LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Menakar Komposisi Pajak Lingkungan

Redaksi DDTCNews
Jumat, 13 Agustus 2021 | 10.00 WIB
ddtc-loaderMenakar Komposisi Pajak Lingkungan

Agung Endika Satya,

Tangerang Selatan, Banten

PANDEMI adalah bukti nyata dampak negatif dari eksploitasi alam dan kerusakan ekologi. Centre for Biodiversity Analysis Australian National University menyatakan kerusakan biodiversitas berpotensi besar menimbulkan wabah zoonotik, yaitu menularnya virus dari hewan ke manusia.

Dalam sebuah laporan, Worldwide Fund for Nature (WWF) menyebutkan fakta dalam satu tahun, setidaknya muncul empat penyakit zoonotik baru akibat kerusakan biodiversitas. Penyakit itu termasuk penyakit mematikan seperti HIV/AIDS, SARS, dan yang paling baru adalah Covid-19.

Mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam International Economics Association (IEA) World Congress, pandemi dimaknai sebagai ‘wake-up call’ ambang batas kerusakan ekologi. Bencana yang lebih parah akan terjadi bila pemerintah hanya melakukan business as usual tanpa terobosan.

Hingga artikel ini ditulis, tingkat kematian akibat Covid-19 mencapai angka yang sangat serius, yaitu sekitar 3,94 juta orang di dunia. Dari jumlah tersebut, ada sebanyak 58.000 di antaranya adalah korban meninggal di Indonesia.

Dari perspektif ekonomi, berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Covid-19 memberi efek kejut berupa kontraksi pertumbuhan ekonomi minus 2,07% serta meroketnya angka kemiskinan hingga 9.78% sepanjang 2020. Ini adalah catatan performa ekonomi terburuk Indonesia dalam 20 tahun terakhir.

Negara-negara G-20 merespons situasi tersebut dengan membentuk kesepakatan penanganan pandemi dengan agenda pemulihan ekonomi serta perbaikan lingkungan yang inklusif dan berkesinambungan. Komitmen Indonesia dalam kesepakatan itu diwujudkan dalam kerangka kebijakan insentif perpajakan, climate budget, dan penerbitan Green Sukuk.

Pajak Lingkungan

SELANJUTNYA, mari kita kaji lebih mendalam mengenai pajak lingkungan. Namun, perlu kita sepakati, kebijakan fiskal sebagai komitmen reservasi lingkungan tidak melulu berupa insentif pajak atau pengenaan pajak lebih tinggi.

Artinya, pajak lingkungan dapat berupa bauran antara pengenaan pajak dan pemberian insentif untuk memberi daya dorong sekaligus daya redam simultan terhadap mekanisme ekonomi (World Bank, 2018).

Selain pajak lingkungan berupa pajak karbon yang dirumuskan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), kebijakan untuk mendorong pergeseran preferensi konsumen ke kendaraan listrik juga dapat menjadi solusi perbaikan ekologi.

Pertama, dalam diskursus mempopulerkan kendaraan listrik, perlu pengaturan progresivitas tarif bea masuk, pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, dan pajak pertambahan nilai (PPN)/pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Pengaturan tersebut perlu dilakukan agar total beban pajak yang ditanggung importir, produsen, serta konsumen kendaraan listrik adalah terkecil dibandingkan dengan kendaraan hibrid dan kendaraan konvensional.

Kedua, perlu dirumuskan pengenaan pajak yang lebih tinggi atas input berbasis energi fosil pada level produsen listrik. Arah kebijakan ini relevan dengan poin pertama, yaitu untuk mendorong konversi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.

Hal yang perlu dilakukan adalah pengenaan pajak atas fossil input dan pemberian insentif pajak atas renewable input yang digunakan pembangkit listrik. Dengan demikian, preferensi produsen listrik akan beralih ke renewable input karena lebih menguntungkan.

Selanjutnya, mekanisme supply dan demand akan mendorong pengembangan renewable input tersebut secara otomatis. Sebagai catatan, berdasarkan pada data Kementerian ESDM, target persentase renewable input Indonesia adalah sebesar 23% pada 2025 dan akan meningkat menjadi 31% pada 2050.  

Ketiga, perlu dirumuskan pengenaan pajak yang lebih tinggi atas bahan bakar minyak (BBM) fosil. Kebijakan ini dimaksudkan agar harga BBM untuk kendaraan menjadi lebih tinggi. Pada akhirnya, skema ini dapat mereduksi konsumsi.

Keempat, sebagai pendorong kesinambungan, tentunya perlu rumusan fasilitas perpajakan untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan, kebijakan tarif untuk produk dengan material bebas karbon, serta insentif untuk kegiatan pengelolaan limbah.

Sebagai implikasi, berkurangnya total biaya variabel dari insentif pajak atas renewable input akan menyebabkan harga listrik pada level konsumen akhir menjadi lebih murah. Sementara pengenaan pajak yang lebih tinggi akan menyebabkan harga BBM untuk kendaraan konvensional menjadi lebih mahal.

Relaksasi bea masuk, PPh Pasal 22 Impor dan PPN/PPnBM akan membuat harga kendaraan listrik lebih terjangkau. Kebijakan ini diharapkan menciptakan pergeseran preferensi ke kendaraan listrik pada level konsumen dan penurunan emisi pada level industri. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya perbaikan lingkungan yang inklusif, berkesinambungan, dan tangguh pada masa depan.

Insentif Pajak

DALAM diskursus tentang insentif pajak, mari kita ambil kutipan dari Chatib Basri: when else fails, ‘nasi padang’ prevails. Memang dalam optik politik, insentif pajak mirip dengan nasi padang, yaitu dijadikan senjata pamungkas ketika seluruh upaya gagal. Namun, identik juga dengan nasi padang, insentif yang berlebihan juga dapat menuai malapetaka. Insentif pajak harus didesain lebih terarah dan terukur.

Contoh riil yang dapat diadopsi adalah insentif bertajuk future-market industrial policy. Artinya, insentif diberikan kepada bisnis yang berorientasi masa depan seperti industri baterai kendaraan listrik. Insentif ini akan memberi tiga dampak sekaligus.

Pertama, mendorong kekuatan industri masa depan Indonesia sebagai pemasok komponen utama industri prospektif. Kedua, berkontribusi dalam perbaikan lingkungan pada masa depan. Ketiga, mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif sekaligus memberi efek domino penerimaan pajak pada masa mendatang.

Hal terpenting yang perlu ditakar dalam perumusan skema pajak lingkungan adalah landasan empiris dan data. Dalam teori kebijakan fiskal terkait dengan lingkungan, terdapat fenomena back-forced reduction effect. Artinya kebijakan fiskal memberi efek yang diharapkan berupa pengurangan emisi dan perbaikan lingkungan.

Namun sebaliknya, kebijakan yang sembrono akan memberi efek green paradox. Fenomena ketika pajak lingkungan justru memberi efek kontra-indikasi, misalnya kenaikan permintaan energi fosil yang berakibat pada tingginya emisi dan kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu, pajak lingkungan seharusnya dirumuskan secara komprehensif dengan basis empiris yang memadai. Dengan demikian, skema yang diambil diharapkan menjadi evidence-based policy, bukan policy-based evidence.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.