ANALISIS PAJAK

Menggali Potensi Pajak Warisan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 28 Februari 2019 | 14.01 WIB
ddtc-loaderMenggali Potensi Pajak Warisan
DDTC Consulting

PERTIMBANGAN untuk menjadikan warisan sebagai objek pajak dapat menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi. Pajak warisan juga bisa dipergunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku masyarakat, baik dalam hal konsumsi, tabungan, maupun investasi. Pada akhirnya, perubahan perilaku tersebut dapat mengurangi ketimpangan kekayaan yang ada di Indonesia.

Perlu menjadi catatan, struktur penerimaan pajak Indonesia masih didominasi oleh pajak pengasilan badan (PPh badan). Bahkan, selama ini PPh oranrg pribadi (OP) Pasal 25/29 kontribusinya tidak pernah mencapai 1% dari total penerimaan pajak.

Padahal, mengacu pada data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bentuk penerimaan pajak di negara-negara maju lebih didominasi oleh pajak penghasilan individu (PPh 21) kemudian disusul oleh pajak pertambahan nilai (PPN), lalu PPh badan.

Ketimpangan
DALAM Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse ditunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Di kawasan Asia, ketimpangan kekayaan Indonesia berada di urutan ketiga setelah Thailand dan India.

Grafik 1% Orang Terkaya di Asia menguasai Total Kekayaan Penduduk (2018)

Sumber: Global Wealth Report 2018

Salah satu faktor penyebab ketimpangan adalah penerimaan kekayaan dari warisan (Piketty, 2013). Fakta dalam suatu kehidupan sosial, ketika seseorang meninggal, aset yang dikumpulkan selama masa hidup menjadi warisan untuk anggota keluarga.

Kondisi ini menciptakan bias distribusi ekonomi yang besar terhadap mereka yang dilahirkan dalam keluarga kaya dan menimbulkan ketimpangan. Terdapat banyak bukti yang memvalidasi konsep hak istimewa warisan,  seperti fakta bahwa mereka yang menerima warisan lebih mungkin memiliki rumah daripada mereka yang tidak (Flippem, 2001).

Kondisi orang tua adalah faktor penentu utama dari status ekonomi dalam suatu keluarga. Seseorang yang mendapatkan kekayaan dari bekerja tidak akan bisa mencapai level yang sama dengan seseorang yang kaya berasal dari warisan (Piketty, 2013).

Meskipun pemberian warisan bukanlah penyebab utama kesenjangan, warisan menjadi faktor pendukung terjadinya ketimpangan dalam peluang yang tecermin dalam distribusi kekayaan yang tidak merata. Pemerintah sebagai regulator dapat menggunakan PPh sebagai instrumen economic control yang dapat menjadi sarana untuk mengurangi kesenjangan ekonomi (Simons, 1980).

Menjadikan warisan sebagai objek PPh merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk pemerataan sekaligus mengurangi ketimpangan. Kebijakan pajak dapat memainkan peran utama dalam membuat distribusi pendapatan pasca pajak kurang merata (OECD, 2010).

Selain itu, kebijakan pajak sangat penting untuk meningkatkan pendapatan untuk membiayai pengeluaran publik, kesehatan, dan pendidikan yang cenderung menguntungkan rumah tangga berpenghasilan rendah serta pada infrastruktur yang mendukung pertumbuhan yang juga dapat meningkatkan keadilan sosial.

Desain
TIDAK mengherankan jika sudah banyak negara yang kini menerapkan pajak warisan dalam ketentuan domestik mereka. Amerika Serikat adalah salah satunya. Di Amerika Serikat, pajak warisan (inheritance tax) diterapkan di tingkat negara bagian.

Pajak warisan yang telah diterapkan di beberapa negara memiliki kesamaan dalam pelaksanaannya. Pajak warisan dibayarkan oleh penerima manfaat atas uang dan aset dari harta milik orang yang meninggal dunia. Pajak warisan dihitung berdasarkan beberapa faktor, termasuk jenis properti yang diwariskan serta hubungan dengan almarhum.

Misalnya, penerima warisan bukan keturunan langsung akan membayar tarif pajak yang lebih tinggi daripada yang memiliki keturunan langsung, seperti anak atau orang tua. Selain itu, warisan hanya dikenai pajak apabila melebihi batas kekayaan yang telah ditentukan (exemption tax).

Kasus di Amerika Serikat bisa menjadi refleksi bahwa desain kebijakan pajak warisan perlu menyertakan beberapa elemen, mulai dari subjek pajak, objek pajak, tarif, hingga pengecualian. Selain elemen-elemen tersebut, tentu perlu juga dipertimbangkan mekanisme perhitungan—misalkan nilai pasar atau nilai perolehan, harta warisan bersih atau kotor—mekanisme pelaporan, hingga isu atas harta warisan lintas yurisdiksi.

Pemajakan atas penyerahan harta warisan lintas yurisdiksi sendiri telah menimbulkan isu pemajakan berganda di banyak negara Eropa. Alasannya, pajak warisan tidak hanya melihat status subjek pajak pemberi dan penerima warisan, tapi umumnya turut dikenakan jika harta yang diwariskan berada di yurisdiksi terkait.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Potret ketimpangan kekayaan di Indonesia dapat dijadikan justifikasi penerapan pajak warisan. Akan tetapi, efektivitasnya sebagai sumber penerimaan baru maupun sebagai alat untuk mendistribusikan kekayaan yang lebih adil tentu masih bisa diperdebatkan.

Satu hal yang pasti, kehadiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dapat menjadi modal utama untuk mengidentifikasi potensi serta kepatuhan pajak atas warisan.

Sebagai penutup, perdebatan atas pajak warisan juga tidak hanya terbatas pada argumentasi yang bersifat teknis, tetapi juga politis. Dengan demikian, strategi untuk memperoleh persetujuan dari publik akan jauh lebih rumit.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.