Ilustrasi.
BANYAK hal menarik yang direkomendasikan IMF maupun OECD untuk sistem pajak Indonesia. Salah satunya adalah rekomendasi IMF untuk memberlakukan alternative minimum tax (AMT) dalam area pajak penghasilan (PPh) di Tanah Air.
Menurut IMF, AMT diperlukan Indonesia untuk menjamin suatu perlindungan (safe guard) atas praktik penghindaran dan pengelakan pajak oleh wajib pajak (WP) badan. Rezim AMT diusulkan dengan tarif sebesar 1% dari peredaran usaha. Dalam penerapannya, WP badan akan membayar pajak terutang berdasarkan nilai tertinggi antara rezim pajak normal PPh Badan dengan rezim AMT.
Lantas, apa sebenarnya AMT?
AMT sejatinya bukan barang baru di dunia pajak. Sebagai bagian dari ‘keluarga besar’ presumptive tax, AMT juga menggunakan indikator alternatif di luar penghasilan kena pajak yang umumnya dipergunakan sebagai basis pajak. Indikator alternatif yang digunakan sebagai approximation umumnya dipilih sebagai basis yang tidak mudah dimanipulasi dan mudah dimonitor (Slemrod dan Yitzhaki, 1996).
Akan tetapi, berbeda dengan metode presumptive tax lain yang juga dipergunakan sebagai upaya untuk memberikan kemudahan administrasi, contohnya rezim pajak final untuk usaha kecil dan menengah (UKM), AMT lebih berorientasi untuk mencegah penghindaran pajak. IMF sendiri telah merekomendasikan AMT bagi negara berkembang dalam konteks mencegah penggerusan basis pajak serta untuk melawan praktik perencanaan pajak yang agresif secara internasional (IMF, 2015).
Praktik-praktik seperti manipulasi transfer pricing, pembayaran bunga utang yang terlalu berlebihan, hingga hybrid instrument merupakan beberapa skema bentuk penghindaran pajak. Berbagai skema ini telah memungkinkan korporasi untuk membayar pajak lebih rendah, bahkan tidak membayar sama sekali karena adanya kerugian artifisial yang diciptakannya.
Berbeda dengan berbagai ketentuan anti-penghindaran pajak, AMT tidak bersifat menguji atau menelusuri secara detail transaksi-transaksi yang ditenggarai memiliki risiko base erosion and profit shifting (BEPS). AMT justru berperan dalam menjamin untuk setidaknya setiap korporasi membayar ‘suatu nilai minimum pajak’ kepada negara atau sebagai safeguard.
Tidak mengherankan, beberapa negara telah menerapkan AMT dalam sistem pajak mereka, mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Argentina, India, Pakistan, hingga Tanzania. Sebagai catatan, rezim AMT di berbagai negara tersebut tidak selalu mengacu pada nilai peredaran bruto. Indikator lain seperti nilai total aset, aset bersih, maupun perhitungan basis pajak berbasis penyesuaian pengurang penghasilan juga dipergunakan (reconstruction of income).
Sebagai alat untuk mencegah penggerusan basis pajak, AMT tidak bersifat opsional. AMT justru rezim yang pararel dengan sistem PPh yang berlaku secara umum. Dengan kata lain, nilai pajak terutang WP badan akan tetap dihitung baik dengan menggunakan rezim PPh Badan normal maupun AMT. Jika nilai pajak terutang dari rezim normal PPh Badan lebih tinggi dari hasil perhitungan rezim AMT, maka otoritas pajak menggunakan nilai pajak terutang dari rezim normal. Hal ini pun berlaku sebaliknya.
Untuk menjamin keadilan dan mencegah pemajakan yang excessive, rezim AMT memperbolehkan adanya klausulcarry over. Artinya, selisih pembayaran pajak rezim AMT dengan rezim normal dapat dijadikan pengurang pajak terutang dalam situasi perhitungan pajak dengan mekanisme normal di periode setelahnya.
Bagaimanapun, prospek penerapan AMT di Indonesia bisa dipahami. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya WP penanaman modal asing (PMA) yang mengalami kerugian selama bertahun-tahun, tapi masih terus beroperasi secara komersial. Walaupun demikian, mendesain rezim AMT bukanlah hal yang mudah. Pemangku kebijakan perlu menentukan beberapa komponen seperti subjek pajak, tarif, threshold, hingga hubungan dengan ketentuan anti-penghindaran pajak.