KANDIDAT KETUA UMUM IKPI 2019—2024 MOCHAMAD SOEBAKIR

‘Mau dengan Siapa Saja, Kita Kuat’

Kurniawan Agung Wicaksono
Senin, 19 Agustus 2019 | 07.00 WIB
‘Mau dengan Siapa Saja, Kita Kuat’

Mochamad Soebakir. 

JAKARTA, DDTCNews – Mengaku mendapat permintaan dari anggota, Mochamad Soebakir kembali maju menjadi kandidat Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) periode 2019—2024.

Sebagai petahana, pria yang pernah berkarier di Ditjen Pajak lebih dari 40 tahun ini ingin melanjutkan perjuangan lima tahun terakhir. Dia mengaku ingin mempersatukan seluruh keluarga IKPI dan menyempurnakan hal-hal yang kurang baik di internal organisasi.

DDTCNews berkesempatan bertemu Managing Partner SBK Tax Consultant tersebut pada pekan lalu di Pengadilan Pajak. DDTCNews mewawancarai dia untuk mengetahui lebih lanjut tentang latar belakang pencalonan diri, rencana program kerja, hingga pandangan mereka terkait kondisi lanskap pajak saat ini. Berikut kutipannya:

Apa yang mendorong Anda untuk maju kembali menjadi kandidat Ketum IKPI?

Jadi begini, setelah lima tahun jadi ketua umum, saya bandingkan dengan kondisi dulu. Dulu, kondisinya belum seperti sekarang karena masih ada beberapa masalah. Masalah pertama, hubungan dengan Ditjen Pajak (DJP) kurang mesra.

Permasalahan itu saya pecahkan dan saya buktikan. Sebulan kemudian [setelah terpilih sebagai Ketua IKPI waktu itu] saya kan harus melantik pengurus pusat. Saat pelantikan, semua direktur [DJP] dan sekteraris diajak. Semua Kepala Kanwil di Jabodetabek juga diajak.

Ini karena saya sama Pak Dirjen Pajak sudah kenal baik sebelumnya, saat saya masih di Persatuan Para Pensiunan Pegawai Pajak (P5). Sekarang dengan Pak Robert juga hubungannya baik. Kita berkali-kali dimintai masukan. [Terkait rencana revisi] Undang-Undang Pajak Penghasilan, Pak Suryo [Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak] juga sudah dua kali ke IKPI.

Kedua, kasus Ruko Fatmawati. Itu yang pengurus lama itu kasihan karena selama tugas lima tahun itu diombang-ambing, dipanggil polisi, dan sebagainya. Pokoknya saya terpanggil. Ini kan [kasusnya] saya selesaikan ya.

Ketiga, ujian sertifikasi. Ini kan digembok dengan PMK 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. Kita tetap dipercaya menjadi pelaksana ujian sertifikasi. Sudah 2016 sampai 2019 kan selesai, diperpanjang lagi 2019—2022. Hasil keuangannya diaudit dan hasilnya WTP [wajar tanpa pengecualian].

Bisa dikatakan Anda maju dengan semangat untuk melanjutkan pekerjaan kemarin?

Iya. Jadi dulu kan waktu saya dan sebelumnya enggak pernah ada hiruk pikuk begini, enggak ada. ini mungkin karena ada begini-begini, RUU [Konsultan Pajak] sudah sampai Prolegnas Prioritas, dan sebagainya mungkin IKPI jadi seksi.

Saya sendiri kaget. Saya sebenarnya sudah tidak ini [mencalonkan diri], tapi datanglah temen-temen ini. Mereka bilang, “Pak, jangan ini [berhenti] Pak. Maju lagi. Wacana yang sudah dipegang nanti ambruk lagi [kalau tidak maju lagi sebagai kandidat Ketum].” Itu permintaan dari anggota.

Saya sebenarnya maunya begitu, sudah biar dilanjutkan yang lain. Namun, ada permintaan dari anggota untuk meneruskan. Itu saya anggap sebagai amanah.

Seberapa urgen RUU Konsultan pajak itu disahkan?

Sebagaimana profesi lain seperti notaris, advokat, dan akuntan publik, konsultan pajak membutuhkan UU tersendiri. Ini akan memberikan kepastian hukum profesi sehingga ada ketegasan dalam beberapa aspek profesi ini. Ini akan menjadi pegangan. Dengan payung hukum yang lebih kuat, diharapkan ada kejelasan dari sisi hak dan kewajiban konsultan pajak dalam menjalankan profesinya.

Menurut Anda, apakah draf yang ada sudah ideal?

Kalau RUU Konsultan Pajak, perlu diketahui bahwa itu inisiatornya DPR. Kita ini sama dengan yang lain-lain, sama. Hanya, terus terang saja, DPR cenderung ke kita. Karena apa? Yang tahu konsultan pajak itu kita. Sampai dibandingkan, RUU kita sama RUU sana [DPR] yang ada. Bagus masukan dari kita.

Oleh karenanya, usul-usul IKPI banyak ditampung sana. Sana [DPR] cocok sehingga jadilah RUU ini. Saya, supaya mendapatkan masukan dari yang lain, selalu membuat seminar nasional. Jadi yang ngomong [di seminar] itu inisiator dan masyarakat. Dulu kalau mau usul, mumpung belum final, bisa dimasukan. Namun, ternyata enggak ada [usulan].

Begitu sudah sampai tahap ini, baru ribut. Ya bisa saja nanti masukkan di pemerintah. Kan nanti akan berhadapan. Pemerintah harus digandeng, tapi kalau mulai dari ini [memberikan masukan lagi dari awal] ya susah.

Ada kekhawatiran RUU Konsultan Pajak ini bakal mengembalikan sistem monopoli. Bagaimana tanggapan Anda?

Jadi begini, sebenarnya kita [mempunyai wadah tunggal konsultan pajak] ini bukan sekarang ini saja. [Sistem dalam] RUU itu sudah 15—20 tahun yang lalu. Nah, selama ini kita ini kan sebagai anggota AOTCA [Asia Oceania Tax Consultants Association], persatuan konsultan pajak seluruh asia pasifik. Ada di sana antara lain Jepang. Kita ini sebenarnya persis Jepang. Kalau di Indoensia apa ada yang satu wadah? Ada, seperti IAI [Ikatan Akuntan Indonesia]. Justru undang-undang kita ini begitu. Baleg atau DPR itu melihat begitu [membuat wadah tunggal].

Selain itu, [ketentuan] ini sebenarnya [sama dengan] sebelum PMK 111/PMK.03/2014. Hanya PMK 111 ini yang lain, lebih dari satu [wadah organisasi profesi]. Sebelumnya, berpuluh-puluh tahun sama ini, tidak boleh asing, juga sama.

Karena ini sudah sampai serius begini, mungkin banyak yang merasa, “Wah saya kena ini nanti.” Jadi perjuangan untuk mengubah. Mengubah supaya jangan satu-satunya [wadah organisasi profesi] dan soal ketentuan konsultan asing. Pokoknya mau mengubah RUU Konsultan Pajak.

Apakah dapat dikatakan idealnya hanya ada satu wadah organisasi profesi?

Iya, idealnya organisasi profesi hanya satu. Itu lebih kuat menghadapi siapapun karena bersatu. Jadi, mau dengan siapa saja, kita kuat. Namun, kalau terpecah-belah banyak, enggak kuat. Kalau saya, iya, hanya satu wadah. Saya terus terang santai saja. siapapun yang jadi saya dukung. Saya justru kemana-mana ngomong sama orang IKPI, enggak usah ini itu, semua temen juga. Siapapun yang menang kita harus dukung.

Ada pendapat draf RUU Konsultan Pajak kemarin tidak melibatkan stakeholder terkait. Bagaimana menurut Anda?

Saya enggak tahu pastinya, inisiatornya DPR. DPR sudah memberi kesempatan, kenapa enggak dimasukkan pada waktu itu? Harusnya Pak Misbakun dipanggil ke Kadin dan stakeholder lainnya atau bagaimana lah. Sudah begini kok baru ngomong. Yang ngomong jangan-jangan bukan Kadinnya. Saya kan juga hubungan baik sama Ketua Kadin, Ketua Apindo, dan lainnya.

Ini kan terbuka atas usulan. Kita juga sudah mengadakan seminar itu dimana-mana, setahun lebih. Kalau mau menanggapi, ya sudah saat itu. Jadi, menurut saya suasananya sudah lain dan maaf, bukan IKPI yang punya hajat tapi DPR.

Saya ini sama dengan yang lain, sebagai narasumber kalau diminta diadakan rapat dengar pendapat. Kami beberapa kali dipanggil dan ditanya, “Ini maksudnya apa Pak. Kalau IKPI pendapatnya bagaimana?” Saya sama dengan beliau-beliau ini, stakeholder. Bukan saya yang buat RUU. Nah, inilah yang sering, ya anak-anak muda ini kan belum tahu. Nah, ini perlu diketahui.

Tapi ya bagi saya, yang sekarang berjuang itu dulu juga duduk dalam pengurusan. Dia berjuang, memperjuangkan yang seperti RUU ini. Kenapa sekarang kok berubah? Sayang kan? Kalau sudah sikap dari organisasi, di mana dia juga pengurus, ya harus didukung.

Dengan maju lagi sebagai Ketum IKPI, apakah ada jaminan pengesahan RUU Konsultan Pajak lebih cepat?

Enggak bisa jamin. Apalagi ini [DPR] mau ganti.

Apa program kerja yang Anda tawarkan jika terpilih?

Pertama, ini kan ada kongres. Kongres itu ada tiga hal selain pemilihan ketum, yakni pembahasan AD/ART, kode etik standar profesi, dan program kerja. Sesuai dengan AD/ART kita, ketua umum terpilih wajib melaksanakan program kerja yang ditentukan kongres karena kongres itu tertinggi. Jadi, saya program kerjanya melaksanakan seluruh program kerja dari kongres.

Kedua, apabila belum dimasukkan, program kerjanya tambah, yaitu melanjutkan perjuangan RUU Konsultan Pajak menjadi undang-undang. Ketiga, ini kan udah saya rintis yaitu website IKPI. Jadi, live streaming seluruh Indonesia sudah bisa lihat.

Ini mau saya kembangkan sehingga saya bisa mendeteksi tiap-tiap anggota, apakah sudah tertib bayar iuran, apakah ada kendala, apakah ada masalah, dan sebagainya. Jadi, saya melayani dengan baik tapi juga menumbuhkan kesadaran kalau itu kewajiban juga harus dibayar.

Aspek apa saja yang urgen untuk dibenahi di internal IKPI?

Saya ingin mempersatukan seluruh keluarga IKPI. Saya juga ingin menyempurnakan hal-hal yang kurang baik kemarin, tapi yang utama melaksanakan program kerja yang diputuskan Kongres. Itu kemarin waktu saya diangkat di Makassar kan ada 11 [program kerja], tuntas 11, malahan tambah-tambah. Ya ini amanah kepada saya.

Dengan perkembangan lanskap pajak baik global maupun domestik, bagaimana seharusnya respons konsultan pajak dan otoritas pajak?

Pertama, konsultan pajak itu harus dapat mengikuti kemajuan teknologi informasi dan sebagainya. Harus bisa. Kedua, di mana ada perubahan aturan, konsultan pajak harus berusaha untuk menyampaikannya kepada publik. Tidak mungkin didiemin saja.

Ketiga, undang-undang kita itu sudah ketinggalan. Ini harus diubah. Nanti kalau tidak diubah, enggak bisa ngenain pajak loh. Sebab kita masih seperti dulu ada subjek dan objek, baru bisa [mengenakan pajak]. Sekarang, ada barang, siapa yang jual enggak ngerti. Jangan ditunggu-tunggu.

Saya 40 tahun lebih di [Ditjen] Pajak, terus sekarang jadi konsultan. Sebelumnya juga jadi wajib pajak. Jadi, tahu kan ya masalahnya. Jangan sampai ketinggalan [mengubah regulasi]. Kalau ketinggalan, untuk menyusulnya susah. India itu undang-undangnya sudah diubah. Cepat dia. Kita jangan kalah.

Menurut Anda, apa itu pajak?

Pajak itu kayak gotong royong semua warga untuk kemakmuran bersama, untuk membiayai negara di dalam melaksanakan tugasnya. Makanya, kalau pemilihan presiden, pemilih gubernur itu harusnya SPT-nya diungkap. Jadi kalau cacat jangan [dipilih]. Makanya, perlu ada KPP khusus untuk itu harusnya.

Bagaimana Anda menggambarkan hubungan DJP, konsultan pajak, dan wajib pajak?

Jadi yang satu berhak memungut, yang satu wajib bayar, tapi semua harus sesuai undang-undang. Undang-undang ini, pajak itu cepat berubah. Nah, ini harus punya pendamping yang membantu, yaitu konsultan pajak. Semua bermuara untuk membiayai pengeluaran negara dalam rangka pemerintahan dan pembangunan.

Konsultan pajak juga bilang ke DJP agar operasionalnya bisa lebih baik atau undang-undangnya segera direvisi. Jadi, konsultan pajak itu jembatan antara keduanya. Sebagai jembatan harus pintar. Kalau jembatannya bodoh, ya payah. Makanya saya bilang, [anggota] IKPI itu harus pintar, kalau perlu lebih pintar dari DJP. Kita ada PPL [pengembangan profesional berkelanjutan]. Sekarang anak-anak IKPI pintar-pintar.

Apa prinsip dalam hidup yang masih Anda pegang teguh sampai sekarang?

Cinta Tanah Air. Selain itu, prinsip kalau bisa bantu orang, kalau enggak bisa diem saja. Lalu, di dunia, kita itu enggak lama, sebentar, nanti yang dituju itu di sana [akhirat]. Kita mau pengadilan saja bawa bawa bekel, apalagi untuk k sana selama-lamanya.

Jadi, berlomba-lombalah berbuat kebajikan, kebaikan. Banyak-banyaklah menolong orang. Kalau bisa. Kalau enggak [bisa menolong], diem saja. Jadi, saya di IKPI itu juga berusaha baik, tapi soal diterima orang, itu posisi kedua. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.