SUTAN SJAHRIR:

'Negara Harus Membuat Aturan Pajak Progresif'

Redaksi DDTCNews
Kamis, 19 Desember 2019 | 16.02 WIB
'Negara Harus Membuat Aturan Pajak Progresif'

(Dari kiri) Tritunggal Sutan Sjahrir, Soekarno dan M. Hatta.

FEBRUARI 1932, seorang bujangan tanggung 23 tahun yang baru pulang dari Eropa menulis artikel panjang di Majalah Daulat Ra’jat. Judul artikel itu Barisan Persatoean Baroe. Dalam artikel tersebut, ia memaparkan cara agar pemerintah dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Ada paling tidak 9 cara yang diajukannya. Pertama, negara harus menetapkan standar penghidupan minimum. Kalau zaman sekarang, ini semacam standar Kehidupan Hidup Layak (KHL) yang ditetapkan Dewan Pengupahan, yang menjadi acuan pemerintah dalam menetapkan upah minimum.

Kedua, negara menetapkan batas upah untuk memenuhi keperluan hidup secara sederhana. Inilah yang kini disebut dengan upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK). Ketiga, bersamaan dengan itu, negara menetapkan besaran pesangon atau uang pensiun.

Keempat, negara membebaskan pajak bagi pekerja yang penghasilannya minim karena hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sederhana bagi keluarganya. Ini persis dengan konsepsi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kelima, negara menetapkan waktu kerja 8 jam per hari.

Keenam, negara melarang anak di bawah 15 tahun menjadi pekerja. Ketujuh, negara menjamin perempuan hamil untuk tidak bekerja. Kedelapan, negara menetapkan uang pengganti untuk ongkos berobat bagi pekerja. Kesembilan, negara menetapkan ekstra gaji bagi buruh yang kecelakaan.

Anak muda ini juga menyebut 7 tugas lain negara untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial itu. Pertama, negara menetapkan pajak seiring besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan, semakin besar pula pajaknya. “Negara harus membuat aturan pajak progresif,” tulisnya.

Kedua, negara membuat undang-undang tentang keselamatan kerja. Ketiga, negara menetapkan batas upah minimum bagi pekerja. Keempat, negara menghapus hukuman sanksi rodi dan segala bentuk kerja paksa. Kelima, negara merilis undang-undang antiriba.

Keenam, negara mewajibkan semua orang menyekolahkan anak-anaknya dan membebaskan uang sekolah untuk anak-anak miskin sampai usia 15 tahun. Ketujuh, negara memerangi buta huruf melalui pengurusan rakyat dan pendidikan umum seluas-luasnya.

“Negara mengadakan berbagai macam pajak terhadap kaum hartawan serta kaum berpendapatan besar, dan hasil yang diperoleh dari pajak itu digunakan untuk menjamin rakyat banyak, antara lain kaum buruh, dengan diadakannya berbagai jaminan tadi,” katanya.

Tak pelak, artikel itu pun menjadi meriam pelontar kritik tajam. Ketika itu, 29 Februari 1932, Indonesia masih terpapar awan panas akibat depresi besar yang bermula di Wall Street, Amerika Serikat. Harga-harga komoditas pertanian dan perkebunan andalan Hindia Belanda anjlok.

Pada 1930, harga produk ekspor sudah turun 28%, lalu anjlok lagi 25% pada 1931. Dibarengi defisit neraca Hindia Belanda, volume ekspor susut 17%. Penerimaan ekspor terjerembab 37%. Ancaman meluasnya pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sudah di depan mata.

Dalam artikel itu, pemuda dengan tinggi hanya 145 cm dan berat 45 kg ini mendesak berbagai agenda yang absen dalam program Pemerintahan Gubernur Jenderal De Jong. Kritiknya kian meluas setelah 4 bulan kemudian ia memimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).

Begitu Mohammad Hatta kembali dari Belanda 2 bulan berikutnya, ia mempersilakan seniornya itu memimpin PNI Baru, dan ia duduk sebagai wakilnya. Pemerintah kolonial menganggap gerakan ini lebih intelek dan berbahaya ketimbang PNI Soekarno yang mengandalkan mobilisasi massa.

Karena itu, ia terus diwaspadai, diikuti polisi, dan dilaporkan pidatonya, hingga akhirnya pada Februari 1934, bersama Hatta dan pemimpin PNI Baru lainnya, ia ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Boven Digul, lalu berlanjut ke Banda Neira, dan Sukabumi, sampai Jepang datang pada 1942.

Sutan Sjahrir, penyuka sepakbola dan drama yang lihai bermain biola ini akhirnya turut mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Bahkan, 2 hari lebih cepat dari Soekarno yang mengucapkan proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Ia mengucapkannya di Cirebon.

Pada usia 36 tahun, ia menjadi perdana menteri pertama, lalu merancang internasionalisasi konflik Indonesia-Belanda. Tak lama setelah agresi militer pertama Belanda pada 21 Juli 1947, atas usul India-Australia, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar sidang 14 Agustus 1947.

Pidatonya dalam sidang tersebut dimulai dengan kejayaan masa lalu Indonesia saat masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebaliknya, penjajahan Belanda selama 3,5 abad disusul Jepang selama 3,5 tahun memberikan gambaran kontras dari kejayaaan itu.

Akan tetapi, argumen Sjahrir sebenarnya tak beringsut dari satu titik: Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati. Untuk itu, ia meminta PBB menengahi konflik Indonesia-Belanda, dan mengeluarkan putusan untuk memaksa pasukan Belanda mundur dari daerah republik.

“Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap pada pernyataan terakhir saya, di mana Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati. Ketimbang membantah pernyataan saya, pihak Belanda justru mengajukan tuduhan yang tak terbukti,” katanya.

Harian New York Herald Tribune menabalkan pidato Sjahrir tersebut sebagai ‘salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan’. Dari situ pula dukungan dunia internasional mengalir. Bukan hanya dari sahabat seperti India, Filipina, Australia, dan Suriah, tapi juga dari Rusia dan Polandia.

Sayang, kita tahu akhir hidupnya. Pada 1962, setelah Soekarno membubarkan partainya, Partai Sosialis Indonesia, ia ditangkap, dan tanpa diadili lalu ditahan sampai 1965, ketika peletak dasar diplomasi bebas aktif ini bertolak ke Zurich, Swiss, untuk berobat akibat terkena stroke dua kali.

“Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka,” kata Hatta saat mengantarkan pemakamannya, 19 April 1966. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.