UNIFIKASI SPT masa pajak penghasilan (PPh) santer diberitakan akhir-akhir ini. Sebagai upaya penyederhanaan administrasi pajak – dalam konteks reformasi perpajakan – Ditjen Pajak (DJP) tengah bersiap melakukan unifikasi SPT masa PPh.Â
Proses unifikasi ini menyasar SPT masa yang dilaporkan oleh wajib pajak (WP) badan atau orang pribadi yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak (pot/put). Saat ini, proses unifikasi SPT masa sudah diujicobakan (piloting) dengan PT Pertamina (Persero).
Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan unifikasi SPT masa?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan unifikasi sebagai hal menyatukan atau hal menjadikan seragam. Unifikasi sebagai proses penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara lain dengan jalan pembaharuan, kodifikasi, dan hukum. Secara lebih luas, unifikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), surat pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sederhananya, SPT merupakan sarana bagi WP untuk melaporkan kewajiban pajaknya. UU KUP juga mengklasifikasikan SPT menjadi dua jenis, yaitu SPT tahunan dan SPT masa. Dari namanya sudah terlihat perbedaan dua klasifikasi SPT itu terletak pada waktu pelaporan. SPT tahunan dilaporkan secara tahunan, sedangkan SPT masa dilaporkan pada masa (bulan) tertentu.
SPT tahunan terdiri atas dua jenis, yaitu SPT tahunan PPh WP orang pribadi (OP) dan PPh WP badan. Kemudian, untuk SPT tahunan WP OP diklasifikasikan menjadi 3 jenis formulir, yaitu, SPT Tahunan OP 1770, 1770 S, dan 1770 SS. Namun, untuk SPT tahunan badan hanya memiliki satu jenis saja.
Nah, untuk jenis SPT masa, secara garis besar mencakup SPT masa untuk PPh, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan untuk pemungut PPN. Khusus untuk PPh, beradasarkan UU PPh, ada 6 jenis SPT Masa yang penamaannya berdasarkan nomor pasal dalam peraturan tersebut.
Pertama, SPT masa PPh Pasal 21/26. Kedua, SPT masa PPh Pasal 22. Ketiga, SPT masa PPh Pasal 23/26. Â Keempat, SPT masa PPh Pasal 25. Kelima, SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2). Keenam, SPT masa PPh Pasal 15. Sederhananya, perbedaan 6 jenis SPT itu ada pada objek pajak yang dilaporkan dan telah dipungut atau dipotong pajaknya.
Dengan demikian, dapat diketahui jenis SPT masa PPh sangat beragam. Beragamnya jenis SPT Masa PPh tentu menimbulkan kerumitan dan biaya administrasi yang tinggi baik bagi WP maupun otoritas pajak. Pasalnya, saat ini proses pelaporan – termasuk aplikasinya – dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis SPT masa PPh.  Artinya, WP yang memiliki kewajiban pot/put dengan lebih dari satu jenis PPh harus melaporkan SPT secara berulang dengan formulir dan format yang berbeda.
Dengan demikian, unifikasi SPT masa adalah proses penyederhanaan atau penyeragaman laporan pajak (SPT) yang selama ini diserahkan secara bulanan (masa) oleh WP orang pribadi atau badan. Kalau untuk PPh, proses unifikasi ini berarti menyasar SPT masa PPh yang berkaitan dengan kewajiban pot/put, yaitu untuk PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2). Keempat SPT masa PPh itu akan dijadikan dalam satu format pelaporan SPT. Sementara itu, PPh Pasal 21 direncanakan akan tetap terpisah. Untuk SPT masa PPh pasal 25 sendiri sudah tidak wajib disampaikan, sepanjang surat setoran pajak (SSP) telah mendapat validasi nomor transaksi penerimaan negara (NTPN).
Unifikasi SPT masa PPh ini disebut tidak hanya menguntungkan otoritas dengan menekan biaya untuk mengumpulkan penerimaan, tetapi juga akan memberikan kemudahan untuk wajib pajak dalam melaporkan kewajibannya. Proses unifikasi ini diharapkan memberikan kemudahan bagi wajib pajak dan pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kepatuhan sukarela. (kaw)