BISNIS daring di Indonesia berkembang sangat pesat seiring perkembangan teknologi komunikasi. Data 2013, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 82 juta orang atau sekitar 30% dari total populasi dengan nilai transaksi online Rp130 triliun, dan diprediksi menjadi Rp283 triliun pada 2016.
Namun, dalam transaksi bisnis online atau yang biasa disebut e-commerce, negara terlihat kurang melakukan pengendalian. Kekuatan negara dalam memajaki bisnis online belum sepenuhnya hadir, sehingga membuat banyaknya pebisnis yang tidak membayar pajak.
Perlu dikaji ulang lagi mengenai sistem perpajakan yang akan diterapkan untuk bisnis online atau e-commerce, apakah sistem pemungutan pajak yang akan diterapkan sama-sama menguntungkan baik dari sisi negara, pemilik bisnis / toko online, maupun dari sisi konsumen bisnis online tersebut.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self-assessment, di mana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan secara teratur kewajiban perpajakannya kepada kantor pelayanan pajak atau KPP.
Selain itu,berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, Indonesia menganut asas sumber dan domisili sebagai sistem perpajakannya.
Kelemahan dari sistem pemungutan pajak self-assesment adalah bahwa apakah wajib pajak benar-benar melaporkan penghasilan yang sebenarnya untuk dikenakan tarif pajak. Seringkali wajib pajak tidak melaporkan sepenuhnya berapa penghasilan yang diperoleh mereka selama periode tertentu.
Di sini menjadi permasalahan yang sampai sekarang belum ditemukan solusi yang bisa menangani permasalahan bagaimana kesadaran wajib pajak dalam melaporkan penghasilannya tersebut karena permasalahan ini adalah mengenai kejujuran wajib pajak itu sendiri.
Dari sisi pebisnis online maupun konsumen bisnis online tersebut, ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang harus dikenakan untuk barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan.
Harus diperhatikan pula siapa yang harus membayar PPN, apakah penjual atau pembeli karena jangan sampai ada pemajakan berganda dalam pengenaannya. Namun yang menjadi permasalahan adalah barang dan/ atau jasa apa saja yang akan dipajaki.
Saat ini, banyak pebisnis online yang menawarkan produknya melalui akun-akun sosial media seperti Facebook, Path, Instagram, Twitter, ataupun sosial media yang lainnya. Hal tersebut sebenarnya bukan murni akun sosial media yang diperuntukkan untuk berbisnis.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, akun-akun pribadi seperti itu digunakan untuk berbisnis. Media lain yang digunakan untuk berbisnis antara lain Tokopedia, Lazada, OLX, dan lain-lain. Ini situs-situs yang memang diperuntukkan untuk pelaku bisnis dalam menawarkan produknya.
Lantas, jika pemerintah ingin menarik pajak e-commerce, harus ditelisik lebih jauh situs-situs yang digunakan oleh para pebisnis online itu. Perhatikan pula cara membayar pajaknya yang harus bisa online sehingga harapannya bisa meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat.
Prospek Bagus
BISNIS online di Indonesia ini mempunyai prospek yang sangat bagus dikarenakan para pengguna internet selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan prosedur pelaporan SPT dan pembayaran pajak melalui sistem online ini tidak ada lagi permasalahan yang muncul.
Untuk itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah mengenai wacana pengenaan pajak untuk e-commerce ini, antara lain, Pertama, sistem yang akan digunakan untuk pemungutan pajak.
Sistem yang bisa digunakan adalah dengan adanya alat pembayaran jual-beli online melalui satu pintu. Hal ini dimaksudkan agar dapat terekam berapa penghasilan yang diperoleh pebisnis dalam usahanya sehingga terhindar dari adanya penghasilan yang disembunyikan pebisnis online.
Pintu yang bisa digunakan ini misalnya melalui satu aplikasi online di mana pebisnis online harus melakukan registrasi dan baru bisa bertransaksi jika pembukaan akunnya disetujui pemerintah. Dengan demikian, pemerintah dapat mencatat setiap transaksi online.
Kedua, pemerintah harus terus melakukan sosialisasi pajak dan mengimbau pelaku bisnis online agar memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) agar semua pihak dapat melakukan pelaporan pajak yang harus dibayarkannya dan menghindari adanya sanksi hukum terhadap pelaku bisnis online tersebut.
Ketiga, pemerintah bisa saja membuat halaman web yang diperuntukkan untuk negara Indonesia sendiri. Hal ini untuk memudahkan kontrol pemerintah pada para pebisnis yang menggunakan fasilitas e-commerce.
Keempat, pemerintah perlu mengklasifikasi para pelaku bisnis online. Apakah pebisnis tersebut baru masuk dalam dunia e-commerce ataukah sudah lama. Dan apakah semua pelaku bisnis baik baru maupun lama akan dikenakan pajak.
Hal terbaik yang mungkin dapat dilakukan adalah semua pebisnis baik lama maupun baru dikenakan pemungutan pajak yang sama sesuai penghasilan maupun objek pajaknya. Karena semua orang yang memperoleh penghasilan dan sudah mempunyai NPWP akan dikenakan pajak.
Kelima, membuat undang-undang yang khusus mengatur perpajakan bisnis online. Undang-undang ini dimaksudkan agar terdapat kejelasan mengenai peraturan perpajakan bisnis online. Pemerintah pun sudah mencanangkan adanya peraturan ini dalam suatu Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV.
Melalui paket ini pemerintah membuat roadmap e-commerce yang akan ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Harapannya dengan adanya peraturan mengenai perpajakan e-commerce ini dapat memperbaiki regulasi perpajakan bisnis Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Jika pelaku bisnis online dikenakan pajak, hal ini tentu akan kian mendorong perekonomian Indonesia. Pasalnya, penerapan pajak e-commerce tentu akan menaikkan penerimaan negara, dan kenaikan itu negara memiliki ruang fiskal untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.