Selama masa pandemi Covid-19, banyak negara mengambil kebijakan relaksasi pajak guna mendukung keberlangsungan bisnis di negaranya. Meski begitu, relaksasi tersebut ternyata harus dibayar dengan menurunnya kinerja penerimaan pajak.
Tak ayal, tidak sedikit negara yang saat ini tengah menghadapi persoalan menurunnya penerimaan pajak, khususnya di negara-negara berkembang. Lantas, bagaimanakah kebijakan pajak negara berkembang selanjutnya?
Langkah kebijakan pajak negara berkembang pascapandemi Covid-19 menjadi pembahasan dalam artikel yang berjudul ‘Developing Countries’ Search for a Post-Pandemic Tax Path’ yang disusun oleh Nana Ama Sarfo dalam Tax Notes International Volume 98.
Dalam artikel tersebut merangkum berbagai rencana kebijakan pajak di negara-negara berkembang pascapandemi dalam memulihkan dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19.
Artikel ini juga membahas opsi kebijakan pascakrisis yang dapat dipilih negara berkembang, yaitu kebijakan multilateral atau unilateral. Selain itu, artikel ini menekankan bahwa sistem hak sistem hak pemajakan yang adil menjadi hal yang dibutuhkan negara berkembang saat ini.
Sejumlah kebijakan utama yang akan atau sudah ditempuh negara-negara berkembang juga disebutkan dalam artikel tersebut. Salah satunya perihal pengenaan pajak atas ekonomi digital sebagai strategi jangka panjang dalam memperoleh penerimaan.
Nigeria merupakan salah satu negara yang mulai menerapkan pajak digital berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan. Ada pula Kenya yang menyusun rancangan peraturan untuk memungut PPN atas transaksi digital.
Sementara itu, Pemerintah India masih mempertimbangkan menaikkan pungutan pajak untuk korporasi asing yang memiliki bentuk usaha tetap di negaranya.
Selain itu, Tax Inspectors Without Borders yang merupakan kolaborasi antara OECD dengan United Nation Development Program mempertimbangkan kebijakan yang dapat membantu negara-negara berkembang.
Kebijakan yang dimaksud ialah melakukan negosiasi ulang tax treaty dengan beberapa negara. Negosiasi tax treaty sebenarnya sudah menjadi pembahasan dan rencana kebijakan negara-negara bahkan sebelum muncul pandemi.
Pada Maret 2019, Kenya menghadapi persoalan terkait tax treaty dengan Mauritius. Sebab, tax treaty yang disepakati Kenya dan Mauritius memungkinkan perusahaan-perusahaan Kenya untuk menghindari pajak dan memilih berinvestasi di Mauritius.
Dalam hal ini, India menjadi pelopor untuk mengubah perjanjian dengan Mauritius pada 2016 sehingga dapat memperoleh hak pemajakan lebih adil.
Belanda saat ini juga mempertimbangkan untuk menegosiasikan tax treaty dengan beberapa negara berkembang dengan memberikan hak pemajakan lebih besar terutama dalam hal bunga, royalti, atau pembayaran dividen yang berasal dari negara berkembang.
Selain itu, pajak atas kekayaan dinilai menjadi solusi alternatif untuk kebijakan berikutnya pascapandemi. Pelaporan mandiri wajib atas aset dan liabilitas akan menkadi langkah pertama yang penting untuk dipikirkan dengan matang dalam mempertimbangkan pajak kekayaan.
Beberapa pekan terakhir, beberapa negara sudah memperkenalkan atau mendiskusikan untuk menaikkan pajak atas kekayaan. Misal, Aljazair mempertimbangkan adanya pajak kekayaan sejak 2017. Begitu pula Afrika Selatan.
Pada 2013 Pemerintah Afrika Selatan membentuk suatu komite untuk menyelidiki sistem pajak negara itu, progresivitasnya, dan bagaimana kinerja pajak bisa ditingkatkan lebih besar lagi.
Tiga tahun kemudian, menteri keuangan memperluas mandat kepada komite untuk meneliti pajak kekayaan untuk menjawab apakah pajak semacam itu diperlukan dan apa saja potensi kendala yang dihadapi jika pajak tersebut diimplementasikan.
Artikel tersebut menjelaskan beberapa kebijakan dengan disertai contoh di beberapa negara yang sudah atau masih merencanakan penerapan kebijakan tersebut sehingga memudahkan pembaca untuk memahami.
Secara keseluruhan artikel ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi negara-negara berkembang untuk merencanakan langkah kebijakan pajak setelah masa pandemi.