LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Mencari Janji Kampanye Pilpres Pro Wajib Pajak

Redaksi DDTCNews | Senin, 07 Januari 2019 | 15:27 WIB
Mencari Janji Kampanye Pilpres Pro Wajib Pajak
Marie Muhammad, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan Agung Tirtayasa

PADA negara yang sangat bergantung pada pajak seperti Indonesia, sangat aneh jika pajak tidak menjadi agenda kampanyepara calon presiden dan wakil presidennya dalam pemilihan umum (pemilu). Pajak adalah penyumbang terbesar dana pembangunan di Indonesia.

Karena itu, visi pajak capres seharusnya bisa jadi tontonan menarik, di mana terjadi benturan gagasan dan program yang bisa membuat sistem perpajakan menjadi lebih baik. Pemilu presiden kali ini telah menempatkan dua kandidat, yaitu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Menjelang Pilpres tak jarang kita disajikan tontonan tentang dua kubu tersebut. Bukan hanya poster dan baliho kandidat, tetapi juga kehidupan pribadi, religiusitas, dan latar belakang para kandidat juga tak luput dari sorotan.

Bahkan mendekati pemilu, calon-calon presiden dan wakil presiden akan rajinkunjungan ke bawah, ke kampung-kampung, pasar-pasar, dan rajin bersalaman dengan masyarakat untukmenampung aspirasi rakyat serayaberjanji akan merealisasikannya.

Program yang disusun para kandidat juga banyak dikaitkan dengan populisme, yaitu program yang merangkul dan mengutamakan rakyat kecil, dan disampaikan melalui program atau kampanye politik yang menyentuh kepentingan rakyat kecil. Lalu bagaimanakah dengan visi pajak mereka?

Pertama, seperti dilansir InsideTax edisi 40, Jokowi-Ma’ruf menjanjikan kelanjutan reformasi perpajakan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.

Komitmen yang ditunjukannya memperlihatkan konsistensi melanjutkan reformasi pajak. Perbaikan pelayanan dan administrasi sudah banyak dilakukan, insenstif seperti PP Nomor 23 Tahun 2018 dan revisi tax holiday merefleksikan visinya untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi.

PP Nomor 23 Tahun 2018 merupakan intensif yang diberikan kepada UMKM dengan memangkas tarif 1% menjadi 0,5%. Tarif itu disesuaikan dengan asas keadilan, tanpa menghilangkan kontribusi wajib pajak tapi tidak memberatkan wajib pajak. Hal ini merupakan langkah yang cukup baik untuk diambil.

Revisi tax holiday dilakukan denganmengubah tarif pajak menjadi single rate 100% dan perubahan jangka waktu dan minimum investasi. Memang ada risiko berkurangnya penerimaan pajak, tetapi program ini cukup baik untuk mendorong minat investasi yang berimbas padalapangan pekerjaan.

Kedua, Prabowo-Sandi memiliki visi misi yang cukup memikat suara wajib pajak, mereka menjanjikan menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Menaikan PTKP tentu bukan hal baru di Indonesia, karena sudah beberapa kali dilakukan. Melihat tujuannya, yaitu meningkatkan daya beli masyarakat agar mendorong kemajuan perekonomian, hal itu tentu sangat baik. Namun, akan sulit terjadi jika diikuti dengan inflasi yang jugaterus meningkat.

Bayangkan jika take home pay meningkat tetapi harga barang yang dibeli juga naik. Potensi yang mungkin timbul adalahmeningkatnya PPN dan banyak korporasi yang memberikan tunjangan pajak akan menjadi koreksi positif baginya guna meningkatkan pendapatan kena pajak.

Penghapusan PBB diangkat karena adanya aspirasi rakyat yang mengeluh karena PBB naik terus menerus dan masalah kemampuan likuiditas membayar pajaknya. Visi tersebut mungkin akan sulit direalisasi, pasalnya penghapusan PBB berbenturan dengan UU No 28 Tahun 2009.

Karena itu, UU tersebut perlu direvisi. Hal itu juga berarti mengusik pendapatan pemerintah daerah karena PBB sektor pedesaan dan perkotaan merupakan penghasilan pemerintah daerah. Untuk itu, diperlukan kordinasi ekstra dengan pemerintah daerah.

Seperti halnya Amerika, kemenangan Donald Trump tentu tak lepas dari janji kampanye reformasi pajak atau di Malaysia di mana Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang berjanjimenghapus GST (good and service tax). Program itu menunjukan pemihakannya pada rakyat.

Terakhir, program kedua capres pasti sama-sama bertujuan baik, yaitu untuk kepentingan rakyat, danmempertimbangkan keadilan untuk wajib pajak. Kelebihan dan kekurangannya adalah hal biasa, karena hanya sistem yang diciptakan Tuhan-lah yang sempurna.

Justru, dengan adanya perbedaan visi pajak masing-masing capres tersebut kita bisa menelaah, dan akhirnya bagaimana kita sebagai pemilih bisa memutuskan, pada program yang mana kita pantasmenjatuhkan pilihan dan melabuhkan harapan.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 04 Maret 2024 | 11:30 WIB LAPORAN KINERJA DJP 2023

DJP Belanjakan Rp34,34 Miliar untuk Bangun Coretax System pada 2023

Sabtu, 02 Maret 2024 | 13:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perubahan Struktur Penerimaan Perpajakan RI pada Awal Reformasi Pajak

BERITA PILIHAN