OPINI PAJAK

Meneropong Kebijakan Pajak Pascapandemi

Redaksi DDTCNews
Selasa, 22 Juni 2021 | 12.30 WIB
ddtc-loaderMeneropong Kebijakan Pajak Pascapandemi

Boy Valentin Purba,

pegawai Ditjen Pajak

PADA akhir Perang Dunia I, Schumpeter menciptakan istilah ‘thunder of history’ untuk menggambarkan keadaan perang atau revolusi, yang membawa perubahan sistem fiskal berbagai negara. Episode hari ini, pandemi Covid-19, telah menjadi ‘thunder of history’ struktur fiskal Indonesia.

Pandemi ini membawa dampak negatif yang signifikan pada penerimaan pajak dan meningkatkan defisit anggaran. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa pandemi Covid-19 mengakibatkan dampak negatif pada penerimaan pajak.

Pertama, pandemi berdampak negatif pada penghasilan dan konsumsi padahal sebagian besar sistem perpajakan di beberapa negara semakin bergantung pada keduanya. Akibatnya, penerimaan pajak menurun tajam selama periode krisis ekonomi.

Kedua, respons pemerintah terhadap krisis umumnya menghasilkan tambahan pengeluaran, seperti insentif. Tantangan besar terhadap administrasi perpajakan juga terjadi akibat krisis ekonomi. Dengan keadaan ekonomi yang  menurun, otoritas pajak akan menghadapi risiko kepatuhan pajak.

Jumlah perusahaan yang mengalami kerugian meningkat. Selain itu, penagihan pajak akan semakin besar akibat meningkatnya utang pajak. Pada saat bersamaan, otoritas pajak akan diminta memberikan tambahan asistensi kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Banyak negara di dunia telah menyusun strategi memulihkan kondisi fiskalnya. Reformasi fiskal yang berkelanjutan serta perubahan signifikan kebijakan perpajakan sangat dibutuhkan. Indonesia harus mempertimbangkan perubahan struktur pajak yang disesuaikan dengan era pascapandemi.

Terdapat beberapa pilihan strategi dalam meningkatkan penerimaan pajak. Pengambil kebijakan dapat meningkatkan penerimaan dengan menaikkan tarif, mengenakan pajak baru, memperluas basis pajak dengan mengurangi insentif pajak, dan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum.

Terkait dengan kebijakan tarif pajak, beberapa negara berencana menaikkan tarif pajak, baik pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN). Menteri Keuangan Inggris mengumumkan akan meningkatkan tarif PPh wajib pajak badan menjadi 25% pada tahun 2023.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden berencana meningkatkan tarif PPh orang berpendapatan tinggi dari 37% menjadi 39,6%. Arab Saudi yang menerapkan PPN sejak 2018 dengan tarif 5%, sejak April 2021 menaikkannya menjadi 15% selama 5 tahun, untuk kemudian turun lagi ke 5%-10%.

Ada sedikit ruang untuk menaikkan tarif PPh orang pribadi di Indonesia. Saat ini tarif tertinggi PPh orang pribadi 30%. Apabila dinaikkan ke 33%-35%, kita masih jadi 4 negara ASEAN yang menerapkan tarif 35% pada penghasilan tertinggi. Dengan demikian, kenaikan tarif 3%-5% itu masih wajar.

Sementara itu, pilihan menaikkan tarif PPh badan merupakan pilihan kurang tepat saat tarif PPh badan di seluruh dunia kian menurun. Indonesia baru menurunkan tarif PPh badan dari 25% ke 22%. Terlebih lagi, pemerintah telah berkomitmen menurunkan tarif PPh badan menjadi 20% pada 2022.

Jenis Pajak Baru
DALAM hal pengenaan pajak baru, pajak atas kekayaan mendapat perhatian akhir-akhir ini sebagai salah satu solusi peningkatan penerimaan pajak. Walaupun telah banyak dibahas namun hanya sedikit negara yang menerapkannya karena sangat mudah dihindari dan sulit untuk ditegakkan.

Selain itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak ingin mengalami arus keluar modal apabila pajak atas kekayaan bersih tersebut diterapkan. Maka dari itu, salah satu alternatif lain dari kebijakan tersebut adalah kenaikan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB).

Mengingat karakteristik tanah dan bangunan yang sulit dipindahkan, kenaikan tarif PBB kemungkinan tidak mendorong keluarnya modal dari Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada 2017 jumlah penerimaan PBB hanya 0,12% dari produk domestik bruto (PDB).

Rasio ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara ASEAN seperti Thailand (0,25%), Filipina (0,43%), Singapura (0,94%) (UNU-Wider, 2020). Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang rentang tarif PBB dan meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pemungutan PBB.

Alternatif lain adalah pemajakan emisi karbon. Alternatif ini tepat karena merupakan strategi kill two birds with one stone. Pajak karbon bisa menjadi sumber baru penerimaan pajak pascapandemi sekaligus bentuk komitmen memerangi perubahan iklim dan mendorong investasi teknologi alternatif.

Pemerintah juga harus memikirkan ulang strategi perluasan basis pajak. Salah satunya dapat dilakukan dengan memperkecil jumlah fasilitas perpajakan yang diberikan. Total belanja perpajakan Indonesia 2019 diestimasi mencapai Rp257,2 triliun atau sekitar 1,62% dari PDB.

Nilai ini meningkat 14,24% dari nilai belanja perpajakan 2018. Selain menyebabkan distorsi ekonomi, fasilitas pajak juga berdampak negatif terhadap redistribusi karena sifatnya yang regresif. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dan mengeliminasi pemberian fasilitas pajak yang tidak efektif.

Selain mempersempit ruang pemberian insentif, pemerintah harus segera menurunkan tingkat informalitas guna memperluas basis pajak. Informalitas merupakan salah satu penyebab rendahnya tax ratio Indonesia. Tingkat informalitas kemungkinan akan semakin meningkat dengan adanya pandemi.

Mendorong peningkatan formalitas usaha memang tidak mudah karena harus didukung keinginan politik dan kolaborasi kuat antara pemerintah dan swasta. Pemerintah dapat belajar dari negara yang berhasil menurunkan tingkat informalitas usaha seperti China, Korea Selatan dan Estonia.

Penyesuaian struktur pajak pascapandemi akan menjadi gambaran sistem perpajakan Indonesia 10-20 tahun ke depan. Karena itu, pemerintah perlu hati-hati merumuskan kebijakan. Akhirnya, semoga penyesuaian tersebut akan menjadi silver lining atas ‘thunder of history’ yang dihadapi Indonesia.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.