TINDAKAN penyidikan di bidang perpajakan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti. Pengumpulan bukti tersebut bertujuan untuk membuat terang atau jelas serta dapat ditemukan tersangkanya. Lantas, apa saja jenis dan kelompok barang bukti terkait tindak pidana perpajakan?
Dalam penyidikan pajak, biasanya dilakukan penyitaan dan pengolahan terhadap barang bukti, bahan bukti, dan/atau alat bukti. Sebelum menguraikan jenis barang bukti dalam tindak pidana di bidang perpajakan, perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari barang bukti, bahan bukti, dan alat bukti.
Berdasarkan pada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-06/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (SE-06/2014), barang bukti merupakan bahan bukti yang telah disortir menurut macam, jenis, maupun jumlahnya, yang disita oleh penyidik pajak untuk digunakan sebagai sarana pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana di bidang perpajakan.
Bahan bukti sendiri diartikan sebagai benda berupa buku termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online, catatan, dokumen, keterangan dan/atau benda lainnya.
Bahan bukti tersebut merupakan dasar, sarana dan/atau hasil pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha atau pekerjaan wajib pajak atau orang lain yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Sementara itu, alat bukti dimaknai sebagai barang bukti yang sudah diolah dan memiliki kekuatan serta penilaian dalam hukum pembuktian.
Merujuk pada lampiran SE-06/2014, barang bukti dalam tindak pidana di bidang perpajakan antara lain akta pendirian, anggaran dasar, anggaran rumah tangga beserta perubahannya; surat pemberitahuan (SPT), laporan keuangan, laporan audit; surat setoran pajak; perjanjian, kesepakatan, pernyataan, tax planning, dan faktur pajak.
Kemudian, invoice, voucer/dokumen sumber, notula rapat, surat pengukuhan pengusaha kena pajak, rekening koran bank, bukti setoran bank, kuitansi, aliran barang, aliran uang, serta dokumen ekspor dan impor juga dapat menjadi barang bukti dalam sengketa pidana perpajakan.
Adapun dokumen ekspor dan impor meliputi pemberitahuan ekspor barang, pemberitahuan impor barang, telegraphic transfer, bill of lading, letter of credit, serta outward dan inward manifest.
Selain itu, yang termasuk barang bukti lainnya dalam tindak pidana di bidang perpajakan ialah struktur organisasi, standard operating procedures (SOP), keterangan pihak ketiga, berita acara pemeriksaan saksi, dan keterangan ahli.
Pada proses penyidikan pajak, penyidik pajak diwajibkan menemukan barang bukti yang dapat diolah menjadi alat bukti sehingga dapat meyakinkan hakim dalam memutus perkara pidana perpajakan. Untuk memperkuat pembuktian tindak pidana di bidang perpajakan, pihak penyidik pajak setidaknya harus memperoleh minimal dua alat bukti yang sah.
Namun demikian, dengan mempertimbangan kemungkinan alat-alat bukti tersebut gugur dalam proses persidangan di pengadilan, penyidik pajak harus dapat memperoleh sebanyak-banyaknya barang bukti untuk dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Berdasarkan pada Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk membuktikan tindak pidana di bidang perpajakan. (kaw)