah resmi mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 menjadi undang-undang.
Banyak hal yang menjadi sorotan utama dan cukup diperdebatkan dalam pengesahan APBN 2018, salah satunya terkait target penerimaan pajak.
Berdasaran APBN 2018 yang telah disetujui itu, target pajak dipatok Rp1.424 triliun. Apabila ditambah dengan penerimaan bea cukai maka target perpajakan menjadi Rp1.618,1 triliun. Nilai ini naik sebesar Rp8,7 triliun dibandingkan RAPBN 2018 dan naik 9,91% dibanding target APBN-P 2017.
Target tersebut terbilang cukup tinggi dan tidak realistis. Banyak pihak yang skeptis dan khawatir akan menyebabkan shortfall penerimaan pajak, menghambat realisasi belanja negara, dan memperbesar defisit anggaran.
Pasalnya, dilihat dari realisasi penerimaan pajak selama kurun waktu 2006-2014, rata-rata penerimaan pajak hanya mencapai 96% dari target dan dalam kurun waktu tersebut pemerintah hanya satu kali berhasil mencapai target penerimaan pajak yakni pada tahun 2008 sebesar 107% ketika harga komoditas mencapai puncaknya.
Selain itu, tax ratio Indonesia masih berada di level 11% dan selama 5 tahun terakhir terus mengalami penurunan. Tax ratio merupakan rasio jumlah pajak yang diperoleh dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Kendati demikian, bukan berarti pemerintah tidak akan berhasil mencapai target penerimaan pajak 2018.
Kerja keras sangat dibutuhkan untuk mengejar target penerimaan pajak di tahun depan. Namun, di samping itu banyak momentum yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung tercapainya penerimaan pajak 2018.
Pertama, pada tahun 2018 Indonesia menjadi salah satu dari 100 negara yang telah berkomitmen dalam mengimplementasikan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Dengan AEoI, Ditjen Pajak dapat melakukan pengawasan dan penggalian potensi perpajakan yang belum terealisasi melalui transaksi perbankan yang dilakukan wajib pajak di luar negeri. AEoI ini diharapkan berguna untuk mengurangi peluang pengemplang pajak yang ingin menghindari kewajiban pembayaran pajak.
Kedua, terkait dengan upaya reformasi perpajakan, di tahun ini Ditjen Pajak telah banyak melakukan inovasi atas sistem administrasi perpajakan melalui e-billing support, fasilitas virtual assistant dan live chatting, e-bukpot, dan peluncuran e-form 1770 dan 1770S sebagai solusi atas permasalahan e-filing. Ditjen Pajak juga meluncurkan mobile tax unit untuk pelayanan di luar kantor sebagai solusi untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang berlokasi jauh dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Selain itu, Ditjen Pajak turut meluncurkan Platform Kartin1, yaitu platform yang menggabungkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan kartu identitas lainnya. Ke depann hal ini akan sangat memudahkan instansi lain yang membutuhkan informasi mengenai kepatuhan pajak dari wajib pajak dan juga membantu wajib pajak dalam menerima pelayanan publik.
Ketiga, penguatan sumber daya manusia. Patut diperhatikan bahwa kesadaran membayar pajak dari wajib pajak sangat tergantung pada kesadaran dan kepercayaan wajib pajak kepada instansi pajak. Kesadaran dan kepercayaan ini tentu dapat ditingkatkan apabila pegawai pajak mempunyai integritas dan menunjukkan sikap profesionalisme dalam melayani wajib pajak.
Oleh karena itu, saat ini Ditjen Pajak semakin memperketat proses rekruitmen dan mengembangkan hard competencies dan soft competencies pegawainya. Sehingga nantinya pegawai Ditjen Pajak akan memiliki kompetensi dan kapabilitas tinggi yang akan berdampak pada budaya kerja dan pelayanan yang optimal. Dengan demikian target penerimaan pajak dapat tercapai serta dapat membangun integritas dan kepercayaan di mata masyarakat.
Keempat, meningkatnya basis data pajak yang dimiliki oleh Ditjen Pajak. Program tax amnesty yang resmi berakhir pada 31 Maret 2017 dinilai sangat efektif dalam memperluas basis data perpajakan nasional, di antaranya berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri dan penambahan jumlah wajib pajak.
Kelima, salah satu strategi yang digunakan pemerintah dalam mencapai target APBN 2018 yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan pajak yang berasal dari transaksi perdagangan online (e-commerce). Di tahun 2014, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat rata- rata transaksi sektor e-commerce telah mencapai Rp100 triliun per tahun.
Namun, nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan penerimaan pajak yang masuk ke kas negara. Sejauh ini pemerintah masih mempelajari pola transaksi e-commerce dan mencari skema dan tarif yang tepat dalam hal perpajakan e-commerce, sehingga nantinya pungutan pajak e-commerce bisa efektif mendongkrak penerimaan negara.
Meskipun terdapat potensi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya mencapai target penerimaan pajak tahun 2018, pemerintah harus tetap waspada terhadap tantangan pemulihan dan perubahan ekonomi global, serta perubahan pola transaksi yang terjadi saat ini.
Selain itu juga dibutuhkan dukungan dari masyarakat berupa kesadaran membayar pajak demi pembangunan negara, karena upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan berarti apabila masyarakat tidak turut berpartisipasi.*