TIDAK dapat dimungkiri lagi bahwa pajak merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan negara sebesar 85,6% dalam APBN 2017 atau sebesar Rp1.498,9 Triliun dan mempunyai kontribusi rata-rata sebesar 77,6%. Sebagian besar pajak tersebut berasal dari pajak penghasilan sebesar 52,6% dan diikuti oleh pajak pertambahan nilai sebesar 33%.
Pajak mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi penerimaan (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend). Fungsi penerimaan adalah fungsi pajak sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara sedangkan fungsi mengatur (regulerend) adalah sebagai alat untuk mengatur kebijakan di bidang sosial ekonomi.
Saat ini, fungsi mengatur (regulerend) belum sepenuhnya diperhatikan oleh pemerintah sehingga penerimaan pajak belum maksimal. Hal ini mengingat bahwa tax ratio indonesia masih berada pada kisaran 10—13%.
Angka tersebut tergolong rendah mengingat rata-rata tax ratio di kawasan Asia sendiri adalah sekitar 17—21%, bahkan untuk negara maju seperti Jerman, Norwegia, Finlandia, Denmark, dan sebagainya sudah mencapai angka 40—50%.
Fungsi mengatur (regulerend) dapat dimaksimalkan dengan adanya konsep pengenaan pajak limbah. Pajak limbah ini sudah diterapkan di luar negeri seperti di Zimbabwe sudah menerapkan pajak karbon yang dibayarkan dalam mata uang asing dengan harga US$0,03 per liter produk minyak bumi dan solar.
Di India sendiri mulai memperkenalkan pajak karbon nasional sebesar 50 rupee per ton (US$ 1,07/t) pada tahun 2010, bahkan pada tahun 2014 dinaikkan menjadi 100 rupee per ton (US$1,60/t pada konversi US$60,5).
Potensi pajak limbah di Indonesia cukup besar, bahkan tingkat polusi di Indonesia sekarang ini pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Data dari berkala Economist menyebutkan bahwa salah satu kota di Indonesia yaitu Medan menduduki peringkat ke 4 dunia dengan tingkat polusi yang sangat tinggi.
Selain itu, data dari World Bank tahun 2011 menyebutkan bahwa polusi air di Indonesia menduduki peringkat 7 tertinggi di dunia, dengan setiap harinya sebanyak 775 ton polutan mencemari air. Untuk polusi udara Indonesia menduduki peringkat 8 tertinggi di dunia berdasarkan laporan Bloomberg.
Penegasan Peraturan
BERDASARKAN data tersebut, hal ini tentu menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Pemerintah harus mempertegas peraturan perundang-undangan mengenai pajak limbah. Disamping menambah pendapatan negara juga untuk mengurangi tingkat polusi yang menimbulkan eksternalitas negatif di Indonesia.
Sebenarnya sudah ada peraturan yang terkait dengan permasalahan limbah yaitu PP nomor 40 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi peraturan tersebut masih belum maksimal dalam mengatasi tingginya tingkat polusi di Indonesia.
Dengan demikian, peraturan mengenai pajak limbah harus dituangkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, dan menjadi lebih jelas konsistensi hukumnya. Hal ini seseuai dengan yang telah diamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Penerapan pajak limbah juga harus diikuti oleh pengawasan dan penegakan hukum yang nyata. Tanpa pengawasan dan penegakan hukum, mustahil akan berjalan dengan baik mengingat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak, sehingga memungkinkan para pengusaha melakukan penghindaran pajak limbah ini.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pengenaan pajak limbah ini adalah keefisienan dan keefektivan mengenai regulasi pajak limbah dan mudah dilaksanakan oleh semua pihak tanpa membuang tenaga lebih.
Selain itu, juga berprinsip bahwa pajak limbah tersebut tidak mengganggu kegiatan perekonomian, misalnya pengenaan pajak limbah yang terlalu tinggi justru menyebabkan efek negatif pada perekonomian seperti kenaikan biaya produksi bahkan sampai pengurangan karyawan. Jadi pengenaan pajak limbah harus didasarkan pada prinsip syarat-syarat pemungutan pajak.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.