PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA (3)

Mengapa Surat Paksa Bisa Sampai Diterbitkan? Ini Alasannya

Redaksi DDTCNews
Kamis, 15 Oktober 2020 | 15.10 WIB
Mengapa Surat Paksa Bisa Sampai Diterbitkan? Ini Alasannya

SURAT paksa merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan otoritas pajak untuk menagih utang pajak kepada seorang penanggung pajak. Upaya tersebut terbilang lebih keras ketimbang upaya-upaya sebelumnya.

Hal tersebut dikarenakan sifat surat paksa yang tidak dapat lagi dimintakan banding dan harus dipatuhi oleh penanggung pajak agar tidak dilakukan penyitaan terhadap propertinya. Lantas, apakah yang menyebabkan otoritas pajak melakukan upaya demikian terhadap penanggung pajak?

Seperti halnya upaya penagihan pajak lainnya, alasan utama dilakukannya penagihan pajak dengan surat paksa adalah karena penanggung pajak masih belum juga melunasi utang pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang.

Namun, alasan yang membedakan adalah penagihan pajak dengan surat paksa baru dapat dilakukan jika otoritas pajak telah melakukan beberapa upaya penagihan pajak sebelumnya. Artinya, penagihan pajak dengan surat paksa tidak dapat dilakukan terhadap seorang penanggung pajak jika terhadapnya belum sekalipun dilakukan upaya penagihan pajak oleh otoritas pajak.

Sesuai dengan Materi nomor 1 huruf b Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-01/PJ/2020 tentang Pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang Menjadi Kewajiban Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (SE-01/2020), terdapat tahapan tindakan penagihan pajak yang dapat dilakukan oleh otoritas pajak terhadap seorang penanggung pajak, yaitu:

  1. menerbitkan surat teguran atau surat lainnya yang sejenis;
  2. melakukan penagihan seketika dan sekaligus;
  3. memberitahukan surat paksa;
  4. melakukan penyitaan barang milik penanggung pajak;
  5. melakukan penjualan barang milik penanggung pajak yang telah disita;
  6. mengusulkan pencegahan;
  7. melakukan penyanderaan.

Ketentuan dalam SE-01/2020 tersebut juga senada dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) yang berbunyi sebagai berikut:

Surat Paksa diterbitkan apabila:

  1. penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
  2. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
  3. penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.”

Dengan kata lain, otoritas pajak hanya dapat melakukan penagihan pajak dengan surat paksa jika sebelumnya telah dilakukan upaya teguran/peringatan terhadap penanggung pajak atau penanggung pajak tidak memenuhi kesepakatan pengangsuran/penundaan pembayaran pajak.

Ketentuan selanjutnya diperinci dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008  tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (PMK 24/ 2008).

Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, surat paksa diterbitkan oleh pejabat jika jumlah utang pajak masih belum dilunasi oleh penanggung pajak setelah melewati batas waktu yang ditentukan. Adapun batas waktu tersebut adalah 21 hari terhitung sejak tanggal disampaikannya surat teguran dan diberitahukan secara langsung oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak.

Oleh karena itu, terdapat jangka waktu tertentu bagi otoritas pajak untuk dapat menerbitkan surat paksa terhadap seorang penanggung pajak setelah dilakukannya teguran. Selain didahului surat teguran, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf c UU PPSP, penerbitan surat paksa juga dapat dilakukan apabila penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak yang telah disepakati.

Sementara itu, yang dimaksud dengan keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak adalah permohonan yang dapat diajukan untuk memberikan kemudahan kepada penanggung pajak yang sedang mengalami kesulitan likuiditas atau sedang dalam keadaan lainnya yang membuatnya belum dapat melunasi pembayaran pajak sesuai dengan kewajibannya.

Jika permohonan tersebut disetujui, penanggung pajak dapat melakukan pembayaran dengan dua cara. Pertama, mengangsur, yakni membayar pajak secara menyicil. Kedua, menunda, yakni dengan mengundurkan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak dari tanggal yang semestinya.

Apabila penanggung pajak tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati maka otoritas pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat paksa. (faiz) *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.