LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Memajaki Orang Kaya? Wealth Tax Bukanlah Solusi

Redaksi DDTCNews | Rabu, 07 September 2022 | 10:00 WIB
Memajaki Orang Kaya? Wealth Tax Bukanlah Solusi

Septian Fachrizal,  
Tangerang Selatan, Banten

AKHIR-akhir ini sering tergaungkan semangat memajaki orang kaya atau akrab disebut high net worth individuals (HNWI). Wacana penerapan pajak berbasis kekayaan atau wealth tax sering muncul. Namun, apakah ini menjadi solusi?

Alih-alih menjadi senjata baru bagi otoritas untuk menambah penerimaan dari orang kaya, wealth tax justru kemungkinan bisa memberikan efek kontradiktif. Efeknya bisa dirasakan baik otoritas –termasuk Ditjen Pajak (DJP)—maupun wajib pajak.

Stotzer (2020) menyimpulkan wealth tax kemungkinan besar tidak layak dari perspektif peningkatan penerimaan dalam jangka panjang, kompleks secara administratif, dan berisiko menciptakan potensi penghindaran pajak oleh wajib pajak.

Studi empiris yang dilakukan Hansson (2010) menunjukkan wealth tax dapat mengancam pertumbuhan ekonomi sehubungan dengan berkurangnya modal dan tabungan (saving). Wealth tax justru akan memberikan efek disinsentif untuk menabung (saving) atau investasi karena memajaki penghasilan yang tidak digunakan untuk konsumsi dan terakumulasi sebagai kekayaan.

Meskipun wealth tax menjadi salah satu usulan dari International Monetary Fund (IMF) sebagai solusi sementara untuk menjaga penerimaan negara (Ayumi, 2021), Indonesia membutuhkan instrumen perpajakan yang sustainable. Artinya, dapat menjadi sumber penerimaan negara jangka Panjang.

Proposal rezim pajak baru yang menyasar tujuan jangka pendek hanya akan mengakibatkan pembengkakan anggaran. Hal ini muncul dari biaya untuk melahirkan sistem proses bisnis pajak baru yang kompleks tanpa diimbangi potensi penerimaan pajak yang signifikan dan berkelanjutan.

Penerimaan pajak yang tidak signifikan juga telah mendorong penghapusan wealth tax. Hal ini makin layak jika dilihat dari perspektif politik (Kopczuk, 2012). Penghapusan wealth tax terjadi di beberapa negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Jumlah negara OECD yang menerapkan wealth tax turun dari 12 negara pada 1990 menjadi 4 negara pada 2017. Alasan utama penghapusan wealth tax adalah tingginya biaya efisiensi dan ekspatriasi modal (OECD, 2018).

Adanya wealth tax juga dapat mendorong HNWI untuk merelokasi kekayaan dan investasi mereka keluar Indonesia. Tujuannya sederhana, yakni untuk menghindari beban pajak dari wealth tax. Hal ini akan sangat kontraproduktif terhadap tujuan dan hasil repatriasi kekayaan pada program DJP sebelumnya, seperti Amnesti Pajak dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Selain itu, wealth tax akan menimbulkan efek pemajakan berganda. Hal ini dikarenakan akumulasi kekayaan wajib pajak telah dipajaki dengan pajak panghasilan (PPh) pada tiap tahun fiskal. Jika kita menilik UU PPh, penghasilan didefinisikan sebagai penambah kekayaan wajib pajak.

Dari situlah pemajakan berganda terjadi apabila kekayaan dikenai kembali dengan wealth tax setelah terakumulasi dari pendapatan setelah pajak. Alasan inilah yang menjadi dasar penghapusan wealth tax di Spanyol pada 2008.

Wealth Tax juga dapat menimbulkan masalah likuiditas ketika dikenakan pada wajib pajak yang memiliki kekayaan non-liquid investments (Kent, 2012). Pada akhirnya, asas pemungutan pajak equality dan convenience of payment tidak akan terpenuhi.

Strategi kebijakan

HNWI sebagai sasaran pajak harus tetap menjadi agenda DJP. Tentu saja, desain instrumen harus lebih tepat untuk memperkuat sistem pemajakan HNWI yang telah ada saat ini, seperti penambahan lapisan PPh orang pribadi (OP) dan pengawasan HNWI di KPP Wajib Pajak Besar.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan transparansi pada program Anti-Money Laundering (AML). Saat ini, Indonesia telah memiliki gebrakan untuk menangkal tindak pidana pencucian uang dengan transparansi beneficial owner (BO) melalui Perpres No.13 Tahun 2018.

Program AML dapat dioptimalkan sebagai pembangunan basis data untuk kepentingan perpajakan, khususnya menyasar HNWI. Koordinasi DJP dengan instansi terkait harus diperkuat, termasuk dengan pembuatan sistem informasi terpadu untuk pertukaran data.

Optimalisasi AML untuk kepentingan perpajakan juga dapat memperkecil potensi sengketa BO. Apalagi, dalam sengketa tersebut, DJP sering mengalami kekalahan di Pengadilan Pajak. HNWI sebagai ultimate BO dapat membayar fair taxation.

Identifikasi BO dari suatu bisnis dapat ditindak lanjuti lebih lanjut dengan pengawasan terintegrasi antara HNWI dan entitas-entitas bisnis serta grup usahanya. Dalam hal ini, koordinasi strategi dan komunikasi antar-unit KPP sangatlah diperlukan.

Koordinasi ini penting mengingat Indonesia masih belum menerapkan pendekatan pengawasan secara tunggal atas HNWI dengan entitasnya sebagaimana diterapkan di beberapa negara, seperti Australia, Afrika Selatan, Irlandia, Jepang, Kanada, Perancis, dan Selandia Baru (InsideTax, 2015).

Aspek Nonteknis

PERTIMBANGAN terpenting adalah penyelarasan strategi pemajakan HNWI dengan agenda politik dan ekonomi (IMF, 2017). Pada aspek politik, dukungan berbagai kementerian dalam kabinet sangatlah penting mengingat HNWI sering memegang jabatan politik atau memiliki akses ke pemerintahan tingkat tinggi.

Tanpa dukungan politik yang luas dan tingkat tinggi, sematang apapun strategi memajaki HNWI tidak akan berjalan dengan optimal. Dalam agenda ekonomi, langkah pemajakan HNWI harus diselaraskan agar tidak terdapat konflik dengan program pemerintah untuk menarik investasi, seperti insentif pajak atau tax holiday.

Selain itu, penerimaan publik dan media atas pemajakan HNWI perlu dipertimbangkan. Edukasi publik sangat diperlukan untuk menyampaikan tujuan pemajakan HNWI. Tentu saja, tujuannya adalah memastikan sistem pajak diterapkan secara adil kepada semua wajib pajak. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi kepatuhan berbasis luas yang dirancang untuk memastikan HNWI memenuhi kewajiban pajak mereka (IMF, 2017).

Berdasarkan pada analisis di atas, untuk membangun sistem pemajakan HNWI yang berkelanjutan, wealth tax bukanlah solusi yang tepat. Optimalisasi dan koordinasi sumber daya berbagai pihak, baik internal maupun eksternal, akan menjadi solusi yang lebih ekonomis, efisien, dan efektif dalam memajaki HNWI.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN