SUMBER dana perusahaan dapat diperoleh melalui dua skema, yaitu skema pendanaan melalui utang dan melalui modal. Kedua skema tersebut dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap besarnya beban pajak perusahaan, terutama dari segi imbalan dari utang (bunga) dan modal (dividen).
Perlakuan pajak yang berbeda antara bunga dan dividen, yaitubunga dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan, sedangkan dividen tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan menyebabkan perusahaan multinasional cenderung untuk lebih memilih skema pendanaan melalui utang. Namun, praktik skema pendanaan melalui utang seringkali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengurangi beban pajak perusahaan.
Praktik perencanaan pajak dengan menggunakan utang yang lebih banyak bertujuan untuk mengikis dasar pengenaan pajak di negara sumber melalui pembayaran bunga yang berlebihan kepada subjek pajak di negara yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak yang rendah atas penghasilan bunga dan sejenisnya (Offermanns dan Baldwesing, 2015).
Pembebanan biaya bunga yang berlebihan (excessive interest) pada perusahaan multinasional ditengarai dapat menimbulkan adanya penyertaan modal secara terselubung. Kini, banyak negara telah menerapkan ketentuan domestik yang bertujuan untuk menangkal tingginya utang yang berlebihan, yang seringkali mengacu pada apa yang disebut sebagai aturan pembatasan beban bunga (interest limitation rules) (Darussalam dan Kristiaji, 2015).
Di Indonesia, interest limitation rules dilakukan melalui upaya membatasi utang (debt limitation). Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU PPh, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menentukan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan (debt to equity ratio) yang dibenarkan untuk penghitungan pajak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Apabila besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan melebihi besarnya perbandingan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan, bunga yang dibayarkan atas utang yang dianggap ‘excessive’ itu tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan. Sementara itu, bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Berbeda dengan interest limitation rule di Indonesia melalui upaya membatasi utang, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui BEPS Action Plan 4 merekomendasikan interest limitation rule melalui upaya membatasi beban bunga (interest limitation) sebagai berikut.
Pertama, penggunaan fixed ratio biaya bunga terhadap EBITDA (jumlah laba sebelum biaya bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi) antara 10% sampai dengan 30% untuk membatasi pembayaran bunga yang berlebihan;
Kedua, ketentuan tersebut dikombinasikan dengan pendekatan group ratio rule yaitu dengan ambang batas rasio biaya bunga terhadap EBITDA di tingkat grup apabila entitas melebihi batasan fixed ratio di tingkat perusahaan.
Dengan aturan ini, hanya terhadap biaya bunga yang jumlahnya melebihi fixed ratio dan group ratio saja yang tidak boleh dibebankan sebagai pengurang. Selain itu, OECD juga memberi rekomendasi tambahan (Darussalam dan Kristiaji, 2017).
Rekomendasi itu, pertama, adanya ambang batas threshold indikator keuangan yang bisa mengesampingkan perusahaan-perusahaan dengan risiko terbatas maupun untuk sektor tertentu, misalkan untuk proyek publik.
Kedua, adanya kelebihan bunga pinjaman tidak boleh diperlakukan sebagai pengurang. Namun, pemerintah dapat memberikan opsi kelonggaran bahwa biaya tersebut untuk dibawa dan diperhitungkan di tahun pajak berikutnya atau sebelumnya (carry forward atau carry back).
Pendekatan Earning Stripping
OECD dalam Laporan Final BEPS Action Plan 4 tidak merekomendasikan penggunaan debt to equity ratio (DER), tetapi lebih merekomendasikan penggunaan interest limitation atau lebih sering disebut pendekatan ‘earning stripping’.
Hal ini dikarenakan penggunaan DER yang masih memberikan banyak kerugian. Misalnya, adanya fleksibilitas tingkat bunga atas utang yang cukup tinggi yang dibayarkan suatu entitas dan juga adanya potensi entitas yang memiliki modal besar untuk mengurangkan lebih banyak biaya bunga yang sangatlah mudah dilakukan bagi grup usaha untuk memanipulasi hasil rasio utang terhadap modal dengan menambah tingkat modal dalam entitas tertentu (Paragraf 17).
Pendekatan berbasis akun-akun pada income statement dirasa lebih menjamin bahwa bunga yang dapat menjadi pengurang terkait secara langsung dengan aktivitas ekonomi perusahaan tersebut. Jumlah pengurang pajak itu juga langsung berkaitan dengan penghasilan kena pajak sehingga akan lebih valid dalam memengaruhi keputusan perencanaan pajak (Paragraf 23).
Salah satu negara yang menerapkan kebijakan earning stripping rule adalah Jerman. Jerman menerapkan fixed ratiobiaya bunga terhadap EBITDA sebesar 30%. Atas ketentuan tersebut, wajib pajak di Jerman hanya boleh mengurangkan biaya bunganya sebesar maksimal 30% dari nilai EBITDA dalam tahun berjalan. Namun, biaya bunga yang tidak dapat dikurangkan tidak dianggap sebagai dividen dan dapat dibawa dan diperhitungkan di tahun pajak berikutnya (carried forward) (Fross, 2012).
Selain itu, pertimbangan OECD mengombinasikan fixed ratio dengan group ratio adalah karena fixed ratio rule tidak mempertimbangkan perbedaan tingkat kebutuhan pembiayaan di antara berbagai sektor usaha.
Oleh karena itu, apabila ketentuan yang diterapkan untuk membatasi biaya bunga hanyalah fixed ratio rule, grup perusahaan yang memiliki rasio beban bunga bersih kepada pihak ketiga terhadap EBITDA yang jauh di atas fixed ratio tidak akan mampu untuk mengurangi seluruh biaya bunga kepada pihak ketiga.
Dengan demikian, grup-grup perusahaan yang pendanaannya banyak dilakukan dengan utang diperbolehkan untuk membebankan biaya bunga yang melebihi batasan dalam fixed ratio berdasarkan rasio keuangan grup. Ketentuan ini tentu akan bermanfaat bagi grup perusahaan di Indonesia yang pendanaannya banyak dilakukan dengan utang.
Mencermati rekomendasi dari OECD tersebut, pemerintah tentu diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam terkait dengan implementasi interest limitation/earning stripping rule dalam sistem perpajakan di Indonesia.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penggunaan kombinasi beberapa pendekatan yang direkomendasikan oleh OECD dengan tetap menjaga dampaknya terhadap iklim investasi di Indonesia.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.