“Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan untuk negaramu!” (John F. Kennedy)
PENERIMAAN pajak dari usaha kos-kosan hingga kini belum optimal. Sebagian besar pemilik kos-kosan belum memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar. Sebagian dari pemilik usaha itu tidak tahu, sebagian lainnya mangkir, dan hanya sedikit yang melaporkan usahanya.
Padahal, jika digarap lebih serius dan digali lebih dalam, ada banyak sekali usaha kos-kosan yang tersebar di seluruh Indonesia, Banyaknya pelajar dan mahasiswa yang menempuh pendidikan di perantauan yang hampir semua tinggal di kos-kosan adalah pasar yang besar bagi usaha tersebut.
Di lingkungan Kampus Politeknik Keuangan Negara STAN, Bintaro-Tangerang misalnya. Banyak usaha kos-kosan di lingkungan tersebut yang ternyata belum memenuhi kewajiban perpajakannya. Padahal, di lingkungan tersebut juga sudah terdapat Kantor Pelayanan Pajak.
Sebagian pengusaha kos-kosan yang tidak membayar pajak berpikir bahwa kewajiban pembayaran pajak hanya ditujukan untuk mereka yang bekerja di kantor, pegawai negeri atau pengusaha yang memiliki perusahaan besar. Usaha kos-kosan tidak termasuk dalam kategori ini.
Pemahaman seperti itu tentu keliru. Ada beberapa jenis pajak yang tidak memandang subjek pajak, semisal pajak pertambahan nilai (PPN). Tak peduli kaya atau miskin jika membeli barang kena pajak tentunya konsumen secara tidak langsung menanggung beban pajak.
Begitu pula untuk pajak penghasilan (PPh). Ada beberapa kategori penghasilan yang tidak melihat subjek pajaknya, atau sering disebut dengan pajak final. Ketika subjek pajak mendapat penghasilan yang masuk kategori pajak final, maka ia harus membayar pajak sesuai tarif yang ditentukan.
Pajak final ini berlaku juga untuk usaha kos-kosan, yang masuk dalam kategori penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan berupa penghasilan dari persewaan rumah kos dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) final, dengan tarif 10% dikalikan penghasilan bruto atas sewa kos-kosan tersebut.
Di kawasan Bintaro-Tangerang, yang juga terdapat beberapa kampus selain STAN, ada banyak sekali kos-kosan. Maklum, jumlah mahasiswa yang belajar di sejumlah perguruan tinggi di kawasan tersebut lebih dari 10.000 orang. Dari seluruh mahasiswa itu, sebagian besar adalah mahasiswa yang ngekos.
Apabila dalam satu rumah kos terdapat 10 kamar dan ongkos sewa setiap kamarnya Rp8 juta/ tahun, maka dalam setahun penghasilan pemilik kos Rp80 juta. Penghasilan itu seharusnya dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan dengan tarif final 10% dikalikan penghasilan bruto.
Seharusnya pemilik usaha kos membayar pajak Rp8 juta setahun. Kenyataannya banyak yang tidak melaporkan usahanya, sehingga yang seharusnya jadi pendapatan negara tidak masuk ke kas negara. Ini baru satu kos saja, padahal banyak sekali kos-kosan di kawasan itu. Belum lagi di kawasan lain.
Data Kementerian Riset Tekonologi dan Perguruan Tinggi tahun 2017 menyebutkan jumlah perguruan tinggi (PT) yang terdaftar mencapai 4.504 unit. Perinciannya, 3.136 PT swasta, 122 unit PT negeri, dan sisanya perguruan tinggi di bawah kementerian atau lembaga negara dengan sistem kedinasan.
Sudah barang tentu di sekitar lingkungan perguruan tinggi tersebut terdapat banyak bangunan atau rumah yang dijadikan kos-kosan untuk tempat tinggal mahasiswa. Hal ini berarti, potensi penerimaan pajak usaha kos-kosan masih relatif besar.
Apabila potensi tersebut digali secara optimal, tentu pendapatan negara dari pajak final atas sewa tanah dan/atau bangunan akan bertambah. Untuk itu, perlu adanya penyuluhan terhadap masyarakat tentang pemahaman pemungutan pajak atas sewa kos-kosan yang dikenakan pajak final.
Dari penyuluhan yang terus menerus itulah kemudian para pemilik usaha kos-kosan yang niscaya keberatan dengan pengenaan tarif PPh final 10% untuk usahanya tersebut, secara berangsur-angsur dapat memenuhi kewajibannya hingga akhirnya menjadi wajib pajak yang patuh.
Sebagai masyarakat yang tertib hukum dan tentunya cinta kepada Tanah Air, kesadaran tentang perlunya membayar pajak harus terus ditingkatkan. Semua komponen harus berperan. Tidak perlu menunggu diperiksa oleh aparat pajak, baru kemudian melakukan kewajiban perpajakannya.
Sekalipun pajak bersifat memaksa, tetapi tujuan dipungutnya pajak adalah demi kemakmuran rakyat Indonesia. Tujuan itu ditunjukkan dengan adanya bantuan pendidikan, pelayanan kesehatan, subsidi, pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Hal ini seperti yang ditegaskan Pasal 1 angka 1 UU KUP:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.