SAAT ini, kontribusi cukai terhadap penerimaan negara cukup signifikan. Hal ini terlihat dari target dan realisasi penerimaan cukai yang selalu meningkat tiap tahunnya. Pada 2020, ketika ada pandemi Covid-19, realisasi penerimaan cukai melebihi target yang ditetapkan dan tumbuh 2,3% dari capaian tahun sebelumnya.
Sebagai salah satu instrumen penerimaan, ketentuan mengenai pelunasan cukai telah diatur pemerintah, baik dalam undang-undang maupun aturan pelaksananya. Lantas, seperti apa pengaturannya?
Tata cara pelunasan cukai diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai (UU Cukai) beserta aturan pelaksananya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.04/2018 tentang Pelunasan Cukai (PMK 68/2018).
Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) UU Cukai, untuk BKC yang dibuat di Indonesia, pelunasan cukai dilakukan pada saat pengeluaran BKC dari pabrik atau tempat penyimpanan. Sementara itu, pelunasan cukai atas BKC impor dilakukan ketika BKC tersebut diimpor untuk dipakai.
Pelunasan terjadi sebelum BKC dikeluarkan dari pabrik, tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, atau tempat pembuatan BKC di luar negeri. Sesuai dengan Pasal 3 PMK 68/2018, terdapat 3 cara pelunasan cukai.
Pertama, pembayaran. Pelunasan cukai dengan cara pembayaran dilakukan atas BKC berupa etil alkohol (EA) dan minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) yang dibuat di Indonesia dengan kadar etil alkohol sampai dengan 5%.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) PMK 68/2018, pelunasan cukai atas kedua BKC tersebut dilakukan dengan menggunakan dokumen cukai untuk pelunasan dengan cara pembayaran yang paling sedikit memuat identitas perusahaan, jumlah dan jenis barang kena cukai, serta jumlah cukai yang harus dibayar.
Adapun pelunasan cukai dengan cara pembayaran untuk EA impor menggunakan dokumen kepabeanan yang dapat juga dianggap dokumen cukai. Dalam hal pengusaha pabrik mendapat kemudahan pembayaran secara berkala, ketentuan pembayaran cukai secara tunai atas BKC dapat dikecualikan.
Kedua, pelekatan pita cukai. Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 52/PMK.04/2020 tentang Bentuk Fisik, Spesifik, dan Desain Pita Cukai (PP 52/2020), pita cukai memiliki bentuk fisik, spesifikasi, dan desain tertentu. Bentuk fisik pita cukai tersebut dapat berupa kertas yang memiliki sifat atau unsur sekuriti.
Selain itu, spesifikasi pita cukai paling sedikit berupa kertas sekuriti, hologram sekuriti, dan cetakan sekuriti. Sementara desain pita cukai paling sedikit memuat lambang Negara Republik Indonesia, lambang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tarif cukai, angka tahun anggaran, dan harga jual eceran dan/atau jumlah isi kemasan.
Lebih lanjut, pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai dilakukan dengan melekatkan pita cukai yang seharusnya. Pelekatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang cukai. Merujuk pada Pasal 5 PMK 68/2018, pelunasan cukai dengan pelekatan pita cukai dilaksanakan atas BKC berupa MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kada EA lebih dari 5%, MMEA yang diimpor untuk dipakai dalam daerah pabean, dan hasil tembakau.
Selanjutnya, Pasal 6 PMK 68/2018 mengatur juga pelekatan pita cukai pada kemasan penjualan eceran untuk MMEA yang dibuat di Indonesia dengan kadar EA lebih dari 5% dilakukan di dalam pabrik. Sementara MMEA yang berasal dari impor dilakukan pelekatan pita cukai di negara asal BKC, tempat penimbunan sementara, atau tempat penimbunan berikat.
Pita cukai yang dilekatkan pada kemasan penjualan eceran MMEA harus memenuhi syarat dan ketentuan pada Pasal 6 ayat (2) PMK 68/2018. Adapun 7 syarat yang dimaksud ialah sebagai berikut:
Adapun ketentuan pelekatan pita cukai untuk BKC berupa hasil tembakau yang dibuat di Indonesia atau yang diimpor memiliki kesamaan aturan untuk EA dan MMEA. Jika pita cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan ketentuan di atas maka cukai dianggap tidak dilunasi.
Ketiga, pelunasan cukai dengan cara pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya. Cara pelunasan ini dilakukan dengan membubuhkan tanda pelunasan cukai lainnya sesuai dengan peraturan di bidang cukai, antara lain barcode dan hologram.
Penjelasan Pasal 7 ayat (3c) menyebutkan untuk BKC yang dibuat di Indonesia, pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya harus dilakukan sebelum barang kena cukai dikeluarkan dari pabrik. Sementara untuk BKC yang diimpor, pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya harus dilakukan sebelum BKC diimpor untuk dipakai. (kaw)