UNDANG-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) yang disahkan pada 2009 memiliki tujuan yang salah satunya adalah untuk mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
Salah satu penyebab distorsi ekonomi ini adalah apabila terjadi perbedaan perlakuan antara Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang berada dalam industri yang sama. Terkait dengan PPN, perlakuan yang berbeda itu dapat terjadi dalam pengkreditan PPN masukan.
Batasan pengkreditan PPN masukan secara umum diatur melalui Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Salah satu klausul dalam pasal tersebut, yaitu pada huruf j, mengatur pengkreditan PPN masukan bagi PKP yang belum berproduksi.
Secara umum, batasan pengkreditan PPN masukan bagi PKP yang belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN berbunyi sebagai berikut.
“Pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).”
Berdasarkan rumusan pasal di atas, diketahui PPN masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang belum berproduksi adalah sebatas pada perolehan barang modal. Lalu, apakah yang dimaksud dengan barang modal?
Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 (PP 1/2012) menyatakan bahwa barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
Ketentuan ini mensyaratkan bahwa barang modal harus memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun dan pengeluaran lain yang berkaitan dengan barang modal harus dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
Faktanya, PKP yang belum berproduksi juga memiliki perolehan Barang Kena Pajak (BKP) yang tidak termasuk ke dalam definisi barang modal. Misalnya, perolehan bahan baku dan bahan pembantu yang digunakan untuk memproduksi BKP yang nantinya akan dijual oleh PKP dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya.
Lalu bagaimana pengkreditan PPN masukan atas perolehan bahan baku dan bahan pembantu yang tersebut? Apakah menjadi tidak dapat dikreditkan oleh PKP karena tidak memenuhi definisi barang modal?
Prinsip Umum PPN
PRINSIP umum dalam PPN adalah PKP berhak untuk mengkreditkan PPN masukan atas perolehan BKP atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN yang dilakukan PKP tersebut. Konsisten dengan prinsip tersebut, ahli hukum pajak Alan Schenk dan Oliver Oldman (2007) menyatakan:
”A general VAT principle is that a registered person making taxable supplies is entitled to claim credit for input VAT on acquisitions used in making those taxable supplies. Consistent with that principle, a registered person entering business should be entitled to claim credit for input VAT on acquisitions used in connection with economic activity that directly relates to taxable supplies to be made in the future. Thus, tax on fixtures, electrical services, painting, and other purchases made before a retail store opens for business should be creditable if the sales to be made in the future are taxable. ... if input VAT during the preopening phase is not eligible for credit, the VAT will not be economically neutral, and new business will be at a competitive disadvantage, and will bear VAT on these costs.”
Kedua ahli hukum pajak di atas berpendapat bahwa sepanjang PPN masukan yang dibayar PKP berhubungan dengan penyerahan yang terutang PPN yang dilakukan oleh PKP di masa yang akan datang, PPN masukan tersebut seharusnya dapat dikreditkan.
Kedua ahli hukum pajak tersebut juga berpendapat bahwa jika PPN masukan atas perolehan BKP atau JKP sebelum PKPmelakukan penyerahan yang terutang PPN tidak dapat dikreditkan menyebabkan pengenaan PPN menjadi tidak netral dan bisnis baru tidak akan memiliki daya saing yang kompetitif.
Senada dengan kedua ahli hukum pajak tersebut, Pato dan Marques (2014) juga menyatakan:
”Insofar as the goods and services are used for the needs of the business, a Taxable Person is entitled to deducted VAT incurred on his purchases. The deduction right is closed link to the activities performed or to be performed by the company.”
Kutipan referensi tersebut menegaskan kembali bahwa PPN masukan yang telah dibayar oleh PKP dapat dikreditkan sepanjang PPN masukan terkait dengan kegiatan penyerahan yang terutang PPN yang akan dilakukan oleh PKP.
Praktiknya, terdapat PKP yang memperoleh bahan baku yang terkait dengan kegiatan produksi PKP yang nantinya akan menghasilkan barang yang akan dijual oleh PKP di kemudian hari (future sales). Dengan kata lain, pada hakikatnya, PPN masukan atas perolehan bahan baku tersebut berhubungan dengan penyerahan yang akan dilakukan oleh PKP di masa yang akan datang.*