LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Menyoal Pembebanan Kewajiban Pajak Hasil Korupsi

Redaksi DDTCNews
Selasa, 07 Januari 2020 | 11.29 WIB
ddtc-loaderMenyoal Pembebanan Kewajiban Pajak Hasil Korupsi
Rizki Zakariya,
Indramayu, Jawa Barat

KORUPSI merupakan masalah yang masih terjadi di Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 berada pada peringkat ke-89 dari 180 negara, dengan nilai 38 dari skala 0-100 (Dylan, 2019). Peringkat yang rendah itu menunjukan masih rendahnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Banyaknya kasus korupsi itu berdampak pada kemudahan berinvestasi dan berbisnis di Indonesia. Berdasarkan laporan Global Competitiveness Index 2019 yang dirilis World Economic Forum, peringkat kemudahan berinvestasi di Indonesia berada di posisi ke-50 dunia.

Posisi tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain. Laporan Easy Doing of Business 2019 dari World Bank juga menempatkan Indonesia di bawah negara Asia Tenggara antara lain karena banyaknya korupsi itu. (Sandy, 2019).

Selama 2018, Kejaksaan Agung menangani 68 kasus korupsi, dengan pengembalian kerugian negara Rp678 miliar. Jumlah tersebut lebih besar dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang hanya 30 kasus dengan pengembalian kerugian negara Rp383 miliar (Zunita, 2018).

Selain itu, Kejaksaan juga berwenang menangani perkara tindak pidana pajak yang diatur Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kewenangan itu di antaranya mengarahkan penanganan perkara pidana pajak yang dilakukan penyidik Ditjen Pajak, penuntutan, dan mengeksekusi putusan.

Kewenangan tersebut dibuktikan dengan banyaknya perkara pidana pajak yang ditangani Kejaksaan selama 2018, yakni 35 perkara dengan pemasukan negara Rp312 miliar dan denda pidana Rp605 miliar (DDTCNews, 2019).

Berdasarkan uraian di atas, maka tindak pidana korupsi maupun pidana pajak merupakan kewenangan penanganan Kejaksaan. Namun, perlu dilakukan terobosan baru supaya penanganan tersebut berjalan efektif, untuk pengembalian kerugian negara.

Upaya itu di antaranya pembebanan kewajiban pajak pada hasil tindak pidana korupsi. Pembebanan pajak itu dilakukan terhadap barang atau uang yang digunakan koruptor, yang pasti menyembunyikan transaksi korupsinya dari publik atau pajak (Angling, 2019).

Pembebanan pajak hasil korupsi itu dapat dilakukan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang mengatur objek pajak penghasilan tidak hanya terbatas dari perolehan penghasilan dari yang sah, tetapi juga pada yang tidak sah dikenai pajak ini.

Dengan demikian, negara dapat memungut pajak penghasilan dari hasil tindak pidana korupsi tersebut. Kemudian, pembebanan pajak hasil korupsi tersebut juga dapat dilakukan karena jangka waktu penagihan pajaknya cukup lama, yakni 5 tahun (Pasal 22 UU KUP).

Sinergi Antarlembaga
UNTUK itu, perlu dilakukan sinergitas antarlembaga, supaya pajak hasil korupsi tersebut dapat diambil, dengan karakter transaksi dan hasil korupsi yang disembunyikan oleh koruptor. Hal itu dapat dilakukan melalui kerja sama antara Kejaksaan dan Ditjen Pajak.

Keduanya dapat bersinergi sejak adanya kasus korupsi untuk selanjutnya dilacak lebih jauh peristiwa dan aset korupsinya untuk dikenai pajak. Apabila hal tersebut dilakukan, potensi pemasukan negara dari pembebanan pajak hasil korupsi tersebut sangat besar.

Korupsi suap misalnya, yang menjadi bentuk korupsi paling sering di Indonesia. Contohnya kasus Billy Sindoro, yang melakukan suap kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk penerbitan izin pembangunan proyek Meikarta tahun 2017 dengan nilai Rp16,18 miliar.

Apabila dilakukan pembebanan pajak atas perolehan penghasilan suap itu, maka Bupati Bekasi dapat dikenai pajak penghasilan 30% atau senilai Rp4,85 miliar. Ilustrasi tersebut hanya satu kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia, belum dengan kasus korupsi lain yang jumlahnya lebih besar dari itu.

Besarnya potensi tersebut seharusnya menjadi strategi penegak hukum dan Ditjen Pajak untuk meraih pemasukan negara melalui pembebanan pajak hasil korupsi. Selain itu, mekanisme itu dapat menjadi efek jera bagi koruptor agar tidak mengulangi perbuatannya, sekaligus ancaman bagi calon koruptor lain.

Adapun upaya konkret yang dilakukan untuk sinergikan Kejaksaan dan Ditjen Pajak dalam upaya pembebanan kewajiban pajak hasil korupsi itu melalui kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman/MoU (Memorandum of Understanding) antara kedua lembaga tersebut.

Isi dari kerja sama itu yakni keharusan Kejaksaan berperan aktif dalam mengomunikasikan adanya kasus korupsi berupa suap kepada Ditjen Pajak. Hal itu supaya Ditjen Pajak dapat menelusuri lebih jauh aset atau penghasilan yang diperoleh dari korupsi itu apakah sudah membayar pajak penghasilan atau belum.

Apabila diketahui terduga koruptor itu belum membayar, Ditjen Pajak dapat mengeluarkan Surat Tagihan Pajak. Lalu hasil penagihan pajak itu dilaporkan kembali ke Kejaksaan, untuk evaluasi dan pertimbangan penuntutan di persidangan, sebagai dasar untuk meringankan vonis yang dijatuhkan.

Sinergitas antara Kejaksaan dan Ditjen Pajak dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pemasukan keuangan negara dari sektor pajak. Selain itu, pembebanan pajak tersebut juga dapat memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain untuk tidak melakukan korupsi di Indonesia.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.