ANALISIS PAJAK

Meninjau Pajak atas Aplikasi Pemutar Musik

Selasa, 08 Oktober 2019 | 14:20 WIB
Meninjau Pajak atas Aplikasi Pemutar Musik

Anisa Nurpratiwi,
DDTC Consulting

TIDAK dapat dimungkiri musik telah menjadi kebutuhan manusia. Bahkan, kebutuhan ini terbilang tinggi. Mengutip data Spotify Indonesia, masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mendengarkan musik sampai 3 jam sehari. (CNNIndonesia.com, 2019)

Dahulu, menikmati musik dapat dilakukan melalui media konvensional seperti kaset, compact disc, atau radio. Pada era revolusi industri 4.0 kini, musik bisa diakses melalui platform digital yang berbasis Internet, misalnya pada telepon genggam.

Perkembangan teknologi Internet terlihat telah menjadi sarana penciptaan nilai (value creation) berbagai sektor bisnis. Perubahan model bisnis industri musik ditandai dengan adanya layanan musik yang dapat diakses melalui platform digital.

Model Bisnis
PADA laporan Organisation for Economic Coo-peration and Development (OECD) bertajuk Tax Challenges Arising from Digitalisation – Interim Report 2018, dijelaskan empat model bisnis digital, yakni multi-sided platforms, reseller, vertically integrated firms, dan input suppliers.

Model multi-sided platform misalnya terlihat pada aplikasi streaming seperti iTunes dan Joox. Spotify bisa dikategorikan multi-sided platform dan reseller. Pada model bisnis ini, pelanggan akan menikmati musik secara cuma-cuma (free) sehingga penghasilan akan diperoleh melalui iklan (advertisements).

Sementara itu, pada reseller pelanggan akan dikenakan biaya berlangganan (subscription fee). Selain itu, aplikasi pemutar musik streaming tersebut juga bekerja sama dengan label musik terkait dengan legalitas musik yang diputar.

Adanya perkembangan teknologi dalam berbagai industri tentu menjadi peluang bagi instansi perpajakan suatu negara (Buckler, 2012). Salah satunya peluang pajak yang ditimbulkan dari model bisnis digital dalam industri musik berupa layanan aplikasi pemutar musik digital.

Namun, terlepas dari peluang tersebut, pemajakan atas penyediaan aplikasi pemutar musik digital ternyata menimbulkan sejumlah kontroversi. Transaksinya yang lintas batas ditambah masifnya pengguna di seluruh dunia membuat pengawasan pemungutan pajak transaksi ini menjadi krusial.

Dampak Perpajakan
DALAM penentuan perpajakan bisnis digital secara lintas batas, peranan penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sangat penting guna mengetahui hak pemajakan suatu laba usaha. Pasal 5 OECD Model memberikan penjelasan mengenai definisi BUT yang sarat akan makna kehadiran fisik.

Di Indonesia, kriteria BUT diatur Peraturan Menteri Keuangan No.35/PMK.03/2019, yaitu (i) adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia, (ii) bersifat permanen, dan (iii) tempat usaha itu digunakan orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Terdapat tantangan penentuan BUT dengan mendefinisikan aktivitas bisnis yang terlihat secara fisik dalam bisnis digital. Karena itu, Rencana Aksi 1 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)merujuk pada penghindaran istilah kehadiran fisik untuk mencegah penghindaran pajak melalui status BUT.

Adanya kesulitan mendefinisikan status BUT tersebut ditempuh dengan pengenaan pajak atas layanan digital. Malaysia misalnya, pada 1 Januari 2020 akan menerapkan pengenaan pajak layanan digital 6% untuk penyedia individu atau perusahaan termasuk aplikasi pemutar musik. (DDTCNews, 2019).

Aturan ini diterapkan guna membantu menetralisasi kerugian biaya penyedia domestik serta menerapkan sistem pajak yang adil. Pengenaan pajak atas layanan digital ini telah didahului oleh Rusia dan Selandia Baru dengan menerapkan tarif yang lebih tinggi.

Namun, penerapan pajak digital tersebut dapat menimbulkan masalah karena pengenaannya menjadi subjektif atau menyasar pada perusahaan tertentu. Hal ini seperti terjadi di Perancis karena adanya beleid pengenaan pajak layanan digital dengan penghasilan perusahaan sebagai acuannya.

Isu ini kemudian dianggap Amerika Serikat sebagai praktik perdagangan yang tidak adil sehingga pengenaan pajak atas layanan digital ini membutuhkan upaya pembaharuan yang berkelanjutan agar tercipta level playing field yang seimbang.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tambah Lagi 4 Perusahaan Pemungut PPN PMSE, Ada Tencent Cloud

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

BERITA PILIHAN