Reno Septiargo,
SEKTOR perpajakan kini tengah menghadapi masa sulit mengingat ketidakstabilan perekonomian akibat pandemi Covid-19 masih berlanjut.
Alih-alih berharap perekonomian segera pulih, otoritas pajak juga dituntut sigap dalam menganalisis tren ekonomi yang berkembang sehingga dapat melirik sumber-sumber pajak potensial. Salah satu tren yang tengah hangat diperbincangkan secara global yaitu non-fungible token (NFT).
NFT merupakan aset digital berbasis teknologi blockchain, biasanya Ethereum, yang digunakan untuk mewakili kepemilikan suatu karya baik digital maupun fisik. Singkatnya, NFT seperti sertifikat hak milik atas suatu aset dan dapat diperjualbelikan layaknya saham.
NFT bersifat unik sehingga tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Selain itu, NFT memiliki kode identifikasi serta metadata yang berisi informasi spesifik tentang aset tersebut. Hingga saat ini, aset NFT mencakup berbagai hal seperti karya seni secara luas, barang koleksi, real estat, serta benda berharga lainnya.
Berdasarkan pada data dari nonfungible.com, pada 2020, transaksi di pasar NFT meningkat 66% dengan nilai transaksi naik dari US$63 juta menjadi US$250 juta. Selain itu, pada tahun yang sama, investasi pada NFT mengalami kenaikan yang signifikan, yakni sebesar 299%.
Kenaikan investasi NFT ini sepertinya berkat popularitas aset kripto, seperti Bitcoin, yang makin pesat. Hal ini seakan mengonfirmasi bahwa pasar mulai menyukai aset-aset digital. Akibat tren positif tersebut, rasio jumlah pembeli NFT menjadi 2 kali lebih banyak daripada penjualnya selama kuartal pertama 2021. Selain itu, pada kuartal tersebut, transaksi NFT mencapai lebih dari US$2 miliar.
Melihat eksistensinya yang terus meroket, NFT berpotensi memunculkan pasar ekonomi dan bentuk investasi baru. Beberapa brand terkenal seperti Nike, Louis Vuitton, IBM serta NBA telah mulai membuat produk dan layanan berbasis NFT.
Beberapa seniman ternama juga turut membuat aset NFT atas karyanya. Pada Maret lalu, NFT mendapat sorotan publik dengan adanya tweet pertama dari CEO Twitter Jack Dorsey yang dijual sebagai NFT senilai US$2,9 juta.
Di Indonesia sendiri, aset digital ini mulai ramai diperbincangkan setelah munculnya NFT dari sebuah lukisan milik seorang peneliti dan penulis Denny JA. Lukisan bertajuk A Portrait of Denny JA: 40 Years in the World of Ideas telah terjual sebagai aset NFT seharga 27,5 WETH atau setara Rp1 Miliar. Bukan tidak mungkin jika NFT akan tumbuh menjadi model bisnis baru yang potensial di Indonesia.
Strategi Pemajakan NFT
FENOMENA peningkatan transaksi di pasar NFT sepatutnya mendapat perhatian khusus dari otoritas pajak. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu segera menggagas kebijakan pemajakan melihat geliat aset NFT yang mulai menjangkau Indonesia.
Berbagai skema pemajakan perlu dipersiapkan sesuai dengan karakteristik aset ini. Opsi pengenaan pajak NFT setidaknya dapat dilihat dari 2 sisi, yakni potensi pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Strategi pemajakan yang mungkin dikenakan untuk NFT berupa PPh Pasal 21. Pajak ini diberlakukan jika pendapatan dari transaksi NFT dimasukan ke dalam kategori penghasilan dari pekerjaan, jasa, ataupun kegiatan lainnya.
Dalam skema tersebut, NFT dapat dikenakan tarif progresif . Ada 4 lapisan, yakni penghasilan kena pajak hingga Rp50 juta dikenakan tarif 5%, lebih dari Rp50 juta—Rp250 juta dengan tarif 15%, lebih dari Rp250 juta—Rp500 juta sebesar 25%, serta lebih dari Rp500 juta dikenakan tarif sebesar 30%.
Selain itu, NFT bisa saja dikenakan pajak capital gain apabila ada keuntungan dari suatu penjualan. Untuk capital gain jangka pendek (kurang dari 1 tahun) bisa dikenakan pajak dengan tarif PPh biasa. Sementara untuk capital gain jangka panjang (lebih dari 1 tahun) dikenakan pajak mulai dari 0%, 10%, 15%, 25%, 35%, hingga 39,6%. Adapun untuk capital gain jangka panjang, jika masuk kategori sebagai barang koleksi, bisa dikenakan tarif pajak flat sebesar 28%.
Kemungkinan lain, NFT dapat digolongkan sebagai instrumen investasi seperti saham atau aset derivatif lainnya. Dalam skema ini, ada pengenaan PPh final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Saat ini, PPh final di bursa saham dikenakan tarif sebesar 0,1%. Namun, skema untuk NFT sebaiknya mengikuti tarif PPh aset kripto yang sedang diusulkan Bappebti, yaitu sebesar 0,05%.
Selain berpotensi mendapat pengenaan PPh, NFT juga berpotensi dikenakan PPN. Pemajakan ini berlaku apabila NFT dikategorikan sebagai barang kena pajak (BKP) tidak berwujud. Dengan batas omzet tertentu, penjual ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Skema kebijakan itu membuat setiap penjual NFT dapat disebut PKP dan wajib dikenakan PPN sebesar 10%. Berbagai skema pemajakan yang lain tentunya dapat diterapkan dengan mempertimbangkan sifat dan penggunaan NFT di Indonesia.
Di satu sisi, terdapat tantangan yang besar dalam pemungutan pajak, terutama untuk aset-aset digital. Jika ditinjau berdasarkan pada sistemnya yang menggunakan blokchain, NFT ataupun cryptocurrency sangat rentan terhadap penghindaran pajak (Retigg, 2021).
Hal tersebut dikarenakan tidak adanya mekanisme pelaporan informasi yang kuat dalam sistem blokchain. Selain itu, kerahasiaan data membuat otoritas pajak sulit untuk melakukan pengawasan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyimpan catatan terperinci setiap transaksi sebagai bahan pelaporan pajak.
Adanya aset digital seperti NFT yang mulai masuk Indonesia menjadi sinyal positif terciptanya bisnis baru. Dengan demikian, harapannya, muncul sumber-sumber penerimaan pajak yang potensial di masa depan.
Pengenaan pajak atas NFT dapat berkontribusi bagi penerimaan negara. Namun, hal tersebut bukan segalanya. Perlu dilakukan analisis yang mendalam agar kebijakan pemajakan tersebut tidak mengganggu ekosistem bisnis NFT.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.