ANALISIS PAJAK

Menyasar Kriteria CFC secara Tepat Sasaran

Senin, 08 Oktober 2018 | 21:53 WIB
Menyasar Kriteria CFC secara Tepat Sasaran

Denny Vissaro,
DDTC Fiscal Research.

PENDIRIAN entitas di negara tax haven atau negara bertarif pajak rendah sudah menjadi skema umum yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional. Tujuan utamanya yakni agar penghasilan perusahaan multinasional tersebut tidak dikenakan pajak di negara yang seharusnya berhak untuk mengenakan pajak. Entitas yang berlokasi di negara tax haventersebut biasanya dikontrol secara penuh oleh induknya, dengan maksud segala keputusan bisnisnya bisa dikendalikan. Skema penghindaran pajak ini biasa disebut dengan istilahcontrolled foreign company (CFC).

Tahun lalu, pemerintah Indonesia telah memperbaharui peraturan CFC dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 (PMK 107/2017). Peraturan tersebut merupakan perubahan atas peraturan CFC sebelumnya, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 (PMK 256/2008).

Melalui peraturan baru tersebut, penyertaan modal yang dilakukan melalui trust atau entitas sejenis lainnya dapat dianggap sebagai penyertaan modal atas CFC jika saham yang dimiliki sebesar 50% atau lebih. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengidentifikasi entitas luar negeri yang dimiliki secara langsung (direct ownership) maupun tidak langsung (indirect ownership) sebagai CFC, sehingga DJP dapat menetapkan dividen yang diperoleh (deemed dividend) atas perusahaan dalam negeri.

Pembaharuan peraturan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berupaya mendesain peraturan CFC sedemikian rupa sebagai respons terhadap perkembangan bisnis global. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Aksi BEPS 3 dari OECD/G20 yang menyarankan agar CFC harus mencakup berbagai kriteria yang mencerminkan praktik perusahaan multinasional dalam melakukan penghindaran pajak.

Ruang Lingkup Penghasilan CFC

Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana jenis penghasilan yang dapat diatribusikan sebagai penghasilan pemilik CFC serta bagaimana penghitungannya. Pada Pasal 4 PMK 107/2017, besarnya laba yang dikategorikan sebagai penghasilan CFC (deemed dividend) berbasis pada besarnya laba setelah pajak dari entitas tersebut. Dengan kata lain, keseluruhan penghasilan diatribusikan sebagai basis dalam perhitungan penghasilan CFC tanpa terkecuali. Walau berpengaruh positif dari sudut pandang fiskal dan keinginan menarik repatriasi modal, sayangnya hal ini riskan terhadap daya saing ekonomi dan investasi Indonesia.

Menurut OECD (2015), dalam menentukan jenis penghasilan yang dapat didefinisikan CFC, prinsip utama terletak pada apakah penghasilan tersebut merupakan bagian dari bentuk pengalihan laba (praktik BEPS) untuk tujuan perpajakan. Untuk itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sejauh mana peraturan CFC dapat diaplikaskan.

Pertama, penetuan lokasi atau yurisdiksi entitas tersebut. Beberapa negara menetapkan entitas terkendali yang terletak di negara dengan tarif pajak rendah tertentu yang masuk ke dalam ruang lingkup peraturan CFC, seperti Argentina, Brazil, Mesir, Finlandia, Norwegia, dan Cina (IBFD, 2018). Dengan kata lain, selama laba ditahan tersebut dilakukan oleh entitas terkendali yang berkedudukan di yurisdiksi pajak dengan tarif di atas level tertentu, maka atas laba tersebut tidak dianggap sebagai deemed dividend.

Dengan mengingat kembali filosofi skema CFC, sebenarnya penentuan kriteria lokasi entitas terkendali dalam ruang lingkup aturan CFC sangat penting. Belum tentu semua laba yang ditahan di entitas yang dimiliki di luar negeri dilakukan atas dasar motif penghematan pajak. Berkaca dari international best practice, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menambah kriteria pemberlakuan aturan CFC untuk hanya berlaku pada entitas terkendali yang berkedudukan dengan tarif pajak rendah atau memiliki kerahasiaan informasi.

Kedua, jenis penghasilan yang dapat dikategorikan sebagai penghasilan CFC. Beberapa negara menggunakan peraturan CFC hanya untuk menyasar pada penghasilan pasif dan tidak dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi riil, seperti Argentina, Australia, Selandia Baru, Norwegia, dan Jerman (IBFD, 2018). Selain itu, aturan CFC juga dapat dipertimbangkan untuk didesain hanya berlaku jika penghasilan pasif di atas batasan tertentu. Di Jerman misalnya, CFC hanya berlaku jika penghasilan pasif di atas 10% dari total penghasilan.

Dalam praktiknya, negara-negara tersebut melakukan economic substance test terhadap penghasilan luar negeri yang dimiliki. Hal ini bertujuan agar aturan CFC hanya diterapkan penghasilan yang punya indikasi sengaja ‘diparkir’ di negara lain, misalkan penghasilan pasif ataupun tainted income. Dengan demikian, kegiatan ekonomi riil dari entitas yang dimiliki di luar negeri tidak terganggu sehingga menjaga efisiensi ekonomi.

Ketiga, dalam menghitung dan mengatribusikan penghasilan entitas terkendali, peraturan CFC perlu mempertimbangkan ketersediaan ketentuan spesifik. Hal yang patut dihindari adalah terjadinya pemajakan berganda, sehingga pemberian kredit pajak luar negeri atas penghasilan CFC yang telah diatribusikan di luar negeri patut dipertimbangkan.

Dengan mengakomodasi ketiga aspek di atas, peraturan CFC Indonesia tidak hanya tepat sasaran karena mampu menyasar laba yang sengaja ditahan di luar negeri untuk menghindari pajak. Lebih luas lagi, ketentuan CFC tersebut tetap bisa menjaga iklim investasi dan daya saing ekonomi nasional.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN