KETIKA seorang teman, anggota keluarga, atau diri sendiri menikah, ucapan yang lazim terdengar biasanya adalah ‘selamat menempuh hidup baru’. Tak bisa dimungkiri, banyak hal berubah setelah seseorang menikah, sehingga seakan-akan mereka akan menjalani hidup baru.
Hal yang berubah itu mulai dari cara mengelola keuangan, cara membagi waktu, kebiasaan sehari-hari, jam pulang ke rumah, termasuk kewajiban perpajakannya, terutama dalam hal kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan menjelaskan hak dan kewajiban perpajakan perempuan menikah/istri wajib digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Dengan kata lain, NPWP istri harus digabung ke NPWP suami, bukan sebaliknya, NPWP suami digabung ke istri. Tentu bukan tanpa sebab kenapa NPWP suami dan istri dijadikan satu. Hal ini karena sistem administrasi pajak di Indonesia menempatkan suami dan istri sebagai satu kesatuan ekonomis.
Tidak Ada Transaksi
ITU berarti, dengan penggabungan tersebut, tidak ada lagi transaksi antara istri dan suami, atau sebaliknya. Dengan kata lain, tidak ada pajak di antara suami dan istri. Kalau dengan orang tua, tante, atau bahkan anak sendiri, masih bisa ada transaksi, dan karena itu terkena kewajiban perpajakan.
Meski begitu, istri bisa memilih untuk memiliki NPWP terpisah dengan suami. Hal ini terjadi apabila suami dan istri hidup terpisah berdasarkan putusan hakim, keduanya memiliki perjanjian pemisahan penghasilan dan harta (perjanjian pisah harta), atau mereka memang ingin terpisah.
Lantas, kalau pasangan yang menikah tadi, bagaimana cara menggabungkan NPWP istri ke NPWP suami? Istri yang mempunyai NPWP dapat bergabung dengan NPWP suaminya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan penghapusan NPWP ke kantor pajak tempat istri terdaftar.
Dalam hal istri mengajukan penghapusan NPWP, jangan lupa menyertakan juga kartu NPWP (istri) yang akan dihapus, fotokopi buku nikah, kartu keluarga, NPWP suami, dan surat pernyataan tidak menjalankan perjanjian pisah harta.
Istri juga tetap bisa memegang NPWP, yaitu NPWP suami, dengan meminta ke kantor pajak tempat NPWP suami terdaftar, dan mengisi formulir permohonan cetak kartu NPWP suami untuk istri, serta melampirkan fotokopi KTP suami dan istri, Kartu Keluarga, dan NPWP suami.
Inilah bedanya NPWP dan KTP. Kalau KTP suami dan istri tidak bisa digabung, kalau NPWP bisa. NPWP suami istri yang sudah bergabung tadi ada manfaatnya, terutama bagi istri. Manfaatnya antara lain istri tidak perlu repot lagi mengurus kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Suamilah yang wajib mengisi dan melaporkan SPT. Selain itu, manfaat lain penggabungan NPWP suami-istri tadi adalah terhindar dari pajak penghasilan (PPh) terutang. Sebab jika tidak digabung, hasil perhitungan penghasilan suami dan istri dihitung terpisah, baru kemudian digabungkan.
UTANG PAJAK
HAL ini acap terjadi pada suami-istri yang NPWP-nya terpisah. Utang pajak muncul karena penggunaan PTKP yang berbeda. Misalkan suami-istri dan 2 anak dengan NPWP terpisah dengan penghasilan neto Rp100 juta dan Rp80 juta (total Rp180 juta), PTKP-nya K/1/2 senilai Rp121,5 juta.
Karena itu, sisa penghasilannya Rp58,5 juta terkena dua tarif, 5% untuk Rp50 juta dan 15% sisanya. Namun, jika bergabung, yang dihitung hanya penghasilan suami Rp100 juta dengan PTKP K/2 67,5 juta. Sisanya Rp32,5 juta, pajaknya dibayar pemberi kerja. Penghasilan istri dilampirkan dengan pajaknya.
Dengan demikian, pada NPWP suami dan istri yang digabung, pajaknya nihil karena sudah dibayar oleh pemberi kerja. Namun, jika NPWP-nya terpisah, akan muncul basis PTKP yang berbeda, sehingga muncul utang pajak Rp472.222 untuk suami dan Rp377.778 untuk istri. Anda pilih mana? (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.