Ilustrasi.
SEIRING dengan akan berlakunya coretax administration system, pemerintah mengatur ulang berbagai ketentuan perpajakan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Adapun salah satu muatan yang berubah adalah ketentuan pemindahbukuan.
Sebelumnya, ketentuan pemindahbukuan diatur dalam PMK 242/2014 s.t.d.d PMK 18/2021. Namun, berlakunya PMK 81/2024 pada 1 Januari 2025 akan mencabut dan menggantikan PMK 242/2014 s.t.d.d PMK 18/2021 tersebut.
Untuk itu, nantinya ketentuan pemindahbukuan akan mengacu pada PMK 81/2024. Apabila disandingkan dengan ketentuan terdahulu, PMK 81/2024 mengubah kondisi atau alasan yang membuat wajib pajak bisa mengajukan permohonan pemindahbukuan.
Berdasarkan PMK 81/2024, pemindahbukuan dilakukan tidak terbatas pada adanya kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak. Lebih luas dari itu, pemindahbukuan juga akan terkait dengan sistem deposit pajak.
Selain itu, pemindahbukuan juga bisa dilakukan secara jabatan. Lantas, sebenarnya apa itu pemindahbukuan? Apa saja latar belakang yang membuat pemindahbukuan bisa dilakukan berdasarkan PMK 81/2024?
Merujuk Pasal 1 angka 108 PMK 81/2024, pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai. Pemindahbukuan tersebut dapat dilakukan berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan (Pasal 108 PMK 81/2024).
Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) PMK 81/2024, ada 4 alasan yang membuat wajib pajak bisa mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada direktur jenderal (dirjen) pajak. Pertama, penggunaan deposit pajak.
Kedua, pembayaran pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang belum dilakukan penelitian untuk penerbitan surat keterangan penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh.
Ketiga, penyetoran di muka bea meterai yang belum digunakan untuk menambah saldo deposit pada mesin teraan meterai digital. Keempat, jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang.
Namun, pemindahbukuan atas jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang (alasan yang keempat) tidak dapat diajukan dalam hal pembayaran dimaksud merupakan:
1. pembayaran melalui Surat Setoran Pajak (SSP) yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN;
2. pembayaran atas penyetoran bea meterai atau pembayaran untuk penyetoran bea meterai dalam rangka:
a. pendistribusian meterai elektronik kepada badan usaha yang bekerja sama dengan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) untuk melaksanakan pendistribusian meterai elektronik; dan
b. penjualan Meterai tempel yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero);
3. pembayaran pajak yang kode billing-nya diterbitkan oleh sistem billing selain yang diadministrasikan DJP;
4. pembayaran pajak yang dianggap sebagai penyampaian SPT masa;
5. pembayaran pajak sebagai satu kesatuan dengan penyampaian SPT; atau
6. pembayaran pajak yang sudah diperhitungkan dengan pajak terutang dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKP PBB), STP PBB, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, surat keputusan persetujuan bersama, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Adapun pemindahbukuan dapat dilakukan untuk pembayaran pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea meterai, PBB, pajak penjualan, dan pajak karbon.
Selain itu, pemindahbukuan hanya dapat dilakukan antarpembayaran pajak dalam mata uang yang sama. Mengacu Pasal 109 ayat (5) PMK 81/2024, permohonan pemindahbukuan tersebut diajukan oleh wajib pajak yang identitasnya tertera dalam bukti pembayaran.
Sementara itu, ada 6 alasan yang membuat pemindahbukuan secara jabatan dilakukan. Pertama, bukti pemindahbukuan yang terdapat kesalahan dalam penerbitan. Kedua, pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang berdasarkan data dan informasi perlu dilakukan pemindahbukuan.
Ketiga, deposit pajak untuk melunasi utang pajak yang masih tersisa pada saat dilakukan penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Keempat, deposit pajak wajib pajak yang dilakukan penghapusan NPWP karena penggabungan usaha ke wajib pajak hasil penggabungan usaha.
Kelima, pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang terdapat perbaikan data penerimaan dari Ditjen Perbendaharaan. Keenam, pembayaran dan/atau penyetoran pajak sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan penyitaan oleh juru sita.
Berdasarkan perincian yang dijabarkan, dapat diketahui jika alasan yang mendasari pemindahbukuan bisa berbeda-beda. Adapun dirjen pajak akan menerbitkan bukti pemindahbukuan atas pemindahbukuan, baik berdasarkan permohonan atau secara jabatan, yang memenuhi ketentuan.
Bukti pemindahbukuan itu merupakan dasar penyesuaian atas pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan wajib pajak. Namun, apabila permohonan pemindahbukuan tidak memenuhi ketentuan maka dirjen pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan penolakan permohonan pemindahbukuan. Simak Ketentuan Baru Atur Ulang Alasan Pemindahbukuan, Apa yang Berubah? (sap)