EKONOMI di Indonesia membukukan pertumbuhan sebesar 5,01 % pada kuartal II tahun 2017. Namun demikian banyak anggapan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang lesu, dibuktikan dengan menurunnya daya beli masyarakat.
Padahal bila dilihat lagi secara makro, seluruh komponen ekonomi di Indonesia menunjukkan angka yang baik, misalnya hingga semester I 2017 tingkat inflasi masih aman pada kisaran 3%, neraca perdagangan surplus, dan nilai tukar rupiah terjaga di rata- rata Rp13.300.
Secara angka statistik memang kondisi perekonomian Indonesia bisa dikatakan baik-baik saja, tapi fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Beberapa industri ritel di Indonesia mengalami dampak dari anggapan menurunnya daya beli masyarakat ini.
PT Matahari Department Store Tbk di akhir September 2017 ini telah menutup dua gerainya masing-masing di Blok M dan Manggarai. Bahkan pada tanggal 31 Desember 2017 nanti juga dilakukan penutupan gerai di Lombok City Center di mana sebelumnya pada tanggal 3 Desember 2017 gerai Matahari yang berada di Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat telah resmi ditutup secara total.
Manajemen Matahari mengungkapan hal ini dilakukan karena gerai-gerai tersebut tidak berhasil memenuhi target penjualan dan keuntungan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tidak hanya pasar ritel modern, pasar ritel tradisional seperti di daerah Glodok pun juga terkena imbasnya. Beberapa gerai di pasar ini juga terpaksa harus gulung tikar karena omset yang terlampau kecil.
Ada pendapat yang mengatakan salah satu penyebab buruknya industri ritel di Indonesia pada tahun 2017 adalah fenomena pergeseran (shifting) pola konsumsi masyarakat yang awalnya berupa konsumsi pembelian barang ke konsumsi berupa leisure (misalnya konsumsi untuk liburan).
Dari pendapat ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya asumsi yang mengatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia turun tersebut terbantahkan. Hal ini di dukung oleh data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data mencatat adanya peningkatan konsumsi untuk leisure seperti kegiatan bersenang-senang, jalan-jalan, menginap di hotel, dan makan di restoran.
Sedangkan konsumsi berupa belanja pakaian dan barang elektronik menurun. BPS mengungkapkan fakta bahwa terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga dari leisure pada kuartal II-2017 sebesar 6,25 % dari sebelumnya 5,5 %. Sebaliknya konsumsi rumah tangga dari non leisure menurun dari 5,0 % menjadi 4,75 %. Semua data di atas menunjukkan bahwa sebenarnya daya beli masyarakat Indonesia tidak turun, melainkan tetap dan hanya bergeser ke arah leisure economy.
Pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara tentu menerima imbas dari melemahnya industri ritel di tahun 2017 yang diperkirakan akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Ada beberapa potensi pajak yang hilang dari menurunnya konsumsi masyarakat terhadap konsumsi barang.
Menurut Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), salah satu objek pajak dari pajak pertambahan nilai (PPN) adalah penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Proses bisnis dari industri ritel adalah berupa penyerahan barang kena pajak di mana mekanisme penyerahannya termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak yang diatur pada Pasal 1A UU PPN dan barang yang diserahkan juga merupakan barang kena pajak karena pada dasarnya semua barang merupakan barang kena pajak kecuali kelompok barang yang disebutkan dalam Pasal 4A UU PPN.
Berkaitan dengan ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat loss pada penerimaan PPN akibat dari menurunnya industri ritel. Pemerintah mengatakan bahwa data menunjukkan penerimaan PPN secara umum dan dari industri ritel meningkat dari tahun lalu.
Namun bila dilihat dari penerimaan pajak yang mencapai 78% per November 2017, loss dari penerimaan PPN ini perlu mendapat perhatian. Artinya meskipun secara angka naik dari tahun lalu tetapi sebenarnya kenaikannya bisa lebih tajam dan lebih berkontribusi pada penerimaan negara bila Ditjen Pajak bisa menutup loss tersebut dengan menambah objek pajak baru yang belum diatur dalam UU akibat dari pergeseran pola konsumsi masyarakat ini.
Fokus dari ide ini adalah bagaimana konsumsi atas leisure yang merupakan pengganti dari konsumsi barang dipungut pajaknya sesuai dengan UU. Melihat kondisi di atas maka perlu adanya suatu pajak untuk liburan atau pariwisata.
Bila ingin diterapkan di Indonesia, konsep pajak pariwisata sebenarnya bukan suatu konsep pajak yang baru, karena pada tanggal 1 Agustus 2017 ini Malaysia juga telah menerapkan pajak pariwisata (tourism tax) untuk wisatawan mancanegara dan domestik yang menginap di hotel untuk tujuan wisata maupun perjalanan bisnis.
Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia, Nazri Abdul Aziz mengatakan tourism tax ini dapat menyumbang penerimaan sebesar Rp2,04 triliun jika dalam setahun rata-rata tingkat hunian kamar hotel di Malaysia bisa terisi 60%. Ini merupakan peluang bagi Ditjen Pajak mengingat program Visit Wonderful Indonesia dari pemerintah memperkirakan jumlah wisatawan mancanegara mencapai 20 juta pada tahun 2019.
Selain itu tingkat okupansi hotel di daerah pariwisata seperti Bali juga meningkat tahun ini. Hal itu menunjukkan shifting pola konsumsi benar- benar telah terjadi. Ketua Bali Hotel Association (BHA) Ricky Putra mengungkapkan bahwa bahkan di tengah dampak status waspada Gunung Agung, tingkat okupansi hotel di Bali meningkat sekitar 10-15 % sampai dengan Oktober 2017 .
Ada beberapa alternatif pengenaan pajak yang dapat diterapkan dalam kaitannya dengan fenomena ini. Pertama, bila fokusnya adalah penerimaan pajak pusat, maka pemerintah bisa mengenakan PPN atas konsumsi leisure yang pengenaannya dibebankan pada harga jasa sewa kamar hotel.
Tentu alternatif pertama ini akan menjadi perdebatan karena menurut PMK nomor 43/PMK.010/2015 pemerintah membebaskan PPN atas jasa penginapan di hotel. Tujuan pemerintah dalam hal ini jelas agar tidak ada pengenaan pajak berganda karena UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah telah mengatur pajak daerah atas hotel sebesar maksimal 10 % sesuai kebijakan daerah masing- masing.
Tetapi bila ditelisik lebih dalam lagi objek dari kedua pajak ini berbeda. PPN yang ada dalam alternatif pertama dikenakan terhadap konsumsi leisure, sedangkan pajak daerah dikenakan terhadap konsumsi jasa perhotelan oleh konsumen. Bila hal tersebut dirasa pemerintah dapat menimbulkan konflik dan kritik dari masyarakat, maka alternatif kedua patut juga dipertimbangkan.
Alternatif kedua merujuk pada apa yang dilakukan Malaysia melalui tourism tax-nya. Dalam pernyataannya, Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia mengatakan bahwa hasil penerimaan dari tourism tax akan digunakan untuk kepentingan industri pariwisata seperti membiayai promosi pariwisata.
Dari karakteristik ini maka sebenarnya tourism tax lebih dekat kepada pengertian pajak daerah karena hasil penerimaannya digunakan untuk kepentingan kemajuan daerah tersebut. Alternatif ini bisa dipilih dengan menambahkan suatu jumlah tertentu yang harus dibayar oleh pelanggan yang menginap di hotel per hari selain dari pajak daerah hotel dan service charge yang dikenakan.
Sebenarnya alternatif ini dalam jangka panjang juga akan menambah penerimaan negara secara keseluruhan karena dengan adanya tambahan pemasukan untuk mengembangkan industri pariwisata, maka industri pariwisata akan tumbuh naik dan perekonomian masyarakat sekitar daerah pariwisata juga ikut meningkat.
Ketika perekonomian meningkat maka potensi pajak penghasilan dari penerima penghasilan juga akan meningkat. Selain itu PPN dari objek jasa yang berkaitan dengan industri pariwisata seperti penggunaaan jasa pariwisata juga akan meningkat.