dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
MOMENTUM sejarah acap datang secara tak terduga. Ia seperti koinsidensi dari berbagai peristiwa. Siapa yang menyangka seseorang yang datang dari keluarga biasa, memilih tinggal di desa, bisa terpilih sebagai pemimpin organisasi yang menyiapkan pembentukan sebuah negara?
Ia jelas bukan orang biasa. Ia dari kampung, tapi pada 19 tahun sudah lulus sebagai dokter jiwa dari Dokter Djawa School. Setelah itu ia bertugas di Batavia, Banyumas, Purworejo, Semarang, dan Madiun, lalu melanjutkan ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia.
Kemudian ia terbang ke Universitas Amsterdam, Belanda, dan meraih gelar dokter. Ia juga mampir ke Berlin, Jerman, belajar kebidanan dan kandungan, kembali ke Amsterdam mengkaji rontgen, lalu memperdalam kembali kebidanan dan bedah organ reproduksi di Paris, Perancis.
Tak hanya itu, ia juga memimpin Boedi Oetomo, aktif di Indische Vereeniging di Belanda, menjadi anggota Volksraad, mendirikan koran tengah bulanan Timboel, mendirikan Partai Indonesia Raya, meminati kebatinan dan kebudayaan Jawa, serta menjadi anggota Theosofi-Freemasonry.
“Orang Jawa tidak perlu mengikuti kebudayaan Eropa, karena yang terbaik bagi orang Jawa adalah menjalankan kebudayaan asli daerahnya,” katanya saat berpidato pada Kongres I Boedi Oetomo di Yogyakarta, ketika ia berseberangan pendapat dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Ia memang bukan orang biasa. Pada usia 66 tahun, ia dipilih Jepang memimpin Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia adalah tokoh pergerakan paling senior di organisasi yang menghimpun founding fathers Republik Indonesia itu.
Tidak seperti Amerika Serikat yang seluruh founding fathers-nya, penandatangan deklarasi kemerdekaan yang dipimpin Thomas Jefferson dkk, berkulit putih dan Protestan, di Indonesia, organisasi yang dipimpin dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat itu adalah ‘tamansari’-nya Indonesia.
Ada berbagai suku, agama, dan ideologi di BPUPKI. Tidak hanya Islam, tetapi juga Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu. Tak hanya Jawa, tetapi juga Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali, juga Arab dan Tionghoa. Sungguh, betapa beragamnya, betapa tak mudahnya.
Tapi itulah. Dalam tenggat yang mepet, ia berhasil mengompromikan berbagai pendapat di forum perdebatan BPUPKI yang ingar itu. Bukan sekadar mencari titik temu, ia juga mengajukan pertanyaan jitu, yang kelak melahirkan apa yang kita kenal sekarang dengan Pancasila.
“Saya akan menepati permintaan Paduka Tuan Ketua Yang Mulia. Apa permintaan Paduka Tuan Ketua Yang Mulia? Paduka Tuan Ketua Yang Mulia meminta sidang mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Dasar inilah nanti saya kemukakan dalam pidato saya,” kata Bung Karno, 1 Juni 1945.
“Philosofische grondslag,” kata Bung Karno mengawali pidato yang kelak disebut sebagai pidato kelahiran Pancasila. “Itulah fundamen, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal, yang abadi.”
Orang yang disebut Paduka Tuan Ketua Yang Mulia itu hanya diam. Tapi kita tahu, betapa jelinya pertanyaan itu. Kejelian itu pula yang terlihat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar, pada 12 Juli 1945, ketika ia mengusulkan agar pemungutan pajak harus diatur hukum.
Usulan tersebut kemudian diadopsi Bung Hatta, Ketua Panitia Bidang Ekonomi dan Keuangan BPUPKI, yang menuliskannya dalam selembar kertas berjudul ‘Hal Keuangan’. Dari selembar kertas itulah kelak lahir pasal-pasal mengenai keuangan negara dalam UUD 1945.
Tapi pasti bukan karena visi yang jauh ke depan itu ia kemudian seperti dilupakan, terutama setelah Orde Lama dan Orde Baru, karena alasan politik, melarang Freemason melalui Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, sebelum akhirnya dicabut Presiden Abdurrahman Wahid.
Gelar pahlawan baru diraihnya 2013, wakilnya di BPUPKI R.P Soeroso sudah menggenggamnya 27 tahun sebelumnya. Gedung dan jalan yang dinamai namanya bisa dihitung jari. Tapi pertanyaannya tentang dasar negara, dan usulannya tentang pajak di BPUPKI niscaya akan tetap hidup. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.