LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Mewacanakan Pengenaan Pajak Properti yang Menganggur

Redaksi DDTCNews | Selasa, 27 September 2022 | 11:51 WIB
Mewacanakan Pengenaan Pajak Properti yang Menganggur

Hermina Maria Widyastuti,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

HAMPIR semua penelitian melaporkan rata-rata orang kaya kurang patuh pajak dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah, tanpa melihat apakah itu motivasi atau perilaku. Hal tersebut diungkapkan Doerrenberg & Peichel dalam Progressive Taxation and Tax Morale pada 2013.

Padahal, orang kaya atau kelompok high wealth individuals (HWI) diharapkan menjadi penopang penerimaan pajak. Sumber penerimaan pajak negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) cenderung berasal dari wajib pajak orang pribadi.

Berdasarkan pada data Revenue Statistics (2019), hanya 1 dari 34 negara OECD yang memiliki porsi penerimaan dari wajib pajak badan lebih besar daripada wajib pajak orang pribadi. Negara yang dimaksud adalah Chili.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada 2020, realisasi PPh orang pribadi tercatat senilai Rp11,56 triliun atau hanya 1,08% dari total realisasi penerimaan pajak senilai Rp1.069,98 triliun. Pada 2019, kontribusi PPh orang pribadi hanya 0,84% dari total penerimaan pajak.

Sama seperti yang terjadi di Chili, strukur penerimaan di Indonesia seperti anomali bila dibandingkan negara-negara anggota OECD. Oleh sebab itu, Indonesia perlu bergerak untuk meningkatkan proporsi setoran pajak wajib pajak orang pribadi.

Gans et al. dalam buku Principles of Economics menyatakan walaupun perdebatan terkait dengan aspek kebijakan dan politik mengenai pajak terus terjadi, pajak tetap diakui sebagai sumber pendapatan bagi pembangunan suatu negara.

Oleh karena itu, penggalian potensi pajak untuk wajib pajak orang pribadi, terutama HWI, akan menimbulkan pro dan konta. Para ekonom setuju sebagian besar pajak mendistorsi perilaku ekonomi, sehingga menyebabkan berkurangnya efisiensi dan mengurangi output.

Saat kekayaan didistribusikan secara tidak merata di satu negara maka pemajakan atas kekayaan adalah cara untuk mengurangi ketidaksetaraan tersebut. Pajak tidak hanya memiliki fungsi budgeter, tetapi juga fungsi regulerend.

Melalui pemungutan pajak terhadap kekayaan kelompok HWI, pemerintah dapat berharap adanya pemerataan kemakmuran bagi seluruh rakyat dengan pembangunan nasional.

Vacant Property Tax

MELALUI Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Indonesia telah membuat wajib pajak HWI membayar pajak lebih besar. Hal ini dikarenakan ada penyesuaian tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan. Wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar dikenai tarif PPh sebesar 35%, naik dari sebelumnya 30%.

Namun demikian, kebijakan tersebut belum cukup. Indonesia dapat mempertimbangkan vacant property tax (VPT) yang telah diterapkan di beberapa negara Eropa dan Australia. Ada potensi penerimaan pajak dari the moneybags atau wajib pajak HWI yang memiliki banyak aset properti.

VPT merupakan pajak yang dikenakan kepada sesorang dengan kepemilikan aset properti menganggur atau tidak digunakan. Kepemilikan properti yang idle tersebut tidak memberikan manfaat ekonomi kepada pemilik secara langsung dan tidak berkontribusi bagi ekonomi wilayah.

Prancis pertama kali memperkenalkan VPT pada 1988 dengan nama taxe sur les logements vacants. Sejak 2018, British Columbia (Kanada) menjadikan properti tempat tinggal di kota Vancouver yang kosong lebih dari enam bulan dalam setahun sebagai objek pajak rumah kosong.

Kemudian, mulai 1 Januari 2018, properti tempat tinggal di Kota Melbourne yang dibiarkan kosong selama enam bulan akan dikenakan pajak. Pajak tempat tinggal kosong dikenakan sebesar 1% dari nilai properti.

Kepemilikan properti, kepatuhan wajib pajak HWI, dan penggalian potensi perpajakan memiliki keterkaitan yang erat. Penghasilan yang besar oleh HWI akan dialihkan menjadi berbagai aset, salah satunya kepemilikan properti.

Kemudian, status kepemilikan aset dapat disamarkan dengan menggunakan nama pihak lain, seperti anggota keluarga. Temuan hasil tracing kepemilikan aset wajib pajak akan menjadi dasar pengenaan pajak atas properti yang berstatus dormant.

Bank Data Kepemilikan Properti Nasional

PENGENAAN VPT sangat bergantung dengan validitas database kepemilikan properti di Indonesia. Kepemilikan aset dapat diidentifikasi, salah satunya dari data Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) pajak bumi dan bangunan (PBB).

Seperti diketahui, berdasarkan pada UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pengelolaan PBB perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dikelola pemerintah daerah, sedangkan sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan masih dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Oleh sebab itu, sinergi antara pemerintah pusat (DJP) dan pemerintah daerah merupakan suatu keniscayaan dalam pengawasan bersama wajib pajak HWI yang memiliki properti tersebar lintas wilayah di seluruh Indonesia.

Database tersebut dapat berupa bank data kepemilikan properti nasional (BDKPN). Manfaat bagi DJP ialah diperolehnya data kepemilikan properti untuk pengenaan VPT. Sementara manfaat bagi pemerintah daerah berupa pemberian Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) atau insentif (stimulus) yang tepat sasaran.

Bagi wajib pajak pemilik banyak properti dapat dikenakan disinsentif berupa penghapusan NJOPTKP atau pengurangan stimulus pajak terutang.

Lebih lanjut, dasar pengenaan VPT yang berupa nilai properti akan menjadi pemicu bagi DJP untuk melakukan supervisi kepada pemerintah agar menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) mendekati harga pasar.

Sebagai dasar pengenaan PBB, kenaikan NJOP akan meningkatkan penerimaan pajak bagi pemerintah daerah. Sementara bagi DJP, NJOP yang mendekati harga pasar akan menaikan potensi penerimaan dari VPT.

Melalui BDKPN, harmonisasi penyesuaian NJOP antardaerah yang mendekati nilai pasar wajar dapat dilakukan dengan lebih baik. Pemerintah pusat dan daerah dapat mengambil kebijakan fiskal bersama dengan baik bila didasari data yang andal dan presisi di setiap wilayah di Indonesia.

Oleh sebab itu, BDKPN yang dikelola secara terpusat di pemerintah pusat (Kementerian Keuangan) perlu juga didukung dengan satu data terpusat wajib pajak dan objek pajak PBB-P2.

Saat terdapat pembaruan kepemilikan properti dalam sistem informasi objek pajak pemerintah maka data tersebut menjadi pelengkap profil wajib pajak. Akhirnya, kolaborasi pemerintah pusat dan pemerintah akan memberikan mutual benefit bagi penerimaan pajak dari wajib pajak HWI.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN